Senin, 31 Agustus 2020

2020 #35: Kisah Putri Kesayangan Crazy Rich Peranakan Dari Medan


Judul asli: Kisah Hidup  Queeny Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan
Penulis: Queeny Chang
Alih bahasa: Maria Elvire Sundah
Desain isi: Nur Wulan Dari
Desain sampul: Yan Moersid
ISBN: 9786020334424
Halaman:259
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: Pt Gramedia Pustaka Utama

Kita perempuan harus mengalah kepada suami kita. Kalau tidak, perkawinan bisa berakhir dan gagal. Kalau istri selalu bertengkar dengan suami, tidak ada damai di rumah, dan rumah yang tidak damai membawa petaka.

~ Bibi Liu, Kisah Hidup Queen Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan, hal 47~


Buku bernuasa merah muda  setebal dua ratusan halaman ini berkisah tentang sosok Queeny Chang, anak pertama dari Tjong A Fie, seorang pengusaha terkemuka dan pemimpin masyarakat Tionghoa di Medan pada akhir abad ke-19.  

Meski merupakan anak perempuan,   terlahir dengan nama Foek-yin, namun ia selalu menjadi kesayangan sang ayah.  Dalam buku ini terlihat jelas bagaimana sosok ayah yang sangat memanjakan putrinya. Terlihat sekali kedekatan mereka berdua melalui kata-kata di bagian awal buku, "Menghadiahiku tahun-tahun terindah dalam hidupku."

Meski merupakan autobiografi penulis, untuk seorang wanita berusia 80 tahun, ingatan tentang masa lalunya sunggguh luar biasa. Begitu banyak rincian yang disampaikan. Sehingga membaca buku ini seakan mendengarkan ia bercerita secara langsung di hadapan kita. 

Sekedar mengingatkan bagi yang lupa, pengertian autobiografi, ada juga yang menyebutnya otobiografi  adalah sebuah tulisan mengenai kehidupan penulis. Mulai saat kecil hingga saat tulisan dibuat. Lebih lengkap bisa dilihat di sini.

Secara garis besar, buku ini terdiri dari lima bagian.  Bagian pertama  berkisah tentang kelahiran penulis hingga dewasa.  Dari pertemuan dan pernikahan kedua orang tuanya, hingga masa-masa kecil ketika ia begitu dimanjakan oleh sang ayah.

Bagian kedua tentang pernikahan penulis hingga memiliki seorang anak laki-laki, termasuk bagaimana ia harus beradaptasi dengan keluarga suami. Bukan hal mudah, terutama karena kendala bahasa. 

Bayangkan  2 orang yang menikah namun untuk berkomunikasi satu dengan lainnya sangat sulit. Kalau zaman sekarang, bisa terjadi perang dunia dalam rumah tangga, kendala komunikasi  sering dijadikan alasan. 

Sepertinya kita perlu belajar pada kebesaran hati mereka berdua, menerima pasangan yang dijodohkan sampai akhir hayat dengan segala kelebihan dan kkurangan.

Bagian ketiga berisikan uraian tentang hubungan penulis dan suami, terutama karena sang suami nyaris mengalami kematian. Meski mereka saudah bisa berkomunikasi dengan baik, namun banyak hal yang harus dihadapi. Hubungan keduanya lebih menjadi hubungan persaudaraan dari pada pernikahan. 

Bagian keempat berisikan tentang pernikahan adik ipar penulis dengan adik kandungnya, bagaimana sang anak laki-laki penulis pada akhirnya justru dibesarkan oleh sang nenek dari pihak ayahnya. Juga perihal kondisi ekonomi pada saat Perang Dunia Pertama.

Bagian terakhir, bagian kelima sedikit berbeda dengan keempat bagian lainnya. Selain kisahnya lebih suram, karena memuat tentang sang ayah yang meninggal pad atahun 1920, juga beberapa peristiwa meneydihkan lainnya. 

Suasana muram muncul pada bagian ini. Sedih rasanya keseluruhan kisah hidup yang menggembirakan, suasana ceria, ditutup dengan akhir yang seperti ini.

Dalam kehidupannya, sosok sang ibu merupakan orang yang paling berperan dalam keluarga penulis. Meski  banyak keputusan tetap diambil oleh sang ayah. Sang ibu sadar betul bagaimana posisi suaminya di masyarakat sehingga terus berusaha mengembangkan diri agar layak untuk mendampingi sang suami. Mulai dari cara berpakaian, pergaulan, bahasa, hingga cara mendidik anak.

Ibu penulis juga yang beranggapan bahwa tanpa pendidikan yang baik, orang Tionghoa tidak akan pernah setara dengan orang-orang asing. Maka  ia selalu menemani penulis  untuk belajar meski ia tak paham apa yang sedang dipelajari oleh anaknya. 


Penulis yang dimaksukkan ke sekolah  Belanda atas kehendak sang ayah, juga  belajar bagaimana berbahasa Mandarin  pada kerabat atas perintah sang ibu.

Selain urusan aneka perhiasan yang dipakai baik oleh kaum pria dan wanita, perabotan mahal, salah satu bukti  kekayaan keluarga penulis adalah tentang rumah peristirahatan mereka di desa Poeloe Brayan yang memiliki kebun binatang.

Mereka memiliki berbagai hewan yang luar biasa, "Di belakang kebun, di lahan terbuka yang luas dan berpagar , ada burung kasuari, jerapah, zebra, dan keledai abu-abu. Di antara hewan-hewan itu berlompatan beberapa kanguru; salah satunya punya bayi yang mengintip dari balik kantong di perutnya."

Dengan membaca buku ini, kita mendapatkan banyak gambaran mengenai bagaimana kehidupan kaum peranakan, terutama di Medan. Meski banyak hal yang diuraikan oleh penulis terkait dengan kehidupannya secara pribadi, namun lumayan mmberikan informasi.

Seperti misalnya yang tertulis di halaman 5,"Ibuku mengenakan baju pesta yang sangat cantik; kebaya dan kain songket dari sutra warna merah anggur hasil tenunan tangan yang ditingkah benang emas, bahan yang dibuat khusus untuk keluarga ningrat." Pembaca jadi tahu bagaimana gaya busana saat itu.

Beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya, terutama soal keuangan. Walau pun bisa dikatakan keluarga  mereka adalah Crazy Rich Peranakan di Medan, namun membiaya perjalanannya dengan sang suami selama 5 tahun tentunya tidak murah. 

Lalu dari mana mereka mendapatkan biayanya?  Apakah ditanggung oleh keluarga besar? Meski  ada suatu bagian yang mengisahkan tentang Queeny mendapat pekerjaan pertama karena kemampuan bahasanya. Sepertinya uang bukanlah masalah untuk mereka hingga akhir hayat.

Buku ini sangat perlu dibaca oleh mereka yang tertarik mengenai kehidupan masyarakat peranakan pada akhir abad ke-19. Terutama sekali mereka yang hidup di Medan. Kita ambil yang baik dari bacaan ini.

Inspiratif.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar