Jumat, 30 Agustus 2019

2019 #24: BTS Love Yourself































Penulis: ARMY Indonesia
Penyunting: Orinthia Lee & Yuli Pritania
ISBN: 9786023859313
Halaman: 165
Cetakan: Pertama-Juli 2019
Penerbit:Naura Books
Harga: Rp 89.000
Rating: 3.5/4

Lewat mereka, Tuhan memperbaiki jalanku.
Lewat mereka, Tuhan menolongku.
Entah apa yang akan terjadi jika dulu aku tidak mengecek ponselku yang kemudian membawaku kepada tujuh orang yang cukup berpengaruh dalam hidupku itu.

~halaman 93~

Sebuah pengakuan dari salah satu ARMY-sebutan bagi fans BTS tentang bagaimana kehidupan mereka berubah dratis sejak mulai mendengarkan  lagu dan mengenal BTS, membuat siapa saja yang membaca akan terharu.

Buku ini berisikan aneka kisah menyentuh dari para ARMY tentang bagaimana BTS mengubah kehidupan mereka.  Lebih dari 20 kisah dari ARMY yang berprofesi sebagai mahasiswa, karyawan, dan Account Executive. Dengan rentang usia beragam dan berasal dari berbagai daerah.

Seorang karyawan di Bogor sebagai contoh. Meski usianya sudah 28 tahun, usia yang sering dianggap terlalu matang untuk ikut menikmati lagu ala BTS, ia menyukai BTS karena syair lagunya banyak memberikan inspirasi dalam menjalani hidup, selain memang menghibur. Tema lagu yang sederhana dan banyak mengangkat  seputar kisah kehidupan, sering kali membuat yang mendengar merasa memiliki persamaan, memicu munculnya kedekatan emosional.
 
Kalimat I'm the one I should love in this world telah membuat kehidupan seorang gadis berusia 14 tahun di Depok menjadi lebih berwarna. Ia lebih berani mengekspresikan diri, imajinasinya juga jadi berkembang dengan pesat. Remaja itu juga semakin mencintai dirinya sendiri dan memahami bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil.

Bagi Siti Halimah yang berusia 17 tahun, lagu First Love BTS mampu membuatnya tenang melebihi mariyuana yang selama ini di Konsumsinya dengan alasan mencari ketenangan. Pergaulan buruknya  mulai berkurang. Ia menjadi anak yang lebih baik. Pandangan hidupnya telah berubah, pergaulan bebas sekarang  baginya  justru membawa kesengsaraan, bukan kebahagian.

Seorang yang berprofesi sebagai penerjemah  semula merasa rendah hati karena merasa kemampuannya hanyalah sebatas mengalihkan bahasa saja. Melalui BTS ia menjadi sosok yang lebih percaya diri. Baginya ada tiga hal penting yang bisa diambil dari lagu-lagu BTS.

Pertama apapun yang terjadi hasil tidak mengkhianati usaha. Kedua jangan bergantung kepada tempanya  berpijak. Terakhir yakinlah bahwa we can push ourselves more than we think. Berkat BTS juga ia langsung ditempatkan di level 4 saat mengikuti placement test guna mengikuti pendidikan di sebuah institut bahasa Korea, padahal ia tak pernah mengikuti pendidikan resmi. Dan sekarang ia sudah berani mencoba mempelajari bahasa asing lain lagi.

Bird Pipit16 di Cilegon, memberikan bukti bahwa mengidolakan sebuah group tidak berarti harus menghamburkan banyak uang untuk mengoleksi album, membeli aneka permak-pernik, dan atribut lainnya  sebagai pembuktian bahwa kita adalah pengagum mereka. Justru ia menunjukkan bagaimana bsia bertahan memenuhi seluruh kebutuhannya terutama sejak ayahnya berpulang. Rasanya berbeda jika membeli dari keringat sendiri.

Pada bagian belakang, terdapat semacam playlist lagu-lagu BTS. Disajikan dalam bentuk huruf Korea-Hangul, lalu bahasa Korea, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Terdapat sebanyak 5 lagu dalam bagian ini. Mulai dari Intro: Persona, Make It Right, Home, hingga Dianyaus.

