Judul : Tuck Everlasting
Pengarang : Natalie Babbitt
ISBN : 978-979-024-458-0
Penerjemah : Mutia Dharma
Penyunting : Ida Wajdi
Pewajah Isi : Aniza Pujiati
ISBN : 978-979-024-458-0
Halaman : 173.
Terbit : November 2010
SAYA BENCI IDA............................!
Suara tawa ala setannya selalu menghantui saya
Kenapa sih selalu saja dia berhasil membuat saya terseyum puas sehabis membaca buku
lalu saya terpaksa mengakui kehandalannya menyunting
Belum lagi perasaan sebal dan iri yang kerap muncul!
Dia selalu membaca buku bagus lebih dulu dari saya
erggggggggggggg, menyebalkan!
Waduh................
Tawa setannya berkumandang di seantero kamar
Tidak...............................!
Untuk,kali ini biar saya buatkan repiu yang berbeda
supaya ketawa setannya sedikit berkurang
meluncur..................
-----------------------------------
Jakarta tahun 20XX
Di sebuah pavlium kecil tak jauh dari sebuah rumah megah bertingkat, tampak seorang wanita paruh baya sedang duduk dengan nyaman di sebuah sofa. Tangannya terlihat memegang sebuah buku. Wajahnya memancarkan ketenangan. Itu dikarenakan ia berada di tempat yang paling disukainya, perpustakaan pribadinya. Ia berada di antara buku-buku yang dikoleksinya sejak dulu.
Setiap buku mengandung cerita. Ia sangat menyukai saat bersantai dalam hening sambil sesekali membuka-buka buku koleksinya. Ada yang memang dibaca ulang, namun ada juga yang hanya dibuka sekedar karena dorongan sentimentil seorang perempuan paruh baya belaka.
Namun keheningan mendadak pecah oleh suara berlari beberapa orang. Perempuan itu hanya terseyum sambil melirik jam yang ada di dinding. Rupanya ia sudah tahu siapa yang harus .bertanggung jawab karena merusak keheningan di perpustakaannya
Beberapa orang ABG mendekat dengan setengah berlari.
"Maaf Grandnie, hari ini kami terlambat. Sepulang sekolah kami melayat orang tua seorang teman sekelas” kata seorang pemuda dengan napas terengah-engah akibat berlari. Ia rupanya menjadi juru bicara diantara lain lain
Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum simpul sambil menatap wajah-wajah yang ada dihadapannya. Mereka adalah cucu tersayangnya dan para sahabat. Setiap hari jumat sepulang sekolah, mereka pasti mampir ke perpustaakaan pribadi nya untuk meminjam buku dan berdiskusi seputar dunia tulis menulis, dunia yang belakangan menarik perhatian mereka.
”It’s ok...suatu saat nanti juga tiba giliranku. Hidup dan mati memang harus dihadapi” jawabnya dengan santai. Jawabannya membuat mereka sesaat saling menatap dengan heran.
”Grandnie, ada buku yang berkisah tentang kehidupan dan kematian?” tanya seorang gadis muda.
Rupanya mereka masih terbawa suasana sehabis melayat tadi.
Perlahan perempuan paruh baya yang dipanggil Grandnie itu mendekati sebuah rak. Tangannya menyusuri susunan buku yang ada dan berhenti di sebuah buku tipis berjudul Tuck Everlasting. Diambil dan disodorkannya buku itu ke anak perempuan yang tadi bertanya
”Hah...? Ini khan buku anak-anak Grandnie! Masak aku disuruh baca buku anak-anak” Anak perempuan itu menunjukkan keberatannya. Maklum diusia 13 tahun mereka tidak mau dianggap anak-anak, walau remaja juga belum.
”Kata siapa? Buku ini berkisah tentang pilihan hidup. Apakah mau hidup abadi atau hidup sesuai kodrat” jawab perempuan itu dengan tersenyum. Anak gadis itu menerima dengan ragu. Matanya memancarkan rasa tak percaya sambil tangannya membolak-balik halaman buku secara acak dengan lesu.
Melihatnya perempuan paruh baya itu tertawa tanpa suara. Diambilnya buku yang tadi diserahkan sambil berkata, ”Ya sudah, duduk sana. Untuk sekali ini biar Grandnie bercerita ala pendongeng” kata perempuan itu sambil duduk di sofa nyamannya. Seketika suasana menjadi riuh. Anak-anak remaja itu berebutan mencari posisi yang nyaman untuk mendengarkan cerita.
Untuk sesaat mereka melupakan tekatnya untuk dianggap remaja. Biar bagaimana juga, dalam diri setiap individu terdapat unsur anak-anak yang tak pernah hilang
Perlahan, mulailah perempuan itu bercerita.............................
Alkisah, disuatu masa hiduplah seorang gadis kecil bernama Winnie Foster. Ia merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga yang memegang ketat peraturan. Semuanya harus teratur dan rapi. Hidup seakan monoton baginya. Ia bahkan tnyaris ak boleh pergi melewati pagar rumahnya. sendirian Kadang Winnie merasa bosan dan ingin memberontak.
