Rabu, 28 Maret 2018

2018 #7: Mendengarkan Laut Bercerita


















Judul asli:  Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penyunting: Endah  Sulwesi & Christina M Udiani
ISBN: 9786024246945
Halaman: 379
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: KGP
Harga: Rp 100.000
Rating: 4.25/5

Dalam setiap kelompok pasti ada agen ganda
~ Laut Bercerita, hal 107~

Kisah berjodoh dengan buku selalu membawa cerita yang seru. Setelah gagal mengikuti acara peluncuran buku ini, akhirnya berkat campur tangan Mbak Sanie yang kece badai (tapi kelakuannya tidak minus ala artis ITU lho), buku ini sukses menempuh perjalanan Solo-Depok. Terima kasih juga atas bantuan mengirimkannya, Mas Yudhi selalu setia menjadi kurir VVIP saya ^_^

Situ siapa berani-berani kasih komentar buku karya Leila S. Chudori? Nah itu dia, karena saya hanya butiran debu dalam dunia literasi, maka izinkan saya mencurahkan perasaan, tanggapan, komentar, atau apalah namanya mengenai buku ini. Kalau ada yang merasa berbeda, harap dimaklumi karena itu yang saya rasakan ketika membaca kisah ini.

Kita mulai dari urusan kover.  Kover buku ini jelas sangat cantik bagi saya. Bukan hanya karena warnanya  dominan biru (tetap deh), tapi jika diperhatikan lebih seksama, seakan bercerita tentang isi  buku ini. Memudahkan pembaca untuk mengira-ngira tentang kisah yang ada dalam buku tersebut.

Lihatlah sepasang kaki yang seolah menyembul dari dasar laut. Pada salah satunya terbelenggu rantai. Secara tak langsung menyiratkan ada bagian yang mengisahkan tentang seseorang yang dibuang ke laut. Entah sengaja ditenggelamkan atau dibunuh terlebih dahulu baru dibuang ke laut. Selanjutnya tentu akan ada kisah yang menceritakan tentang mereka yang kehilangan sosok yang tenggelam, serta alasan mengapa sosok tersebut bisa berada di dasar laut.

Oh ya, urusan semacam kertas abu-abu yang diberi tulisan Laut Bercerita membuat buku ini menjadi sesuatu yang spesial. Minimal saat akan membuka halaman pertama, kita akan dibuat memandang kover lebih lama. Biar bagaimana, kover juga memegang peranan dalam seseorang menilai sebuah buku.

Membaca kisah ini, seakan menikmati racikan  antara kerusuhan tahun 1998, saat ketika  buku karangan Pramoedya  Ananta Toer dilarang beredar,  dengan bumbu peristiwa penyerbuan salah satu partai politik di Jakarta Pusat. Bagian tersebut jelas diuraikan pada halaman 57.

Baru ketika saya membaca  Ucapan Terima Kasih, saya mendapat pencerahan dari mana penulis mendapat ide. Secara emosional, saya bisa merasakan situasi yang mencekam saat itu. Maklumlah jagoan lahir pada 8 Mei 1998, dan saya sempat mengalami ketakutan gara-gara rumah sakit  juga dilempari batu karena dianggap milik istri penguasa saat itu.

Secara garis besar, kisahnya mengenai sosok Biru Laut yang begitu bersemangat membuat negara kita menjadi lebih baik, dengan cara yang menurutnya baik dan efektif. Termasuk melakukan demonstrasi dan membuat diskusi karya-karya Pram.

Penulis membuat kisah ini secara seimbang. Setelah menyajikan kisah mengenai Biru Laut sosok aktivis yang kemudian masuk dalam daftar orang hilang, lengkap dengan segala  kisah hidupnya, selanjutnya pembaca akan diajak mengikuti langkah Asmara Jati-adik Biru Laut.

Waktu berlalu, Asmara Jati sudah menjadi gadis dewasa. Ia bersama rekan-rekan Laut dan keluarga lainnya berupaya mencari informasi keberadaan mereka yang tak kembali.  Sekian tahun ia juga harus bersabar menghadapi kedua orang tua mereka yang bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Mas Laut hanya belum pulang, begitu beliau berdua selalu bersikap.