Dibandingkan dengan buku yang mengulas mengenai sebuah group band,mbuku ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Bukan bagaimana kehidupan para anggota BTS yang diuraikan dalam buku ini, tapi lebih pada bagaimana lagu mereka memberikan inspirasi bagi para fans, serta bagaimana pandangan mereka terhadap kehidupan ini.

Banyak pesan moral yang ditemukan dalam buku ini. Dan tentunya bagi kaum muda, jika idolanya memberikan sebuah pesan positif  akan diingat selalu sehingga membawa dampak yang besar bagi kehidupannya. 

Melihat foto RM, leader BTS yang memegang buku Think Like  a Freak, langsung ingin memberikan banyak jempol. Tak  heran jika ia dikagumi banyak orang karena bakat dan kecerdasannya. Bagi saya jika  seorang berfoto dengan memegang buku, itu tanda ia  suka membaca. Kecuali untuk kepentingan endors.  Wajarkan  kalau dia mampu membuat pidato sebaik yang dibacakan di PBB.
 
Sekedar tambahan, mungkin ada yang belum membaca terjemahan pidato BTS  dihadapan para pemimpin dunia yang hadir dalam acara UNICEF di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, pada Senin 24 September 2018 waktu setempat.

Terima kasih Bapak Sekretaris Jenderal PBB, Direktur Eksekutif UNICEF, dan seluruh hadirin serta tamu undangan dari seluruh dunia.

Nama saya Kim Nam Joon atau dikenal sebagai RM, pemimpin dari grup BTS. Sebuah kebanggaan yang luar biasa bagi kami untuk diundang pada kesempatan yang penting bagi para generasi muda di dunia ini. Akhir November lalu, BTS meluncurkan kampanye Love Myself bersama UNICEF untuk membangun kepercayaan bahwa cinta sejati dimulai dari diri mencintai kita sendiri.

Kami bersama UNICEF membuat program untuk melindungi anak-anak dan para remaja di seluruh dunia dari kekerasan. Penggemar kami menjadi bagian utama dari kampanye ini dengan aksi dan antusiasme mereka. Kami benar-benar memiliki penggemar terbaik di dunia ini.

Saya akan mulai membicarakan tentang diri saya. Saya lahir di Ilsan, sebuah kota kecil dekat Seoul, Korea Selatan. Di sana merupakan tempat yang sangat indah dengan danau, bukit, hingga festival bunga tahunan. Saya telah menghabiskan masa kecil saya dengan bahagia di sana dan saya hanya seorang anak laki-laki biasa.

Saya selalu melihat ke atas langit malam hari dan bertanya-tanya. Dan saya bermimpi tentang seorang anak laki-laki. Saya pernah membayangkan bahwa saya adalah pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia.

Itu adalah intro dari salah satu album awal kami. Di sana ada bagian yang mengatakan, ‘jantung saya berhenti saat saya berusia sembilan atau sepuluh tahun’

Melihat ke belakang, saya berpikir bahwa ketika saya mulai khawatir tentang diri saya oleh orang lain dan mulai melihat diri sendiri melalui mata mereka. Saya berhenti melihat ke atas langit malam dan bintang-bintang. Saya berhenti bermimpi. Sebaliknya, saya mencoba mendesak diri saya masuk ke dalam apa yang orang lain buat. Segera setelah saya memulainya, saya berteriak dengan suara saya sendiri dan mulai mendengar suara orang lain. Tidak ada seorang pun memanggil nama saya, begitupun sebaliknya. Jantung saya berhenti dan mata saya tertutup perlahan. Jadi seperti ini, saya, kita semua kehilangan nama. Kita jadi seperti hantu

Lalu saya pergi ke dekat altar di gereja dan ada sebuah musik.
Di sana ada suara kecil yang mengatakan, “Bangunlah dan dengarkan dirimu sendiri!” Itu membuat saya terdiam untuk waktu yang cukup lama, mendengar musik, dan memanggil nama saya.

Walaupun setelah saya memilih untuk bergabung dengan BTS, di sana banyak rintangan yang dihadapi. Beberapa orang mungkin tidak percaya, tapi banyak orang mengira kami tidak memiliki harapan. Terkadang saya hanya diam, tapi saya berpikir saya beruntung bahwa saya tidak menyerah atas itu semua. Saya yakin bahwa saya dan kita akan membuat kesalahan dan jatuh seperti itu.
 
