Penulis: Abidah El Khalieqy
Editor: Teguh Afandi
ISBN: 978-602-385-280-2
Halaman:368
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Qanita
Rating: 4
Membacalah,
Ni. Karena kebebasan pikiranmu ada di sana. Dan siapa pun tak akan bisa
menjajah pikiranmu. Aku ingin dengar kabar baik darimu, sebelum aku
berangkat ke Belanda.
~Kartini, hal
80~
Jadi apa
sebenarnya yang menjadi penyebab kematian Kartini? Kehabisan darah karena
melahirkan seperti penjelasan yang sering saya temui dalam buku pelajaran sejak
dulu. Atau dibuat diam selamanya melalui minuman yang dibawa oleh Dokter
Ravesteyn karena sepak terjangnya dianggap mampu membahayakan
keberadaan Belanda di tanah air?
Mungkin
terdengar terlalu ekstrim, tapi begitulah yang saya rasakan ketika selesai
membaca buku ini. Cara penulis bercerita mampu membuat perasaan saya bercampur
aduk. Seakan saya berada di dekat mereka bertiga. Penulis dengan sukses
membuat hati saya seakan iklan permen tersohor itu. Kadang ikut merasa
bahagia seperti ketika Kartini mendapat kesempatan menuliskan pikirannya dalam
sebuah artikel. Marah karena tidak mendapat izin untuk belajar. Berulang kali
meneteskan air mata haru ketika membaca adegan yang ada di halaman 362.
Jika berharap
akan menemukan penggalan isi surat-surat yang ditulis Kartini kepada para
sahabat penanya pada buku ini, maka bersiap-siaplah kecewa. Buku ini lebih
menyoroti bagaimana sikap Kartini dalam menjalani kehidupan ini. Tegar dengan
prinsipnya namun tetap memegang teguh sopan santun sesuai dengan tatanan
kehidupan priayi Jawa. Memang ada bagian yang mengisahkan Kartini sedang
menuliskan surat bagi sahabatnya tapi porsinya kecil.
Sejak kecil,
Kartini memang sudah berbeda dibandingkan dengan saudara yang lainnya. Nilainya
selalu bagus, kecerdasanya mampu membuat kakak laki-lakinya mati kutu. Sikap
hormat pada ibu kandungnya yang harus dipanggil Yu juga ditunjukan dengan
berani.
Keberadaan
Kartini ternyata mulai membuat cemas pihak penjajah. Hal itu bisa dilihat dari
ungkapan salah seorang pembesar Belanda pada halaman 3, "Dia hanya
perempuan belia, lulusan sekolah dasar Europese Lagare School, priayi pingitan,
bagaimana mungkin memiliki perspektif tentang dunia begitu jauh, mengalahkan
pemikir Eropa dan menghentakkan kesadaran Sri Ratu. Aku tak bisa
mengerti!"
Saat memasuki
masa pingitan, Kartini dan kedua adiknya memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal
yang bermanfaat. "Tubuh kita boleh saja dikurung tatanan, tapi kita harus
berdaulat atas imajinasi kita." Banyak karya yang mereka hasilkan. Tulisan
Kartini melalui media setempat dengan mempergunakan nama samaran dibaca banyak
orang. Lukisan Srikandi membawa panah dan buku yang dibuat Kardinah membuktikan
keinginannya untuk belajar. Sementara Rukmini berjuang melalui kelincahan
tangannya membatiknya.
Begitu
populernya Kartini sehinga pihak Belanda mau melakukan pertukaran antara antara
ide dan hasil karya Kartini dengan jaminan agar kedua kakak laki-lakinya bisa
memiliki jabatan yang lumayan. Tanpa campur tangan Kartini maka keduanya harus
melupakan impian menjabat pejabat. Hal tersebut semakin membuat rasa sakit hati
keduanya.
Perjumpaan
Kartini dengan Kiai Sholeh membuat pikirannya lebih terbuka. Usulnya agar
sang kiai menerjemahkan Al-Quran dan menjadikannya sebuah buku. Dengan
demikian makin banyak yang tahu apa makan dari ayat yang mereka baca.
Dahulu Kartini pernah bertanya pada guru mengajinya mana sebuah ayat, bukannya
mendapat penjelasan ia justru mendapat omelan. Yang penting bisa
membaca. Artinya tak perlu. Sudah jangan cerewet, kurang lebih begitu kata
guru mengajinya di halaman 80.
Sumber: Wikipedia |
Ide yang berhasil diwujudkan oleh
Kiai Sholeh merupakan hadiah pernikahan terbaik yang Kartini terima. Sementara
bagi saya, tanpa ide Kartini mungkin saya hanya bisa
membaca sementara untuk bisa meresapi maknanya harus ada guru pendamping
|
Banyak hal
yang baru bagi saya saat membaca buku ini. Maafkan ketidaktahuan saya.
Misalnya, saya baru paham bahwa Rukmini dan Kartini beda ibu. Versi dalam buku
ini menyebutkan bahwa kecintaan ayah Kartini pada ibu kandungnya lebih besar
dibandingkan dengan permaisurinya. Dan sang ibu tiri selalu bersikap bermusuhan
dengan Kartini serta ibunya. Beda dengan film Kartini versi lawas yang dulu
saya tonton.
