Judul asli: Nevermoor, The Trials of Morrigan Crow
Penulis: Jessica Townsend
Penerjemah: Reni Indardini
Editor: Yuli Pritania
ISBN: 9786023853571
Halaman: 464
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 84.000
Rating: 3,5/4
Aku tercatat di Register Anak Terkutuk.
Malam ini Eventide.
Aku akan mati saat tengah malam
Bagi banyak orang tua, anak merupakan anugrah. Bahkan jika belum
juga memiliki anak, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa
mendapatkan anak. Segala daya dan upaya dilakukan. Tapi sepertinya tidak
demikian pendapat beberapa orang tua di Jackalfax.
Di sana, ada beberapa anak yang dianggap membawa nasib sial,
anak yang terkutuk. Anak-anak tersebut bahkan dibuatkan semacam daftar agar
mudah dipantau keberadaannya serta apa saja kemalangan yang sudah mereka
timpakan pada orang lain.
Orang tua yang memiliki anak seperti itu harus siap mendapat tekanan
dalam banyak bentuk. Ada yang mengirimi permintaan maaf karena tak sengaja sang
anak mengomentari suatu hal lalu terjadi hal buruk karenanya. Hingga ganti ruti
karena anggota keluarga meninggal hanya karena tak sengaja bertatapan mata.
Menyeramkan? Ada yang lebih menyeramkan lagi. Anak-anak tersebut
konon sudah diramalkan akan meninggal pada malam Eventide. Jadi para orang tua
diharap bersabar memiliki anak terkutuk hingga anak tersebut meninggal kelak. Sementara sang anak diharap untuk tahu diri tidak menyebabkan banyak kemalangan sebelum meninggal. Salah satu anak yang termasuk dalam daftar tersebut adalah Morrigan Crow
Morrigan hidup bersama dengan ayah yang merupakan politisi kawakan
dan tak henti mengeluh harus membayar ganti rugi akibat hal-hal negatif yang
dihubungkan dengannya. Nenek yang terkesan bersikap masa bodoh padahal
sebenarnya mencintainya, serta ibu tiri yang sudah tak sabar menyiapkan sebuah
upacara pemakaman baginya. Semuanya seakan bernapas lega jika
akhirnya Morrigon tak ada di antara mereka.
Kemalangannya mendadak berubah ketika bertemu dengan sosok
misterius yang mengendarai model transportasi yang tak kalah anehnya. Kapten
Jupiter Amanthius North merupakan anggota terpandang Wundrous Society, Liga
Penjelajah, dan Federasi Perhotelan Nevermoor. Sekretaris Komisi hak-hak
Wunimak, relawan pejuang buku Perpustakaan Gobleian, dan ketua Lembaga
Amal untuk Mantan Robot Pelayan. Penemu tujuh belas semesta yang semula tak terdokumentasikan
dan peraih gelar Pria Perlente Tahun Ini
versi majalah Pria Parlente selama empat tahun berturut-turut. Ia membawa
Morrigan membawanya ke Nevermoor.
Kehidupan Morrigan berubah di sana. Ia mendapatkan segala hal yang
tak pernah diperoleh selama tinggal bersama keluarganya. Semua hal juga tampaknya akan berbeda dengan yang selama ini ia alami di tempat tinggal yang lama. Semua seakan berjalan sempurna bagi Morrigan, hingga
Kapten Jupiter memberitahukan alasan sebenarnya membawa Morrigan ke
Nevermoor.
Pembaca akan diajak mengikuti kisah pencarian jati diri seorang
anak perempuan yang mengharukan. Meski demikian, jangan harap ada banyak adegan
yang menguras air mata. Sosok Morrigan yang digambarkan tegar justru membuat
kisah dalam buku ini menjadi lebih bervariasi. Ada momen tertawa, takut,
bahagia dan sedih tentunya.
Entah hanya perasaan saya saja, namun sepertinya Jessica Townsend
cukup terinspirasi dari kisah Harry Potter dan kisah klasik lainnya ketika
menulis kisah tentang Morrigan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kemiripan
yang muncul dalam kisah.
Misalnya pada bagian yang
mengisahkan tentang seleksi untuk masuk menjadi anggota Wundrous Society,
langsung membuat saya teringat pada Turnamen Triwizard pada
buku HP ke-4. Bedanya dalam kisah ini tiap kandidat harus memiliki
seorang pengayom yang juga merupakan anggota. Mereka yang lulus ujian akan
menjadi semacam saudara, orang yang rela membaktikan hidup untuk kita. Dan
hadiah yang diperoleh bukan uang tapi keanggotaan
Kemiripan lain ada dalam hal musuh yang namanya enggan disebut dan
tak diizinkan masuk ke wilayah Nevermoor. Plus nyaris tak ada orang yang masih
menyimpan fotonya. Bahkan Morrigan juga digambarkan tidak pernah
mendengar ada yang mau membicarakan tentang sosok yang dijuluki Pembantai Nevermoor.
Apapun alasannya bagian ini makin mirip dgn kisah HP.
Selanjutnya yang membuat saya ingat pada sebuah kisah klasik adalah
kover buku ini. Pertama kali melihat kover buku ini, saya langsung teringat
pada kisah Marry Poppins. Digambarkan sosok Marry Poppins
mempergunakan payung sebagai sarana transportasi. Untuk informasi
singkat mengenai Marry Poppins bisa dilihat di sini.
Oh ya untuk kover, sebenarnya saya paling suka dengan kover versi bahasa Jerman. Selain didominasi dengan warna biru (ehem), gambarnya membuat saya merasakan semangat seorang anak dalam menjalani kehidupan. Benda yang ia pegang, justru makin membuat saya penasaran dengan isi kisah dalam buku ini.
Selain hiburan, saya juga jadi belajar semua kata baru. (duh, maaf
jika saya baru tahu). Pada halaman 98
tertulis, "... dan melompat dari langkan." Maknanya bisa dilihat di link ini. Juga kata mendugalkan. Tepatnya tertulis di halaman 150, "Pria mendugalkan.
Hindari dia layaknya cacar." Penjelasannya ada di link berikut ini.
Ada satu pesan moral yang paling mengena bagi saya. Ketika sedang
mengikuti perlombaan, Morrigan mencoba menolong seorang peserta yang nyaris
celaka. Ia membawa peserta itu menaiki tunggangannya bersama. Niat baiknya itu
justru membuatnya celaka. Karena duduk di depan maka anak itu yang dianggap
memenangkan perlombaan, ia kalah. Ironinya, sang anak yang ditolong juga mengklaim ialah pemilik tunggangan dan
berhasil melakukan tugas dengan baik.
Pada halaman 257 tertulis, "Kenapa semua orang mengira bahwa sikap kesatria dan
sportif akan menguntungkan mereka? Kami menguji kegigihan dan ambisi, bukan
kebaikan hati." Hal tersebut memberikan pencerahan bahwa berbuat baik dengan menolong sesama merupakan hal yang perlu dan harus dilakukan. Hanya harus diingat kapan bisa dilakukan kapan harus bersikap masa bodoh demi keselamatan diri sendiri. Menolong adalah hal baik, tapi jangan sampai merugikan diri sendiri.
Sempat penasaran pada akhir yang berkesan tak tuntas. Semula saya
menganggap beginilah cara penulis mengakhiri kisah. Jika sambutan
menggembirakan dilanjutkan, jika tidak ya sudah. Belakangan, saat membuat
ulasan baru saya sadari ada tulisan Buku Satu. Duh, semoga buku selanjutnya
segera muncul di tanah air. Pahamkan kenapa bintangnya jadi "cuman segitu."
Sumber gambar:
Goodreads