Judul asli: Sang Penggesek Biola.
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penyunting: HP Melati
Desain sampul: Yudi Irawan
ISBN: 9786027926417
Halaman: 406
Cetakan: Pertama-Juni 2018
Penerbit: Imania
Harga: Rp 90.000
Rating: 3.25/5
Kapan toh ada komponis kita yang bisa menciptakan lagu kebangsaan
yang bisa menggelorakan semangat rakyat
Sang Penggesek Biola~ hal 225
Sebaris kalimat dari Majalah
Timbul, mengusik rasa kebangsaan Supratman muda. Sebagai orang yang
cukup piawai memainkan biola, ia merasa tertantang untuk mencoba menciptakan
sebuah lagu kebangsaan.
Tak ada yang bisa menebak.bagaimana hidup kita kelak. Tapi sekali
melangkah, maka segala konsekuensi terkait pilihan tersebut harus diterima
dengan lapang hati. Demikian juga dengan pilihan hidup Suratman.
Kehidupan Supratman berubah sejak ia ikut kakaknya ke Makasar. Ada yang tidak konsisten pada bagian ini.
Pada halaman 15 disebutkan bahwa Supratman cilik meminta ikut kakak
perempuannya (dalam kisah ini ditulis dengan istilah mbakyu) dan suaminya ke
Makasar. Sementara pada halaman lain disebutkan bahwa meski ingin ikut ke
Makasar namun Supratman tidak berani berkata-kata hingga suatu malam
kakaknya masuk ke kamarnya dan
menyampaikan bahwa ia sudah meminta izin suaminya untuk mengajak sang adik ke
Makasar. Tapi bisa ditarik kesimpulan dari perbedaan ini, bahwa Supratman
memang sangat dekat dengan kakaknya hingga ingin ikut ke Makasar.
Di Makasar sang kakak ipar mengajarinya bermain biola. Ternyata
Supratman cepat bisa, hingga mendapat kesempatan untuk bergabung pada kelompok
musik bernama Black White Jazz milik sang kakak ipar. Banyak keuntungan yang ia
dapat dari kemampuannya itu. Termasuk kerumunan gadis yang mengaguminya.
https://ainamulyana.blogspot.com |
Beranjak dewasa, kembali, sebuah pilihan harus dibuat. Dan
Supratman memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan.
Selama menjadi wartawan, kehidupan Supratman kian berwarna. Dari hanya meliput urusan sepele hingga harus berurusan dengan dinas rahasia kala itu, Politieke Inlinchtingen Dienst-PID, karena dianggap menerbitkan tulisan yang tidak disukai oleh pemerintah Hinda-Belanda.
Selama menjadi wartawan, kehidupan Supratman kian berwarna. Dari hanya meliput urusan sepele hingga harus berurusan dengan dinas rahasia kala itu, Politieke Inlinchtingen Dienst-PID, karena dianggap menerbitkan tulisan yang tidak disukai oleh pemerintah Hinda-Belanda.
Pesan Tuan Kwee, pimpinan
surat kabar Sin Po, acap kali membuat Supratman resah. Yang pasti, jangan
sampai tertangkap! Habislah kau kalau mereka berhasil menangkapmu... Beberapa
rekan wartawan pernah mengalami nasib
tak menyenangkan karena dianggap membuat tulisan yang merugikan pemerintah.
Bahkan ada yang sampai patah jari-jarinya, suatu bencana besar bagi seorang
wartawan!
Oh ya, saya menemukan ada penulisan yang berulang pada bagian yang
mengisahkan tentang Tuan Kwee memberikan peringatan pada Supratman. Tepatnya isi halaman 4 dan 5 sama dengan yang
ada di halaman 372 dan 373. Entah disengaja
sebagai penekanan atau terlewat saat pengeditan.
Dibandingkan dengan para aktivis
pergerakan pemuda lainnya, Supratman merasa perannya sangatlah kecil.
Hingga aneh rasanya jika ia sampai menjadi incaran IPD. Sebagai wartawan,
laporannya tidaklah selugas yang lain. Apa lagi hanya sebagai penggesek biola
mengiringi teman-teman bernyayi dan sesekali menciptakan lagu.
Selama ini ia menganggap lagu ciptaannya hanya sebagai hiburan
serta penambah motivasi. Ternyata ia salah. Justru karena lagu ciptaannya itu
maka ia diburu. Pemerintah menganggap lagu tersebut sebagai salah satu sarana
guna menghasut masyarakat untuk membenci
dan memusuhi pemerintah. Hal itu dilarang uhukum. Apa lagi lagu tersebut populer dengan cepat.
https://en.wikipedia.org |
Tak pernah terpikir olehnya, lagu tersebut menjadi salah satu
sarana pemersatu para anggota pergerakan di seluruh tanah air. Sebuah perkumpulan
pergerakan bahkan menyanyikan lagu tersebut setiap kali akan mengadakan
pertemuan. Pemerintah saat itu merasa perlu melakukan pengamanan. Mulai dari
lirik yang harus diubah, tuduhan plagiat, hingga larangan menyanyikan lagu
tersebut dengan posisi tertentu.
Secara garis besar, buku ini bercerita mengenai sosok Wage Rudof
Supratman. Sejak kecil hingga berpulang, dari sekolah hingga menjadi wartawan,
penggesek biola dan penulis buku Ada
pula bagian yang menceritakan tentang proses kreatif penulisan beberapa lagu.
Saat-saat harus bersembunyi karena menghindari kejaran PID. Termasuk, sebagai
bumbu penyedap, kisah cintanya dengan beberapa wanita.
Membaca buku ini, membuat
satu rasa penasaran saya hilang. Sempat merasa agak aneh dengan nama Rudolf
yang merupakan nama tengah Supratman. Agak terlihat berbeda sekali dengan kata Wage
dan Supratman dalam nama beliau. Baru dari buku ini saya paham bagaimana asal
mula nama tersebut.
Jika kita membaca Daftar isi, akan telihat sebuah informasi yang
disajikan dengan cara unik. Misalnya
pada bab tentang Dua Penguntit, di bawahnya akan tercetak tulisan
(tahun) 1924, lalu pada Tiga Kota tercetak (tahun) 1929 dan lainnya. Setelah
membaca buku ini, saya jadi paham (tadinya hanya menebak saja) bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan mengenai waktu terjadinya peristiwa. Tepatnya rentang
waktu dalam kehidupan tokoh kita.
Selain mendapatkan banyak informasi mengenai sosok Wage Rudof
Supratman. Juga bagaimana pergerakan kebangsaan pada kurun waktu tersebut,
tambahan ilmu mengenai biola juga saya
peroleh di halaman 166.
Dibandingkan dengan buku sebelumnya, Panggil Aku Hoegeng, buku ini
terasa berbeda. Tulisannya tetap
mengalir dengan baik, cara
berceritanya juga bisa dinikmati dengan
mudah. Hanya saya tidak menemukan roh dalam tulisan ini.
https://news.detik.com |
Pada awal kisah, saya masih ikut larut dalam kisah. Was-was ketika
Suratman berada di tempat umum padahal bberapa anggota PID sedang mengawasinya.
Ikut merasakan romantisnya mendengarkan musik bersama pujaan hati. Makin ke
belakang terasa hilang gregetnya. Seakan
Mas Yud ikut merasa lelah seperti yang
dialami Supratman.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, buku ini layak dibaca bagi kaum muda agar lebih mengenal dibalik lagu kebangsaan kita. Serta untuk masyarakat umum untuk menambah rasa cinta tanah air dan menghargai jasa pahlawan.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, buku ini layak dibaca bagi kaum muda agar lebih mengenal dibalik lagu kebangsaan kita. Serta untuk masyarakat umum untuk menambah rasa cinta tanah air dan menghargai jasa pahlawan.
Perihal lagu Indonesia Raya sebenarnya sudah tertuang pada Peraturan pemerintah No. 44/Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya,
tautannya bisa dilihat di sini .
Ketika salah seorang politisi ribut-ribut mengatakan bahwa ia baru
menemukan jika lagu Indonesia Raya terdiri dari 3 stanza, sungguh saya merasa heran dibuatnya. Kenapa
beliau baru dan malah meributkan hal tersebut sekarang? Sejak SD, meski bukan penyuka pelajaran
sejarah, tapi saya ingat guru menerangkan tentang hal tersebut. Namanya anak SD
(cari pembelaan nih), kami sekelas mencoba menyanyikan lagu tersebut dengan
kehebohan tersendiri. Harap maklum belum paham susahnya perjuangan para
pahlawan untuk membuat kita bebas
memasang bendera merah-putih dan menyanyikan lagu tersebut.
Bahkan, setiap tahun ajaran baru, mahasiswa FKUI dibawa menuju ke Museum
Sumpah Pemuda dan Museum Kebangkitan Nasional guna menumbuhkan rasa nasionalisme. Dan di Museum Sumpah Pemuda saya kembali menemukan syair lagu
Indonesia Raya dalam 3 stanza di salah satu bagian dinding.
Oh, ya kisah hidup W.R Supratman pernah dibuatkan film lho. Dengan
aneka plus dan minusnya. Hayuh kita nyanyikan dengan penuh rasa kebanggan pada bangsa dan
negara ini.
Sumber gambar:
https://news.detik.com
https://en.wikipedia.org
https://ainamulyana.blogspot.com