Penulis : Ahmad Fuady
Halaman : 238
Peenrbit : Republika
Ahmad Fuady, yang belum lama lulus dari FKUI, sering dipanggil "Brother Ahmed" oleh teman2 karibnya karena kemampuan Berbahasa Arabnya yang fasih nian, merupakan sosok pria bersahaja dan sayang Ibu.Buktinya, dalam buku ini ada satu bab yang khusus membahas mengenai ibu.
Pintar, rendah hati dan pembawaannya yang tenang, membuat teman2 butuh waktu untuk sadar bahwa buku yang menarik ini dibuat oleh seseorang yang selama ini duduk dalam 1 ruang kuliah yang sama. Tulisannya menunjukkan bahwa kedewasaan tidak pandang usia!
Buku ini berisi pandangan Brother Ahmed yang dituangkan dalam bentuk kisah kehidupan sehari-hari, yang semula dimuat dalam dalam blognya. Kalimat awal yang berbunyi Langit megap-megap.Hitam… Bumi gonjang ganjing…” mengingatkan pada awal saat pentas wayang dimulai, Gunungan istilahnya. Gunanya untuk mengawali kisah dikehidupan suatu tempat.
Alkisah, terdapat sebuah negeri yang mana sentosa bernama Negeri Sukun. Negeri dengan ribuan sukun ini, mewajibkan seluruh warganya memiliki nama dengan suku kata terakhir UN. Pak Kiai Badrun dengan istrinya Hindun memiliki dua orang murid kesayangan Jarun sontoloyo dan Manun. Kehidupan sehari-hari di Negeri Sukun tidak berbeda jauh dengan kehidupan dinegeri lainnya. Aman, damai dans ejahtera.
Kisah yang dimuat dalam buku ini nyaris mirip dengan kehidupan kita sehari-hari.Ada cerita mengenai warga yang berebut menjadi tukar cukur dengan alasan tukang cukur bisa memerintah seseorang, termasuk seorang pejabat. Cerita mengenai si Jarun sontoloyo yang enggan menyupiri mobil mewah malah memilih bajaj, atau mengenai parcel yang berdatangan ke pondok Kiai.Warga yang nyaris diusir dari kampung karena memberi nama anak yang baru lahir tanpa akhiran UN. Semuanya merupakan kisah yang mengalir dengan indah untuk dibaca.
Ciri khas dari Brother Ahmed ini, setiap cerita terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan pembuka, lalu bagian kedua berupa pandangan dan pemaparan mengenai suatu hal. Biasanya bagian pertama dan bagian kedua dibatasi dengan kalimat “ Kiai tertawa…”
Tapi jangan khawatir, pandangannya memiliki dasar yang kuat. Misalnya saat bercerita mengenai sapi yang melarikan diri saat akan disembelih dan mengadukan nasibnya pada Kiai, tertulis pada footnote “ 5. lihat QS An Naml : 17-28”, guna menjelaskan paragraph “ Kiai sadar, dirinya bukan Nabi Sulaiman yang pandai berbahasa binatang, mengerti bahwa semut membicarakan pasukannya, dan bertanya pada burung Hudhud mengapa ia terlambat datang masuk dalam pasukan.5
Buku ini memberikan pencerahan jiwa mengenai dinamika kehidupan yang kita alami sehari-hari dari sisi anak muda, tanpa berkesan menggurui. Hanya keinginan untuk berbagi cerita.
Jadi penasaran, nama makanan yang ada di negeri Sukun apa yah selain suun, sukun miehun....apa nasikun atau nasun, ayun atau ayamun…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar