Senin, 19 Oktober 2020

2020 #41: Kisah Tentang Reseng, Kandang Anjing dan Rakun Tua

Judul asli: The Potters
Penulis: Un-Su Kim
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penyunting: Yuli Priyania
ISBN: 9786232421196
Halaman: 409
Cetakan: Pertama-Juli 2020
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 98.000
Rating: 4/5



Membaca buku akan menjebloskanmu pada kehidupan yang dipenuhi rasa takut dan malu. 
Nah, kamu masih ingin membaca?
~ The Plotter, hal 38~

Perpustakaan dan pembunuh bayaran.
Perpaduan yang sungguh unik bukan? Begitulah kisah ini, menawarkan sesuatu hal yang berbeda.  Tokoh dalam kisah ini, Reseng, merupakan seorang  yatim piatu yang diadopsi oleh seorang pengelola (nyaris seperti pemilik)  perpustakaan  yang dikenal dengan nama Rakun Tua.  

Hari-harinya  lebih banyak dihabiskan di perpustakaan, tempat yang bagi banyak orang sering dianggap tak  mungkin berbahaya. Padahal pekerjaannya adalah pembunuh bayaran dengan peringkat tinggi.

Perpustakaan tempatnya tinggal diberi nama Kandang Anjing, didirikan sekitar tahun 1920-an.  Isinya jelas bukan sembarang buku. Reseng belajar membaca dari buku-buku yang ada  di sana. Ia bahkan bisa memahami alfabeth Korea sendiri!  Koleksi perpustakaan tersebut stabil dengan 200.000 buku.  

Dulu Rakun Tua membeli buku dengan jumlah yang sama dengan yang  "buang" . Jika ada buku.yang termasuk kategori baru, bisa dipastikan akan tersingkir jika tidak bisa digolongkan dalam salah satu kategori  yang dibuat Rakun Tua.  Tak peduli jika itu buku yang baru dibelinya. Alasan utama  Rakun Tua berbuat begitu adalah ia tak ingin menambah rak. 

Tak ada pengunjung yang datang ke sana, kecuali memiliki urusan pekerjaan-kalian pasti tahu apa itu, dengan Rakun Tua.  Bisa disebut , Kandang Anjing merupakan markas besar setiap pembunuh utama dalam sejarah modern Korea. Kalau pun ada satu-dua orang yang salah masuk, mereka akan segera meninggalkan Kandang Anjing secepat mungkin. 

Meski begitu, banyak pustakawan yang  mau bekerja  di Kandang Anjing.  Rakun Tua lumayan sering memecat  mereka. Mungkin bagi yang mendengarkan  alasan  tersebut sepele, tapi tidak menurut Rakun Tua. 

Reseng sempat mengingat sebagian dari mereka. Ada yang dipecat karena salah taruh buku pada rak, meletakkan  cangkir kopi pada buku, meski ada yang keluar atas permintaan sendiri yang tak kalah konyol. 

Pustakawan terakhir sudah bekerja selama lima tahun.  Jangan tanya apa yang ia kerjakan jika tak ada pengunjung, kalian akan terkejut jika membaca buku ini sendiri. 

Hidup  Reseng memang luar biasa. Reseng acap kali dikisahkan sedang membaca sebuah buku, atau berada di dekat timbukan buku, terutama saat bersantai, atau melepas lelah karena baru selesai menyelesaikan  "tugas".  

Banyak judul buku yang juga disebutkan dalam kisah ini,  misalnya  Demons karya Dostoyevsky, Summer dan The Plague karya Albert Camus, The Baron in The  Trees dari Italo Calvino, The Noonday Demon karya Andrew Solomon, dan masih ada beberapa lagi. 

Cukup saya mengoceh soal Reseng, buku, dan Kandang Anjing.  Giliran bagaimana Reseng menjalani kehidupannya sebagai pembunuh bayaran.  Tak kalah seru, dalam makna yang berbeda tentunya.  Ternyata  untuk bisa sukses menyelesaikan sebuah "tugas" Reseng tak sendiri.

Bagi mereka membunuh merupakan seni, tidak main hantam begitu saja. Ada kode etik yang harus diikuti.  Bagian Reseng adalah membunuh, sementara ada yang bertugas sebagai perencana, menyusun bagaimana pembunuhan dilakukan. Rakun tua sekarang memegang peranan ini. Kemudian ada juga yang bertugas  sebagai pelacak, mencari target yang bersembunyi. Tiap orang diharapkan paham bagiannya masing-masing.

Suatu kesalahan kecil yang ia lakukan, membuat segala tatanan dalam dunia mereka berubah. Reseng harus bertahan hidup dari incaran mereka yang ingin "menyingkirkan" dirinya. Bukan soal pribadi, tapi sekedar bisnis semata.  Selain Reseng dan Rakun Tua, masih banyak pembunuh bayaran yang merebut "tugas" demi kelangsungan hidup mereka. Ironi, membunuh agar bisa hidup.