Meski keluarga
Kartini dikenal dengan keterbukaannya akan pendidikan setara antara anak
laki-laki dan perempuan, namun ada saatnya mereka harus patuh pada
tekanan sekitar. Pendangan dan tindakan mereka membuat pejabat sekitar
merasa ngeri sehingga bersatu untuk menunjukan rasa ketidaksukaan pada
keinginan belajar Kartini.
Seperti yang
diuraikan pada halaman 138. "Kalau kita nuruti permintaan perempuan untuk
sekolah tinggi, nanti mereka ngelunjak minta jadi bupati. Lama-lama orang
miskin ikut-ikutan. Nanti jangan-jangan muncul zaman anak tukang kayu jadi
pembesar negara! Ngawur itu!
Saya sempat
berkata dalam hati setelah membaca buku ini. Sebagai sosok seorang perempuan
Jawa berdarah biru, apa yang dikerjakan Kartini sungguh berani. Ia dengan
pandainya membuat orang sekitar mengabulkan keinginannya. Sungguh
cerdik. Ia sangat tahu bagaimana harus bersikap dan bertindak.
Perjuangan Kartini dan adik-adiknya
untuk memajukan pendidikan kaum wanita tak terbatas hanya di Jepara saja.
Bahkan meski Kartini sudah meninggal namun idenya tetap menyebar. Dalam
buku Kartini Tiga Saudara buah karya Ibu Kardinah Rekso Negoro, pada hal
32 tertulis bahwa ibu Dewi Sartika dan adiknya Sari Pamerat pernah
tinggal selama 4 bulan untuk menimba ilmu dan ikut mengajar di sekolah yang
didirikan oleh salah satu dari ketiganya.
Akhir kisah
yang berujung bahagia membuat pembaca akan merasa menemukan jarum diantara
jerami. Sosok suami Kartini dalan buku ini merupakan sosok yang bertolak
belakang dengan para pembesar Jawa lainnya. Andai Kartini berumur panjang, anak
keturunan mereka pasti menjadi pejuang pendidikan yang tak kalah hebat.
Dahulu Kartini,
biasa dipanggil Trinil berjuang melalui pena. Kardinah alias Klientje
melalui lukisannya menyuarakan perjuangan perempuan. Rumini atau
Bikmi dengan kelenturan tangannya membatik berupaya memajukan harkat
perempuan. Berkat mereka, sekarang banyak perempuan di tanah air yang dengan
bangga mengatakan karena aku lahir sebagai perempuan. Sungguh beda
dengan makna yang ada di halaman 65.
Ini buku
tentang Kartini terbaik yang pernah saya baca. Buku ini menyebutkan bahwa
jasad Kartini berbau melati, harum. Jadi ingin mendengarkan lagu Ibu
Kita Kartini.
-------------
Curcol sedikit
Belum lama ini
saya bertugas melakukan pembelian buku guna pengembangan koleksi kantor ke
Yogyakarta. Mumpung di sana sekalian janjian dengan Dion dan Desca juga
beberapa teman lainnya.
Namanya
mendadak, pastilah tidak 100% persiapan matang, salah satunya adalah lupa
membawa helm untuk keliling kota. Desca berinisatif meminjam helm pak petugas
keamanan hotel. Helm diberikan dengan syarat harus kembali sebelum jam 23.00
WIB dan ada KTP sebagai jaminan. Mudah bukan? Segera saya serahkan KTP
dan mengambil helm dari pak petugas.
Jam 22.50 saya
kembali ke hotel dan bergegas mencari pak petugas keamanan pemilik helm sambil
menyiapkan sekedar uang terima kasih. Begitu sampai ke kantor keamanan dengan
sopan saya sebutkan bahwa saya mau mengembalikan helm dan mengambil KTP.
Selanjutnya
yang terjadi membuat saya terkejut!
Sekitar dua
atau tiga orang bapak petugas yang tadinya duduk santai segera berdiri dan
memberikan bungkukan badan tanda hormat. Pemilik helm langsung menghampiri saya
dan mengucapkan terima kasih. Lah jelas saya yang bingung, bukannya seharusnya
saya yang berterima kasih? KTP saya dikembalikan dengan sikap sangat hormat
layaknya seorang marketing menyerahkan kartu nama pada calon pembeli
potensial. Uang yang saya berikan diterima dengan mata berbinar sambil
mengucapkan terima kasih tak terhingga. Saya dikawal menuju lift yang jaraknya
hanya sekian meter dari tempat kantor keamanan.
Sepanjang
perjalanan menuju kamar, saya tak bisa berhenti berpikir kenapa mereka bersikap
agak aneh. Saat menunggu lift, saya teringat untuk masukkan
KTP ke dompet. Dan..., saya jadi tahu kenapa mereka bersikap begitu he he
he. Pasti karena nama saya. Ribet memang, tapi mau bagaimana mana lagi
itu nama pemberian orang tua saya. Makanya saya
sangat paham jika Kartini ingin diperlakukan seperti manusia biasa tanpa aneka
macam protokoler.