Penulis: Sunardian Wirodono
Penyunting: Endah Sulwesi
Penggambar sampul: Yudi Irawan
ISBN: 9786026799333
Halaman: 216
Cetakan: Pertama-Desember 2017
Penerbit: Javanica
Harga: Rp 65.000
Rating: 3.5/4
Cinta bukanlah dua jiwa yang dipersatukan, tetapi dua jiwa yang
saling menjaga dan menghargai. Betapa malangnya jika dalam cinta kita
kehilangan jiwa kita, menjadi jiwa yang lain, walaupun jiwa yang lain itu
sangat kita cintai. Aku tak ingin kehilangan jiwaku.
~ Cinta Terakhir Sang Sultan, hal 39~
~ Cinta Terakhir Sang Sultan, hal 39~
Segala sesuatu kadang terjadi
begitu saja, seakan memang sudah selayaknya terjadi. Seolah alam
berperan. Demikian juga dengan buku ini. Semula, saya mendapat buku tipis
tentang Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Peringatan 40 Tahun. Sel
kelabu saya langsung mengarah pada koran Buana Minggu yang saya baca saat kecil
(baik, mungkin aneh anak kecil baca koran seperti itu).
Salah satu artikel membahas tentang
pernikahan Sri Sultan Hamengku Bowono IX dengan seorang wanita yang bukan dari suku Jawa. Banyak
pihak yang berkomentar miring mengenai pernikahan tersebut. Saya jelas tidak
paham kenapa. Timbul rada
ingin tahu yang menggelitik. Tapi saya tentu tak berani bertanya pada sesepuh. Terbayang sudah jawaban yang akan saya terima.
Dan, gayung bersambut. Sebuah buntelan buku yang mengisahkan mengenai kisah kasih
beliau berdua dari Penerbit Javanica
mendarat beberapa waktu lalu. Meski
butuh waktu lumayan lama, rasa penasaran saya terjawab sudah.
Awalnya, saya mengira ini merupakan
buku yang berisikan hal-hal romantis yang terjadi antara Sri Sultan Hamengku Bowono IX dengan istrinya,
Norma Nindyokirono. Judulnya saja Cinta Terakhir Sang Sultan. Pastilah menceritakan
tentang awal mereka bertemu hingga maut memisahkan, dengan bunga-bunga indah
tentunya.
Tak jauh meleset perkiraan saya. Memang ada bagian romantis namun ada juga bagian yang mengisahkan mengenai bagaimana situasi dan kondisi Bung Karno, Haji Agus Salim dan beberapa tokoh nasional ketika dibuang ke Mentok, Bangka. Dan banyak hal lainnya. Bisa dikatakan buku ini merupakan paket komplit
https://nasional.tempo.co/ |
Menikah dengan seorang raja tentunya
bukanlah hal yang mudah. Apalagi sebagai
perempuan non Jawa, tentunya punya pandangan dan sikap yang berbeda
dengan istri-istri lain yang memang berasal dari Jawa. Seperti yang tercantum di halaman 1980199, "Tentu tidak semudah mengatakannya.
Mereka tidak mungkin tidak menganggap saya sebagai raja, sebagai junjungan
mereka."
Misalnya tentang sapaan yang
dipergunakan Norma untuk Sri Sultan HB IX, Wonosan.
Wonosan berasal dari kata Wono yang berarti raja dalam bahasa Jepang dan san, kata tambahan yang sering diucapkan
ketika menyebutkan nama seseorang. Tentunya tak ada yang berani melakukan hal
seperti itu selain Norma. Ia juga satu-satunya istri yang menyandang nama Sri
Sultan Hamengku Bowono IX di belakang namanya. Justru itu (menurut saya) yang membuat Sri Sultan HB IX jatuh hati.
Bahkan di halaman 199 terdapat dialog yang menunjukkan bahwa Sri Sultan HB IX mendapatkan kasih sayang istri secara utuh dari Norma. Bukan berarrti istri yang lain tidak menghormati, namun bagaimana sudah disebutkan di atas, bagaimana juga beliau adalah raja. "Akulah istri satu-satunya...., tetapi karena hanya akulah yang menganggap Wonosan sebagai suami, bukan sebagai raja. Bisa jadi itu karena aku bukan orang Jawa." Sungguh manusiawi.
Pada suatu bagian, saya menemukan tulisan mengenai Norma yang melakukan cium pipa kanan-kiri dengan Sri Sultan HB IX padahal mereka belum menikah. Mata saya langsung melotot, makin melebar ketika ada beberapa adegan yang menjurus ke arah mesra diuraikan dalam buku ini.
Baiklah, sekarang saya paham sekali, kenapa Sri Sultan HB IX bisa jatuh cinta kepada sosok seorang perempuan dari Bangka bernama Norma! Entah, apakah ada orang lain yang berani mengajukan syarat ketika seorang raja mengajaknya menikah.
Melalui buku ini, saya bisa mengetahui banyak hal dari sisi Sri Sultan HB IX yang tak banyak dikabarkan. Dalam buku ini digambarkan sebagai sosok yang sedikit bicaram namun jika sudah bicara, maka yang terucap adalah kata-kata penuh makna. Misalnya saja kalimat yang ada di halaman 105, "Jika Norma mengetahui dan mampu bersikap ketika berada di mana, sebagai apa, dan untuk apa, itu yang akan menjadi ukuran apakah kita memenuhi panggilan tugas atau justru hanya menyodor-nyodorkan diri."
Sebagai orang yang diangkat anak dan menjadi orang selalu membantu Bung Karno, tentunya banyak hal terkait situasi dan kondisi negara ini yang ia ketahui dengan benar. Lalu apakah uraian perihal keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta pada Maret 1957, Freeport di halaman 151 yang mampu membuat mata melotot, serta Dewi Soekarno yang dibekali setengah kilogram emas sisa pembuatan tugu Monas di halaman 98, adalah benar? Jelas saya tak bisa menjawabnya.
Beberapa kali perihal Ibu Inggit yang
meminta dikembalikan ke Bandung dari pada harus memiliki madu disinggung.
Terlihat sekali betapa seorang Norma sangat menghormati dan menghargai apa
yang telah dilakukan oleh seorang Inggit bagi tanah air tercinta ini.
Secara sukses penulis membuat saya melihat dari sisi yang berbeda. Bagaimana juga, beliau tetaplah seorang manusia, seorang pria, seorang suami. Kadang, kita melupakan unsur "manusiawi" dari sosok yang begitu kita hormati.
Satu kalimat yang menarik dari buku Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Peringatan 40 Tahun. Pada halaman 10 tertulis, "Meskipun saya mengalami pendidikan yang tegas-tegas bercorak Barat, tapi saya in Jawa, dan bagaimanapun saya tetap Jawa." Hal ini ditunjukkan dengan kebulatan tekat beliau membantu perjuangan kemerdekaan.
Bahkan dalam buku Tahta Untuk Rakyat, terlihat bagaimana besar bantuan yang beliau berikan. Tidak hanya adalam bentuk fisik namun juga materi. Bukan hanya bagi pergerakan perjuangan, namun juga terhadap keluarga pemimpin pergerakan. Sungguh jiwa seorang raja.
Sekedar usul, jika buku ini dicetak ulang, mungkin penulis bisa menambah bagian yang menunjukkan bagaimana keindahan istana yang dibangun khusus untuk Norma di Bogor. Supaya membuat kisah ini lebih hidup lagi.
Buku yang unik.