Penulis: Indah Darmastuti
ISBN: 9786020788050
Halaman: 97
Cetakan: Pertama- Oktober 2020
Penerbit: Marjin Kiri
Harga: Rp 50.000
Rating: 3.25/5
Kalimat tersebut muncul begitu saja dalam benak saya ketika membaca biografi penulis, Mbak Indah. Biasanya saya jarang membaca bagian itu, terutama jika saya sudah cukup mengenal penulisnya. Namun karena hal tersebut ada pada bagian depan, tak sengaja jadi terbaca.
Butuh empat tahun untuk menghasilkan sebuah karya seperti ini, menurut saya. Namun sejauh yang saya pernah baca, karya Mbak Indah menawarkan sesuatu.yang berbeda dibandingkan buku-buku lain. Jadi sangat layak ditunggu.
Kenapa saya bisa berpikir begitu? Karena disebutkan tentang buku pertama yaitu Cundamanik (2012), buku kedua adalah Makan Malam Bersama Dewi Gandari (2016). Perhatikan tahunnya, 2012 dan 2016 Selisih 4 tahun bukan? Mungkin baru pada tahun 2024, kita baru bisa menikmati kumpulan cerita ala Indah lagi.
Sesuai dengan temanya, kumpulan cerita, pembaca bisa menemukan 13 cerita dalam buku ini. Mulai dari: Dalam tubuhku; Tiga Lansia; Dentang Jam Besar di Sudut Ruangan; Mata Naga; hingga Seroja.
Saat menghitung cerita saya berharap akan ada 14 kisah supaya ada unsur angka 4. Jika kita mau menghitung Riwayat Pembuatan sebagai bagian dari cerita, memang ada 14 kisah. Maksa sekali, agar bisa sebut cocoklogi he he he.
Cerita yang dijadikan judul buku ini, Pengukur Bobot Dosa, mengandung pesan moral yang menyentuh. Berkisah tentang kehidupan seorang penggali kubur bernama Pak Sukur.
Setiap ada yang meninggal, maka bisa dipastikan Pak Sukur yang mendapat tugas menggali kubur. Abaikan saja adegan penggalian kubur yang sering Anda lihat di layar kaca. Ia tak perlu dibantu, hanya ia sendiri yang mengerjakan penggalian.
Tapi beda lagi urusannya , ketika dalam upaya mengingat kebaikan guna meringankan kerja menggali kuburan, Pak Sukur menyebutkan kebaikan seseorang adalah membuat istrinya-Bu Sukur sangat bahagia dan bersemangat menjalani hari-hari berat bersama dirinya.
Warga tentunya penasaran, kenapa harus orang lain yang membuat istri Pak Sukur bahagia? Apa maksud dengan perkataan Pak Sukur tersebut? Lalu kenapa setelah mengingat kebaikan tersebut pekerjaan Pak Sukur seakan lebih mudah? Meski penasaran, tak ada warga yang berani bertanya pada Pak Sukur.
Dan warga hanya bisa menduga-duga selamanya. Apalagi ketika istri Pak Sukur meninggal. Pak Sukur tetaplah orang yang menggali kuburan, siapa lagi jika bukan dia? Bagian ini membuat pembaca akan menemukan akhir kisah yang tak terduga. Sebuah kejutan menanti Anda!
Pesan moral yang bisa diambil, setiap orang dalam kehidupan harus bertindak dengan bijaksana sehingga ketika saat meninggalkan dunia, ia dikenang karena kebaikannya bukan karena keburukannya.
Tentunya hal ini juga membuat keluarga yang ditinggalkan juga ikut dikenal dari kebaikannya selama hidup dulu.
Dalam berkata, sebaiknya pilih kalimat yang bijak. Berkaca pada kalimat yang diucapkan Pak Sukur, tentunya malah menimbulkan pandangan aneh warga pada istrinya. Ia memudahkan penguburan seseorang tapi menimbulkan gunjingan tentang istrinya.
Bagi saya pribadi, cerita ini membuat saya merenung. Kira-kira jika dilakukan perhitungan, bagaimanakah bobot dosa saya. Apakah berat pada kebaikan, atau sebaliknya. Membuat saya bertekad untuk lebih mawas diri dalam bersikap dan berkata-kata.
Cerita Tiga Lansia, bisa dikatakan sebagai sindiran bagi kehidupan saat ini. Dahulu, orang berlomba-lomba agar di rumahnya ada keberadaan orang yang dianggap sepuh. Ini merupakan pertanda bakti mereka. Dahulu mereka diurus sejak bayi, disekolahkan, hingga bisa mandiri. Sekarang sebagai wujud terima kasih, mereka merawat orang tua.
Namun, bergeser zaman, ada yang merasa mengurus orang tua tidak perlu dilakukan sendiri. Cukup membayar jasa penjaga orang tua. Entah apakah ini lebih baik dibandingkan yang mengirim orang tua mereka ke panti werda. Semuanya berpulang pada diri masing-masing.