BTS telah menjadi artis yang tampil di tempat yang luas ini dan menjual jutaan album, tapi saya tetap seorang lelaki biasa berusia 24 tahun. Jika ada sesuatu yang membuat saya mendapat penghargaan, itu hanya mungkin karena saya memiliki member BTS lainnya disamping saya. Berkat cinta dan dukungan Army, penggemar kami di seluruh dunia.

Mungkin saya membuat kesalah kemarin, tapi kemarin, saya tetaplah saya. Hari ini, saya dan dengan segala kesalahan saya. Besok, saya mungkin sedikit lebih bijaksana dan itu akan tetap menjadi saya juga. Kesalahan-kesalahan saya adalah diri saya sendiri yang membuat bintang-bintang paling terang hidup dalam diri saya. Saya telah mencintai diri saya sendiri, untuk siapa saya, dan untuk orang yang ingin menjadi saya.

Saya ingin mengucapkan bagian akhir. Setelah kami merilis album Love Yourself dan meluncurkan kampanye Love Myself, kami mulai mendengar cerita yang luar biasa dari penggemar kami di seluruh dunia, pesan bagaimana mereka mengatasi penderitaan dalam hidup dan mulai mencintai diri mereka sendiri.

Cerita itu sering mengingatkan kami tentang rasa tanggung jawab. Jadi, mari kita melangkah sekali lagi. Kita harus belajar mencintai diri kita sendiri, sekarang saya ingin mendorong kalian agar berbicara pada diri sendiri. Saya akan bertanya pada Anda semua. Siapa namamu? Apa yang membuatmu bisa bangkit dan berdebar? Beritahu saya cerita itu! Saya ingin mendengar suara dan pendapatmu. Tidak peduli siapa dirimu, darimana kamu berasal, apa warna kulitmu, apa jenis kelaminmu, cukup berbicara pada dirimu sendiri. Temukan namamu, temukan suaramu dan berbicaralah pada dirimu sendiri.

Saya adalah Kim Nam Joon juga RM BTS. Saya seorang idol dan artis dari kota kecil di Korea. Seperti kebanyakan orang, saya membuat banyak kesalahan dalam hidup dan mempunyai banyak ketakutan. Namun saya akan merangkul diri saya sendiri sesulit yang saya bisa dan saya akan mulai mencintai diri saya sendiri perlahan-lahan.

Siapa namamu? Bicaralah dengan dirimu sendiri

Pidato tersebut juga bisa dilihat di sini
Anak-anak muda yang mengesankan!
Apalagi di halaman belakang buku disebutkan bahwa seluruh royalti buku ini akan disumbangkan bagi komunitas peduli kesehatan jiwa. Sebuah gerakan yang mulia. Jadi, ada baiknya kalian juga membeli buku ini agar bisa ikut berpartisipasi. 

Sumber foto:
1. Buku BTS Love Your Self
2. Koleksi Audrey Cordelia

Kamis, 29 Agustus 2019

2019 #23: Ve, Kata Bapak Saya...

Judul asli: Ve
Penulis: Vinca Callista
Penyunting: Jia Effendi, Teguh Afandi, & Yuli Pritania
ISBN: 9786023857074
Halaman: 204
Cetakan: Pertama-2018
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 59.000
Rating: 4/5

PERATURAN BAPAK
Orangtua berhak membunuhmu

Perempuan tidak usah banyak membaca karena ilmu selain dari Bapak itu sia-sia

Jika tidak patuh, pukuli sampai sekarat atau kubur sekalian.

Gila!
Membaca kalimat yang tertera sebagai blurd, ada rasa penasaran yang bergejolak. Karya  thriller seperti apa yang dibuat oleh penulis sehingga muncul kalimat tersebut? Hemmm, menggoda.

Kisahnya tentang seorang gadis bernama Ve yang suatu pagi menemukan ibunya  tidak ada di rumah. Sang ayah mengatakan jika ibunya  kabur meninggalkan  mereka demi selingkuhannya di luar negeri. Suatu hal yang ia yakini tak benar.

