Senin, 14 November 2022

2022 #30: Kisah Midori dari Yoshiwara

Judul asli: Tumbuh Dewasa
Penulis: Ichiyo Higuchi
Penerjemah:Titik Andarwati
ISBN: 9786237245940
halaman:80
Cetakan: Pertama-Mei 2022
Penerbit: bukuKatta
Harga: Rp 44.000
Rating: 3.25/5

Ah, seandainya saja ia bisa selamanya bermain dengan boneka-boneka dan gambar-gambar potongannya, andai saja ia terus bisa bermain rumah-rumahan, betapa menyenangkannya semua itu. Ia membencinya, ia sangat membencinya. Ia benci harus tumbuh dewasa. Kenapa harus tumbuh dewasa? Seandainya saja ia bisa kembali ke tujuh bulan, sepuluh bulan, setahun lalu-rasanya seolah-olah ia sudah menjadi perempuan tua sekarang.
-Tumbuh Dewasa, hal 70-

Masa peralihan dari anak-anak menjadi remaja, lalu dewasa tidaklah mudah. Apalagi jika memasuki saat mulai menyukai lawan jenis. Segala sesuatu rasanya serta tak tepat, serba salah. Hati dan pikiran  kacau,  disebabkan seseorang. Runyam rasanya. Kurang lebih begitulah yang dirasakan oleh Midori

Midori merupakan seorang gadis remaja berusia 14 tahun  yang tinggal di sebuah kawasan Berizin bernama Yoshiwara. Dibandingkan dengan anak-anak seusianya, ia lebih beruntung karena memiliki uang jajan yang berlebih. Semuanya berkat sang kakak yang menjadi primadona di Daikokuya, sebuah rumah bordil. Namun demikian, ia dikenal bermurah hati pada teman-temannya.

Di daerah tempat tinggal itu, anak-anak akan diarahkan untuk mengambil alih posisi orang tuanya. Ada yang menjadi kepala pemadam kebakaran, pendeta, dan lainnya. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa Midori suatu saat akan menggantikan kakaknya, menilik kecantikan Midori yang mulai terlihat.

Setiap bulan Agustus, di sana diadakan sebuah festival. Setiap orang merasa bersemangat untuk mengikutinya. Ada dua kelompok anak yang saling beradu untuk membuat acara festival meriah. Geng jalan anak-anak belakang, dipimpin oleh Chokichi serta geng jalan utama yang dipimpin oleh Shota. Tebak Midori termasuk geng mana?

Bagaimana keduanya bersaing benar-benar mencerminkan semangat meramaikan festival. Mereka mengeluarkan segala kemampuan untuk menjadi pemenang dengan menarik sebanyak mungkin penonton. Sempat terjadi perselisihan, namun semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Begitulah dunia anak-anak, sederhana tanpa ribet.

Selain membahas soal festival, kisah bagaimana Midori ternyata jatuh cinta pada seseorang  menjadi bagian yang menarik untuk dibaca. Proses jatuh cinta dan patah hati sudah menjadi bagian kehidupan kita, sekarang giliran Midori.

Sayangnya, ia jatuh cinta pada seorang remaja berusia sekitar 15 tahun bernama  Nobu, berasal dari Kuil Ryugeji. Yups! Midori jatuh hati pada seorang anak yang sebentar lagi akan memakai jubah hitam, proses untuk menjadi pendeta. 

Semula keduanya berteman biasa, namun ejekan anak lain yang menyebutkan tentang uniknya pertemanan mereka, satu dari kuil sementara yang lain dari rumah bordil, membuat keduanya menjauh. Sikap Nobu langsung berubah, sehingga membuat Midori merasa kesal. Bahkan dalam beberapa kesempatan, keduanya tak saling menyapa ketika berpapasan.

Patah hati memang tak enak, Midori belum tahu itu. Ia hanya tahu, tak enak rasanya ketika jatuh cinta, namun tak diketahui oleh orang yang ia sukai. Sikapnya berubah, keluarga dan sahabat mengira ia sedang dalam suasana hati yang tak nyaman saja.

Membaca buku ini membuat pembaca mendapat gambaran bagaimana kehidupan bermasyarakat pada zaman Meiji, minimal dari setting kisah ini. Catatan kaki dari penerjemah menambah pengetahuan pembaca mengenai kebudayaan Jepang saat itu.

Misalnya ketika membahas tentang Festival yang diadakan pada tanggal 20 Agustus, disebutkan tentang mikoshi-tandu keagamaan, boneka-boneka daruma-boneka atau mainan Jepang berbentuk hampir bulat tanpa kaki dan tangan.

Juga tentang strata sosial yang berlangsung di sana. Mengetahui bagaimana sikap penduduk pada Midori, saya jadi membayangkan kondisi Midori jika berada di sini. Di sana, Midori tetap dianggap sebagai anak-anak biasa, bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang rendah dirinya karena profesi sang kakak.

Di sini, tak terhitung banyaknya orang tua yang akan melarang anak-anaknya dekat dengan Midori. Jangankan bersahabat, berbicara dengannya saja sudah dilarang. Tak akan ada yang diperbolehkan menerima mainan yang dibelikan Midori apapun alasannya. Midori dianggap sama dengan kakaknya, bahkan sebelum ia memutuskan mengikuti jejak sang kakak.

Meski kisah ini sudah ditulis sekian lama, namun tetap bisa dinikmati. Terutama tentang bagaimana psikologi seorang anak ketika mulai beranjak dewasa. Bagaimana Midori bersikap dan menjalani hari-hari, menarik untuk dibaca.

Dari kover,  pembaca sudah bisa mendapat bocoran tentang tokoh yang ada dalam kisah ini. Dua anak laki-laki, dimana salah satunya digambarkan mencukur rambut habis seakan mempersiapkan diri untuk menjadi pendeta. Lalu ada tiga  gadis remaja, dimana penampilan salah satunya  lebih mencolok  dibandingkan yang lain. 

Disebutkan pada situs penerbit, bahwa ini merupakan novela. Secara singkat, novela adalah sebuah karya yang lebih singkat dari novel, namun lebih panjang dari cerita pendek. Novel  dimulai dengan akar persoalan yang dialamai oleh tokoh serta  diakhiri dengan penyelesaiannya masalahnya. Sementara  cerpen umumnya langsung pada apa yang akan dikisahkan.

Secara keseluruhan, buku ini layak dibaca oleh mereka yang menyukai sastra Jepang.  Para mahasiswa jurusan Sastra Jepang sangat disarankan untuk membaca kisah ini. Para remaja bisa membaca namun tetap dengan mendapatkan bimbingan orang tua.

https://www.goodreads.com/
photo/author/933674.Ichiy_Higuch
i
Sang penulis kisah, Ichiyō Higuchi, terlahir dengan nama Natsuko (2 Mei 1872–23 November 1896) merupakan novelis Jepang dari zaman Meiji. Sejak kecil,  kemampuannya terkait sastra sudah terlihat. Ia bahkan mampu memahami syair-syair yang dibacakan oleh ayahnya serta  tampil membacakan sajak di depan tamu ayahnya yang berkecimpung di dunia sastra.

Kematian kakak laki-laki dan ayahnya membuat kehidupan keluarga tersebut menjadi berantakan. Namun Ibu dan saudara perempuannya tetap mendorong Ichiyo untuk terus bersemangat menulis, mereka yakin suatu saat ia akan menjadi penulis terkenal.

Meski berhasil menerbitkan buku dan menghasilkan karya-karya, Ichiyo saat itu tidak mendapat tempat di dunia sastra karena saat itu adanya pandangan tugas seorang perempuan hanyalah sebagai istri dan ibu yang baik, tidak lebih.

Sebagai penghormatan atas prestasinya, pada November 2004, lukisan potret Ichiyo menghiasi uang kertas Jepang pecahan 5.000 yen. Memang pengakuan atas eksistensi dirinya baru diberikan sekian lama, namun lebih baik terlambat daripada tidak.

Beberapa karyanya antara lain;Yamizakura (Musashino, Maret1892);Tama Keyaki (Musashino, Maret 1892); Akatsuki Zukuyo (Miyako no Hana, Februari 1893); Yuki no Hi (Bungakukai, Maret 1893);Koto no Ne (Bungakukai, Desember 1893); Yamiya (Bungakukai, Juli 1894); Nokimoru Tsuki (Mainichi Shimbun, April 1895);  Wakaremichi (Kokumin no Tomo, 1896); Warekara (Bungei Kurabu, Mei 1896)

Oh ya, sehabis membaca, tak ada salahnya juga menikmati versi animasi. Tak kalah menariknya lho. 

Sumber Gambar:
https://www.goodreads.com

Sumber film animasi:
https://www.youtube.com












Tidak ada komentar:

Posting Komentar