Tokoh kisah ini, Punto, justru menitipkan ibunya hanya untuk sementara justru karena ia begitu mencintai ibunya. " Saya belum berkeluarga.Justru karena itu saya perlu menitipkan ibu saya di sini agar punya teman. Karena saya tak tega meninggalkannya sendiri di rumah dan dijaga oleh orang bayaran yang tidak saya kenal sebelumnya. Karena menurut saya, itu akan membahayakan ibu saya. Ada tugas yang mendadak diserahkan pada saya selama seratus hari. Dan saya merasa tenang jika ibu saya mempunyai banyak kawan di tempat ini misalnya. Lalu sekarang tugas saya sudah selesai. Saya akan menjemputnya untuk saya bawa pulang."
Pilihan yang beresiko juga. Untung jika panti yang dipilih Punto memperlakukan ibunya dengan baik, bagaimana jika tidak? Entah mana yang lebih membahayakan sang ibu. Berada dalam pengurusan orang bayaran yang bersikap kurang baik, atau berada di panti yang pengelolanya bersikap tak baik pada penghuninya.
Pada akhirnya, Justru Punto yang harus menanggung kesepian karena sang ibunya lebih memilih tinggal di panti jompo dari pada tinggal bersaman dirinya. Sang ibu terlanjur merasa senang karena menemukan banyak teman di sana dan tidak ingin pulang bersama Punto.
Bagian ini membuat saya teringat pada kisah Topi Hamdan karangan Auni Fa. Pada kisah tersebut digambarkan perlakuan kurang baik pengelola panti pada penghuninya. Mereka dikisahkan sering bersikap semena-mena. Ulasannya ada di sini.
Kembali, saya teringat pada Eyang NH Dini. Sebelum berpulang, beliau secara sukarela memilih tinggal di Wisma Lansia karena tak ingin menyusahkan kedua anaknya. Jadi bukan karena kedua anaknya tak mencintainya lagi.
Agak heran juga kenapa penulis menyebut panti jompo bukan panti werdha. Sebenarnya sama saja, namun kesannya lebih sopan jika mempergunakan sebutan panti werdha. Namun kembali, berpulang pada pemilihan kata penulis.
Kalimat dari cerita Dalam Tubuhku di halaman 11, "Lalu kami menuju langit ketika matahari hampir tenggelam di balik bukit."Langsung membuat alam bawah sadar mengingat bagian akhir kisah Lucky Luke.
Digambarkan Lucky Luke dan kudanya-Jolly Jumper pergi ke arah matahari tenggelam sambil menyanyikan sebuah lagu. Berikut penggalan lagu yang diambil dari kisah Tunangan Lucky Luke terbitan Indira,
I'am a poor lonesome cowboyBut it doesn't bother meCause this poor lonesome cowboyPrefers a horse for companyGot nothing against womenBut i wave them all goodbyeMy horse and me keep ridin'We don't like being tied...(Claude Booling, Jack Fsihman)
Maafkan saya yang jadi merusak unsur romantis dalam cerita he he he. Mau bagaimana lagi, masa kecil saya banyak dihabiskan dengan menikmati kisah Lucky Luke.
Aneka tema yang dipilih sebagai ide kisah menunjukkan kekuatan kreativitas sang penulis. Dari tanaman, binatang, benda, hingga hubungan antar manusia, tak luput dari pengamatannya untuk diolah menjadi sebuah kisah.
Kover yang didominasi warna putih, meski berkesan sederhana namun sarat makna. Timbangan yang ada, tentunya sesuai dengan judul kisah, Pengukur Bobot Dosa. Dengan apa kita mengukur perbandingan dua hal jika tidak dengan timbangan?
Warna merah bisa kita asumsi sebagai hati. Hati nurani kita yang berperan menentukan apakah kebaikan atau keburukan yang akan kita kerjakan. Apakah kita akan menjadi sosok yang dikenang karena kebaikan, atau keburukan, tergantung hati kita.
Bahkan benda bulat yang digambarkan dalam dua ukuran seharusnya membuat timbangan menjadi tak seimbang. Logikan akan condong ke arah yang berat. Tentunya ada pesan moral yang tersembunyi.
Tulisan Kumpulan Kisah juga menawarkan sesuatu yang berbeda. Sering kali pembaca enggan membeli buku dengan cap Kumpulan Cerpen. Perubahan kata meski bisa diartikan serupa, menawarkan hal baru bagi pembaca. Semoga trik ini bisa mendongkrak penjualan.
Secara keseluruhan, kisah dalam buku ini menghibur pembaca. Cocok dibaca saat menikmati senja sore atau menunggu kantuk sebelum tidur. Sangat tidak direkomendasikan dibaca selama perjalanan. Jangan sampai buku ini malah jadi pembawa virus covid bagi pemiliknya.
Semoga, sekedar dugaan saya semata. Bahwa untuk menikmati buku seperti ini kita harus menunggu selama 4 tahun lagi.