Selanjutnya kisah mengalir dengan cepat. Ve dibawa ke rumah nenek dari pihak bapaknya, Nenek Unung. Sang ayah mengajak tinggal di sana untuk menenangkan diri. Namun bukannya mendapat ketenangan,  justru ketakutan yang ia peroleh. Ve menemukan banyak hal janggal di sana. 

Mulai dari Nenek Unung yang  bertingkah diluar nalar, ayahnya yang patuh secara aneh, rumah Oma Teti-ibunya ibu yang mendadak diserbu tikus,  anak laki-laki yang diperintahkan untuk menemaninya, hingga masa lalu keluarga yang menakutkan. Ve berada dalam bahaya yang tak ia sadari sebelumnya.


Berulang kali Nenek  Unung mengatakan "kata Bapak saya..." seakan ia sedang melaksanakan doktrin yang diterima dari ayahnya. Bagian ini sempat mengingatkan saya pada sinetron Tukang Ojek Pengkolan (ketahuan deh suka nonton). Tokoh Kang Trisna juga sering mempergunakan kalimat serupa disetiap kesempatan hingga menjadi bahan olokan temannya. 


Tapi, jika Kang Trisna yang mengucapkan  kalimat "kata bapak saya", kesannya lucu. Sementara jika Nenek Unung  yang mengucapkan muncul kesan menakutkan. Ditambah penulis sering menggambarkan wajah Nenek Unung ketika mengucapkan kalimat tersebut. 

“Kata Bapak Saya, anak perempuan tidak boleh melawan orang tua. Ayo,  dimakan sampai habis,"kata Nenek, tersenyum lebar kepadamu. Begitu yang tertera di halaman 13, kesan tersenyum lebarnya pasti kelihatan  menjadi menakutkan. Seram!


Penyebutan tokoh dengan kata “Kamu” membuat saya bertanya-tanya, bagaimana jalan cerita  yang ditawarkan oleh penulis. Pada bagian awal penulis sudah memberikan kesan ada orang ketiga yang  bercerita. Namun belakangan saya merasa sepertinya cara bercerita ini kurang cocok.

Bagaimana orang ketiga bisa bercerita panjang lebar pada Ve mengenai apa yang terjadi padahal Ve tidak pernah menceritakan semuanya? Bertemuannya dengan orang yang berperan sebagai tukang cerita   jarang dilakukan. Kalau pun ada, waktunya juga tak lama. Lalu bagaimana ia bisa mengisahkan ulang semua kejadian yang menimpa Ve?


Sebaiknya penulis mensiasati dengan cara membuat seolah-olah Ve menulis semacam buku harian. Atau sempat menuliskan pesan via email sebelum semua akses yang ia miliki tertutup. Atau cara lain yang bisa dipikirkan penulis.


Bagian yang mengisahkan bagaimana Oma Teti terluka, agak tidak masuk akal buat saya. Bagaimana bisa  tidak ada orang yang  melihat  ketika Oma Teti dibawa keluar dari rumah. Ditambah dalam kisah ini disebutkan bahwa Oma Teti memiliki tetangga seorang pensiunan polisi yang sudah mengetahui perihal persoalan yang mereka hadapi. pastinya tetangga itu sudah waspada ketika Nenek Unung dan ayah Ve masuk ke dalam rumah Oma Teti.


Oh ya, salah satu adegan di halaman 12. langsung membuat saya merasa ini pastilah kunci, minimal salah satu pemicu munculnya keseraman dalam kisah. Sok tahu  yang untungnya benar. Efek terlalu sering nonton  dan membaca kisah detektif mungkin ^_^.


Namanya juga kisah urban thrille, tentunya ada adegan  seram. Dalam kisah ini adegan seram berupa penyiksaan membuat bulu kuduk berdiri. Pada beberapa bagian,  berkesan ala film horor kita, misalnya pada halaman 114.  Dalam adegan tersebut emosi pembaca diaduk-aduk sedemikian rupa. Tegang! Belum ingin meletakkan buku sebelum kisahnya habis, penasaran rasanya!



Pada bagian awal, semacam judul mungkin, tertulis “Situasi Emosi #no bab: judul bab. Misalnya “Situasi Emosi #14: Panik. Maka pembaca akan menemukan tulisan yang isinya kurang lebih berkisah tentang kepanikan. Terbayangkan, bagaimana was-wasnya ketika ada bagian yang diberi judul "Takut" lalu "Sakit".

Dengan ilustrasi sampul karya Indah Rakhmawati dan desain oleh Dilidita,  kesan menyeramkan sungguh pas. Bahkan tanpa perlu membaca tulisan "Urban Thriller" yang ada di pojok atas. Terutama membaca kalimat "Bapak bilang: perempuan itu kodratnya di bawah lelaki"  minimal sudah ada sesuatu hal yang membuat kedua alis pembaca bertemu.


Secara garis besar, buku ini tidak hanya menawarkan rasa mencekam karena termasuk dalam kisah urban thrille, lebih dari itu. Penulis seakan ingin membagikan pandangan mengenai kesetaraan gender pada pembacanya. Bahwa laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dalam membangun rumah tangga. Tak ada yang dikalahkan, dan tak ada yang menindas. 

Pendidikan juga menjadi topik dalam kisah ini. Sesungguhnya pendidikan adalah mutlak hak setiap orang. Tak ada yang bisa melarang orang yang ingin maju meraih pendidikan lebih tinggi. Tak ketinggalan pentingnya pendidikan budi pekerti yang dimulai dari rumah.

Penulis terlihat begitu mencintai buku (pastinya). Hal tersebut bisa dilihat pada kalimat yang tercetak di halaman 25.  "Lagi pula, kamu tidak setuju buku dituduh begitu. Kamu memperoleh banyak ilmu dan merasakan manfaat yang memperluas wawasan dari membaca serta memahami bobotnya."


Kecintaannya pada perputakaan tercermin pada halaman di halaman 14. "Library Café Akar merupakan penambahan dari perpustakaan yang sudah didirikan mami Akar dua puluh tahun lalu saat perempuan itu masih kuliah hal.


Sebenarnya, saya pingin memberikan bintang 5. Karena buku ini sukses membuat saya membaca sambil melotot! Hanya ada satu kekurangan yang mengganggu. Kenapa  ukuran hurufnya harus berbeda ya? Dari jenis, ukuran serta ketebalan cetakan berbeda. Jika maksudnya untuk memberikan pertanda beda bagian, memang berhasil. Tapi malah mengurangi kenikmatan membaca.  Padahal kisahnya mulai makin seru


Penulis buku ini ternyata Vinca Callista pernah memenangkan Emerging Writer pada Ubud Writer & Readers Festifal 2015. Silakan mampir ke www.vincacallista.wordpress.com untuk lebih mengenainya.  Membaca tiga nama yang bertugas menjadi penyunting, harusnya saya yakin buku ini pasti menjanjikan sesuatu yang spektakuler.

Keren!




















Jumat, 23 Agustus 2019

2019 #22: Kumpulan Kisah Dalam Tuileries

Penulis: Nh Dini
Disain sampul: Nataliniwidhiasi-Lini
Lukisan dalam: Lini
Halaman: 169
Cetakan: Pertama-1982
Penerbit: Sinar Harapan

Setiap buku memiliki pembacanya masing-masing.

Saya percaya sekali dengan hal tersebut. Jika memang sudah digariskan buku tersebut akan dibaca oleh seseorang, maka dengan berbagai cara buku tersebut akan bertemu dengan pembacanya. Buku ini dengan saya misalnya.

Awalnya tak sengaja menemukan buku karangan Eyang Nh Dini pada sebuah lapak buku. Harganya lumayan mengejutkan. Walau saya pengagum karya Nh Dini tapi rasanya mustahil saja saya mau mengeluarkan sejumlah nominal untuk membeli buku. Untunglah di tempat lain, buku ini ditawarkan dengan harga yang lebih bersahabat.

Dimulai dengan menyajikan pengalaman sajak "Ke Pelabuhan" karangan Toety Heraty, buku yang sebenarnya adalah kumpulan cerpen ini menyajikan 12 kisah untuk dinikmati. Mulai dari Tuileries, Jenazah, Pasar Hewan, Burung Putih, hingga Warga kota. Dengan aneka tema dan lokasi yang beragam membuat tiap kisah menawarkan sesuatu yang berbeda.

Kisah Tuileries, yang diangkat menjadi judul kumpulan cerpen ini, mengisahkan tentang kehidupan seorang wanita  bernama Jamila.  Seorang ibu dari dua anak yang berjuang menghadapi penyakitnya seorang diri setelah memilih memisahkan diri dari sang suami. Kisah yang penuh dengan perenungan ini banyak mengambil lokasi di taman Tuileries. 

Sekedar iseng, ketika saya mencari lebih tahu mengenai Tuileries, ternyata itu merupakan tempat yang mendapat nilai tinggi pada laman TripAdvisor. Tepatnya tertulis, "Jardin de Tuileries adalah semacam taman yang luas dan terletak di dekat area Musee du Louvre. Area nya sangat luas, dimana kita bisa menikmati waktu santai. Banyak spot yang bisa digunakan sebagai latar foto kita. Sangatlah ramai terutama pada musim panas, seperti saat saya kesana. Biasanya sekaligus jalan, setelah masuk ke Musee du Louvre maka , pengunjung akan lanjut menikmati taman ini."
Mencermati tulisan "Sekayu, 1981"  pda akhir kisah, bisa kita asumsikan kisah ini diselesaikan pada tahun 1981 di Sekayu. 

Kisah Jenasah, bisa membuat pembaca merasa terenyuh. Bagaimana seorang anak berusaha untuk mengambil jenasah bapaknya di rumah sakit untuk dapat dikuburkan dengan layak sesuai permintaan ibunya. Biaya untuk mengambil jenasah sang ayah yang lumayan membuat keluarga harus memutar otak hingga melakukan pencurian jenasah.

Otomatis saya jadi teringat beberapa kisah serupa. Orang tua yang tak bisa membayar biaya ongkos membawa jenasah sampai rumah hingga harus membawa dengan kendaraan umum. Juga tentang Ambulance yang dikabarkan membuang jenasah sembarang. Hingga  kisah sejenis di India. Ketika kita meninggalkan, ternyata membutuhkan biaya, dan itu menjadi tanggungan bagi  keluarga yang ditinggalkan

Tidak semua kisah mengambil tokoh manusia, pada "Warga Kota" tokoh utamanya adalah seekor anjing yang diberi nama Si Belang. Sepasang kakek-nenek memelihara Belang untuk memgisi hari tua mereka sehingga menjadi lebih berwarna. Beberapa kali Belang menyelamatkan nyawa manusia. Dari anak kecil yang tercebur kolam, hingga menyelamatkan nyawa kakek yang memeliharanya sejak kecil. Kisah yang mengharukan ini ditulis juga di Sekayu pada tahun 1980.

Pada beberapa bagian, cara bercerita penulis agak berbeda dengan yang ada pada buku-buku lainnya. Mungkin saja hal ini dikarenakan adanya perkembangan penulis selama meniti karier. Meski demikian hal tersebut tidak mengurangi kenikmatan membaca.

Ilustrasi juga bisa ditemukan dalam buku ini. Sayangnya disajikan dalam ukurannya yang terbilang kecil padahal gambar seperti ini akan lebih bisa dinikmati jika disajikan dalam ukuran yang lebih besar. 

Demikian juga dengan kover yang sekilas menyerupai gambar tengkorak (maafkan ketidakpahaman saya akan karya seni), kesan pertama yang saya dapat. Jika saya tak mengenal nama penulis, bisa salah mengira ini buku kisah horor.

Secara keseluruhan kisah dalam buku ini wajib dibaca bagi mereka yang menyukai karya Nh Dini. Juga bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan sastra di tanah air. Beberapa kisah mungkin tidak cocok dibaca bagi mereka yang berusia dibawah 17 tahun.

Gaya bercerita penulisan yang terbuka apa adanya memang sering menimbulkan perdebatan. Tapi dalam buku ini masih dalam tahap yang wajar apalagi jika dibandingkan dengan novel ABG yang belakangan bermunculan.

Sebuah warisan  berharga dari seorang pujangga. Semoga ada versi cetak ulangnya.