Suatu hari, guna menghilangkan kejenuhannya Winnie nekat pergi keluar pagar sendirian. Di dekat rumah kelurga Foster, terdapat sebuah hutan kecil. Tanpa sengaja, kakinya melangkah ke dalam hutan hingga berhenti di sebuah mata air kecil.
Disana ia bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama Jesse yang kelihatannya sebaya dengannya.
Sebaya............?
Sebenarnya tidak juga.
Winnie juga bertemu dengan
Angus
Mae
Miles
Seluruh anggota keluarga Tuck yang kelihatan ramah dan menghadapi hidup dengan tenang.
Tanpa sengaja, Winnie bertemu dengan sebuah keluarga yang hidup abadi. Entah kutukan atau anugrah. Mereka bukanlah golongan orang yang berusaha mencari obat umur panjang apalagi obat untuk hidup abadi. Semuanya diperoleh tampa sengaja dari kolam kecil di hutan milik keluarga Winnie.
Keluarga Tuck sepertinya sudah bisa menberima kondisi mereka dengan lapang dada. ”Hidup harus dijalani, tidak perduli pendek atau panjang, kau harus menerima apa yang datang.... Kami tidak layak mendapatkan anugrah-kalau ini memang anugrah. Dan sebaliknya, aku juga tidak melihat harus dikutuk, kalau ini memang kutukan... dan mengeluh tidak akan mengubah apa-apa” kata Mae Tuck kepada Winnie
Perkenalan yang singkat mampu mengubah pandangan hidup Winnie. Winnie yang merupakan anak tunggal menemukan sesuatu yang menarik hatinya. ”....Aku muak diperhatikan setiap saat. Aku ingin menajdi diriku sendiri sesekali” Di rumah sederhana keluarga Tuck, ia menemukan apa yang diimpikannya, menjadi dirinya sendiri.
Hidup dan kelahiran bagaikan dua mata uang. Saat kita lahir, kita sudah harus mempersiapkan diri guna menghadapi kematian, tanpa tahu entah kapan datangnya. Hal itu juga diajarkan kepada Winnie oleh Angus Tuck.
”Aku tidak ingin mati”,kata Winnie
”Tidak,” kata Tuck dengan tenang.
”Tidak sekarang. Waktumu bukan sekarang. Tetapi kematian adalah bagian dari roda itu, peris di samping kelahiran. Kau tidak bisa memilih bagian yang tidak kausukai dan menyisakan yang lain.....Roda itu akan terus berputar... tetapi orang tidak akan berubah kecuali menjadi batu-batu di sisi jalan. Karena mereka tidak akan tahu sampai sesudahnya, dan pada saat itu semuanya sudah terlambat.”
Buku ini mengisahkan bagaimana Winnie diusia yang belia harus mengambil keputusan yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Menjadi abadi seperti keinginan Jesse yang sangat disukainya atau tetap menjalani roda kehidupan seperti yang ditakdirkan. Pelajaran bagaimana kehiduapn harus dijalani dan bagaimana kita harus bersikap terhadap kematian bisa di peroleh dalam buku ini. Jangan meremehkan sebuah buku, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita dapati dari buku itu.
Perlahan perempuan paruh baya itu menutup buku yang tadi dibacanya dan menyerahkan kembali ke anak perempuan yang tadi bertanya. Untuk kali ini anak perempuan itu menerimanya dengan takjub dan membalik-balik halaman dengan mata-mata yang berbinar kagum.
"Kalian tahu, penulis buku ini adalah Natalie Zane Moore, dikenal dengan nama Natalie Babbitt lahir di Dayton, Ohio, pada 28 Juli 1932 . Selain menulis buku anak-anak, ia juga seorang ilustrator buku . Buku ini juga sudah difilmkan. Jika kalian mau menonton, filmnya ada disebelah sana" kata perempaun paruh baya itu sambil menunjuk sebuah rak
Sang cucu tersayang yang juga bertindak sebagai juru bicara, bergegas menuju rak yang dimaksud dan mencari-cari dengan semangat. Saat film sudah didapat diacung-acungkannya keatas bagai memamerkan sebuah piala
"Ayo kita menonton di rumah induk ditemani cemilan" ajaknya yang segera disambut gembira oleh yang lain
"Bye Grandnie, love you" katanya sambil memeluk perempuan paruh baya itu sekilas. Yang lain juga mengikuti sambil bergegas menuju rumah induk
Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum sambil memandangi mereka berlalu. Keheningan mendadak datang kembali. Perempuan paruh baya itu kembali mendapatkan ketenangannya. Ia kembali duduk di sofa nyamannya ditemani sebuah buku. Namun mendadak ia terduduk! Telinganya seakan menangkap sebuah tawa
Tidak........................................! Suara tawa setan ala Ida Wajdi terdengar kembali!
Gambar diambil dari :
1. Poster film http://shylockbooks.wordpress.com/
2. Wajah Natalie http://www.google.co.id/imglanding
Spesial buat Ida yang "menyebalkan" he he he
Tidak ada komentar:
Posting Komentar