Judul asli: Harry Potter Dan Si Anak Terkutuk
Penulis: John Tiffany, Jack Thorne, J.K Rowling
Alih bahasa: Rosi L. Simamora
Editor: Nadira Yasmine
ISBN: 9786020386201
Halaman:384
Cetakan : Pertama-2018
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 127.000
Rating: 4/5
Kata orang, menjadi orangtua adalah pekerjaan paling sulit di dunia-tapi mereka salah-tumbuh beast lebih sulit lagi. Kita semua lupa betapa sulitnya hal itu.
~Harry Potter and the Cursed Child, hal 153~
Ketika versi asli muncul, saya agak kurang bersemangat menunggu versi terjemahan. Maklumlah ini bukan kisah yang dibuat oleh J.K Rowling, tepatnya hanya sebuah skenario untuk pemetasan drama. Ada semacam perasaan meragukan bahwa buku ini bisa membuat saya terpesona. Apa lagi penyajian ala naskah tentunya membutuhkan tenaga ekstra untuk berimajinasi.
Entah kenapa, ketika melihat versi terjemahan, spontan saya membelinya, padahal sebelumnya meragukan keberadaannya he he he. Mungkin karena kata Harry Potter yang mengusik alam bawah sadar saya untuk membelinya. Ternyata saya salah, buku ini memukau saya. Dan tentunya memang butuh tenaga ekstra untuk menikmati format penulisan yang tidak biasa (bagi saya tentunya).
Terdiri dari dua bagian atau dua babak dimana tiap babak ya juga terdiri dari dua bagian. Dengan kata lain ada 4 babak dalam kisah ini. Secara garis besar, buku ini berisikan kisah mengenai kehidupan Harry Potter ketika is berusia sekitar 37 tahun, 19 tahun setelah setelah Pertempuran Hogwarts.
Harry menikah dengan Ginny dan memiliki tiga orang anak. Sementara Hermione Granger menikah dengan Ron Weasley, sungguh pasangan yang tak terduga menurut saya jika menengok bagaimana persahabatan mereka dahulu.
Ternyata meski sudah berhasil mengalahkan musuh utamanya, kehidupan mereka tidaklah semulus yang dikira orang. Masalah muncul justru karena nama besar Harry yang berakibat pada kehidupan anak-anaknya. Menjadi anak seorang legenda bukanlah hal mudah. Seperti itulah yang dirasakan oleh Albus Severus Potter.
Jika dulu Harry harus menanggung beban sebagai anak yang diramalkan akan menyelamatkan dunia sihir dari Valdemort, maka Albus dianggap anak sang penyelamat yang sering diharapkan mampu melampaui prestasi ayahnya, minimal sama. Tapi tentunya ayah dan anak tetap memiliki perbedaan dalam beberapa hal.
Soal memilih teman sebagai contoh, ternyata meski tahu bahwa orang tuanya kurang bersahabat dengan ayah teman barunya, Albus tetap menjalin persahabatan. Karena ia tahu bagaimana rasanya dianggap berbeda. Sebuah pembelajaran hidup, bahwa kita tidak bisa memandang seseorang hanya dari latar belakangnya saja tanpa mempertimbangkan keadaan dirinya saat ini.
Bagian yang saya paling suka adalah bagian yang mengisahkan tentang dunia pararel (maaf spoiler he he he). Jadi ingat beberapa kisah dan beberapa buku yang mengambil tema sejenis, kembali ke masa lalu untuk mengubah keadaan. Dan tak selalu hasil yang diharapkan sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran itu indah dan mengerikan, dan karenanya harus diperlakukan dengan amat hati-hati, demikian yang tertera di halaman 53. Kadang, membiarkan suatu kejadiaan tanpa berusaha mengubahnya merupakan hal paling baik untuk dilakukan. Siapa bilang harus menyenangkan? Bahkan kengerian pun dengan caranya sendiri akan membawa warna dalam kehidupan kita.
Sebenarnya, saya agak kebingunan harus berkomentar apa tentang buku ini. Imajinasi saya bebas berkelana dengan menggunakan buku ini sebagai acuan. Pertempuran Harry dan Draco di dapur Ginny tentunya lebih seru jika dijadikan adegan drama (ups! Maaf), tapi saya membayangkan bagaimana Harry yang tertekan dan penuh dendam masa lalu begitu menikmati kesempatan mengarahkan tongkat sihirnya pada musuh lama.
Oh ya, pesan moral tentunya juga diusung dalam buku ini. Sungguh menyentuh. Misalnya bagaimana musuh lama bisa saling bekerja sama demi menyelamatkan anak mereka. Bahwa kehidupan ini tidaklah selalu terlihat seperti yang sering ditampakkan, kadang banyak hal lainnya yang belum kita ketahui.
Sudahlah, dari pada saya mengoceh makin aneh, lebih baik beli dan baca ^_^.