Sejauh apapun Raseng berusaha pergi, pada akhirnya ia akan tetap kembali ke Kandang Anjing meski nyawanya terancam. Hal tersebut seperti yang diuraiakan oleh seseorang  di halaman 59.

"Pada akhirnya, tak seorang pun dari kita bisa meninggalkan tempat yang paling kita kenal, tidak peduli betapa kotor dan menjijikkannya tempat itu. Tidak punya uang dan sarana lain untuk bertahan hidup adalah sebagian alasannya, tetapi itu tidak pernah menjadi seluruh alasan. Kita kembali ke tempat asal kita yang kotor karena itulah kotoran yang kita kenal. Lebih mudah menoleransi kotoran itu daripada menghadapi ketakutan dilempar ke dunia yang lebih luar dan rasa kesepian yang sedalam dan seluas ketakutan itu."

Pada bagian kover belakang, sudah tercantum kode D, artinya buku ini ditujukan bagi pembaca dewasa. Hal utama adalah adanya unsur kekerasan dalam kisah. Namanya saja perihal pembunuh bayaran. Terutama sekali jika membaca uraian pada halaman 288-334 serta halaman 405.

Guna menggambarkan kengerian yang bisa timbul akibat adegan kekerasan, berikut sepenggal bagian dari halaman 95, "Aku bisa membunuhmu secara sangat menyakitkan dengan pisau ini. Membuatmu menggigil kesakutan selama berjam-jam, darah muncrat, baja menggores tulang, hingga isi perutmu terburai dari tubuhmu dan menggantung ke lantai."

Meski ada adegan kekerasan, kisah ini juga memberikan unsur romantis sebagai bumbu. Ada beberapa wanita yang ikut berperan membuat kisah lebih beragam. Andai penulis memberikan porsi lebih unutk meracik bagian bumbu ini, bisa jadi membuat sosok Reseng  menjadi lebih unik lagi.

Jika ditelaah lebih lanjut, juga ada unsur hiburan dalam kisah ini.  Perhatikan saja nama tokoh dalam kisah ini, cukup unik.  Selain  Reseng,   ada Beruang, dan Rakun Tua.  Bahkan dua kucing siam juga memiliki nama unik, Meja dan Kap Lampu. Kedua kucing tersebut membuat sosok Reseng menjadi makin berkesan misterius. Ia tak ragu membunuh, tapi khawatir kucing-kucingnya tak terurus.

Melalui dua ekor kucing tersebut, penulis dengan indah menggambarkan bahwa apapun profesinya,  Reseng juga manusia yang memiliki sisi-sisi tersendiri. Melalui hobi membaca Reseng, penulis seakan memberitahu kita bahwa aneka ilmu bisa diperoleh dengan membaca secara tekun. 

Reseng memang pembunuh. Namun dari dia kita bisa belajar makna setia kawan. Membunuh baginya tak hanya profesi atau sekedar mengikuti instruksi Rakun Tua, namun juga untuk sahabatnya. Mata dibayar mata! Alasan mulia  yang dieksekusi dengan cara salah. 

Awalnya. sebagai pembaca, saya merasa  agak iri dengan kehidupan Reseng. Maksudnya bagian yang menggambarkan bagaimana ia  nyaris menghabiskan seluruh waktunya di Kandang Anjing. Hidup diantara buku sepertinya idaman para penggila buku.

Namun belakangan, saya malah merasa kasihan pada Reseng. Bukan kehidupan yang ingin saya jalani. Sungguh membuat pilu. Rasa iri berubah menjadi rasa kasihan. 

Kecintaan saya pada teh ternyata juga  sempat disebut dalam buku ini. Bukan saya yang disebut he he he, tapi bagaimana teh hitam dapat menghangatkan perut dan hati. Tentunya jika terkait adegan yang ada di halaman 17,  ada campuran lain yang membuat  manfaat teh  guna menghangatkan tubuh makin terasa.

Edisi  yang saya miliki merupakan edisi pertama yang menawarkan tanda tangan sang penulis sebagai salah satu daya tarik. Konon,  untuk versi ini memang dicetak terbatas. Mereka yang melakukan pemesanan awal serta yang beruntung membeli pada awal terbit (biasanya penerbit mencetak lebih dari yang memesan) bisa mendapatkan versi ini.

Warna merah dan biru  begitu kontras dengan latar hitam pada kover. Mendadak saya jadi teringat pada sebuah buku yang belum lama saya baca. Salah satu bagian menyebutkan tentang perpaduan warna merah dan  biru dengan gradasi warna yang aembilan tingkat. Lucu sekali buat saya! Ternyata warna merah yang kurang saya sukai bisa berpadu begitu menawan dengan warna biru yang sangat suka.

Buku yang menawan. Memberi makna lain pada kata perpustakaan dan buku. Tak heran ratingnya di Goodreads 3.58 dari 5














Tidak ada komentar:

Posting Komentar