Semangat, sedih, bahagia, terharu, jatuh cinta, marah, kecewa, hingga pasrah, tumpah-ruah dalam buku ini. Sesaat saya ikut merasakan rasa jatuh cinta,  seperti yang dirasakan salah satu tokoh,  pada sosok Biru Laut yang sejak kecil menyukai buku.

Di kamarnya bahkan masih tersimpan rapi bacaan saat kecil.  Ada komik Mahabharata, Ramayana dan Panji Semirang besutan R.A Kosasih, DH Dini, Budi Darma, Mark Twin, Charles Dickens dan masih banyak lagi. Beragam bacaan mempengaruhi perkembangan wataknya.

Lain waktu, saya ikut merasakan putus asa ketika aksi yang sudah dirancang rapi terpaksa batal dilaksanakan karena sudah tercium oleh pihak aparat. Belum lagi upaya harus menyelamatkan diri dari tangkapan pihak yang merasa gerah akan aksi mereka. Ketakutan, amarah, dan kekecewaan menjadi satu.

Selain melalui tokoh yang gemar membaca dan berdiskusi tentang buku, penulis membuat saya  merasa dekat dengan kisah ini melalui penyebutan nama tokoh favorit saya sepanjang masa, Georgina dalam seri Lima Sekawan serta Josephine dalam Little Women . George dan Jo.

Plus penyebutan tempat saya mencari sesuap nasi dan sebakul berlian (ehem). Beberapa kali menyebutkan tentang UI, misalnya pada halaman  51 dan 180. Serta FKUI di halaman 86. Ada juga tentang kampus Salemba.

Hal yang sering mengusik rasa ingin tahu saya, bagaimana para pelarian seperti ini membiayai kehidupannya? Penulis memberikan jawaban di halaman 206. Belakangan, memang disebutkan mereka bekerja guna melengkapi penyamaran. Bagian kecil ini membuat kisah menjadi terasa lebih nyata.

Ternyata buku ini  juga mengandung Jebakan Batman. Bagi teman-teman yang menggeluti dunia fotografi, tentu akan segera menemukan kejanggalan ketika membaca beberapa bagian dalam kisah ini. Saya sendiri sudah mulai merasakan ada yang aneh, namun penulis dengan piawai membuat rasa aneh saya tersingkirkan oleh racikan kisah. Belakangan, ketika membaca uraian pada halaman 19X, saya langsung menyumpah. Edan! Benarkan ada yang aneh terkait urusan itu.
Mereka yang menyukai kisah Conan, Poirot, Sherlock Holmes dan sejenisnya, tentu bisa merasakan ada yang aneh pada salah satu tokoh. Beberapa kali ucapannya menimbulkan tanda tanya, bagaimana ia bisa tahu hal tersebut padahal ia selain pelaku, hanya 1-2 orang dalam kelompok yang tahu tentang hal tersebut.. 

Kembali, petunjuk-petunjuk tersebut disamarkan secara halus oleh penulis. Di halaman 2X7-2X8, pembaca akan menemukan kisah, dimana salah satu tokoh  sebenarnya mulai menaruh curiga pada sosok musuh dalam selimut, tapi tak juga tanggap. Cerdik!

Dan…, bahagianya saya ketika menemukan ada salah ketik dalam buku ini (habis apa lagi yang bisa saya sebut sebagai kekurangan?). Ada penulisan SI Manusia Pohon halaman 194. Serta satu lagi kata yang tapi dicetak yag, celakanya kertas cacatan saya hancur terkena hujan jadi lupa saya halaman berapa.

Sebenarnya ada satu bagian yang agal mengganjal bagi saya secara pribadi. Kembali, bagi saya lho, prinsip hidup orang bisa saja tidak sama. Untuk saya bagian yang memuat para tokoh sedang memadu kasih hingga mencapai taraf hubungan badan agak mengganggu. Untuk saya (sekali lagi) urusan itu hanya bisa dilakukan oleh pasangan yang resmi secara agama dan UU. Silahkan sebut saya kuno, tapi begitulah saya. 

Saya merasa dengan keahlian meracik kata-kata, penulis mampu membuat bagian tersebut menjadi lebih tersamar lagi. Mungkin konyol, tapi saya takut jika generasi sekarang menganggap hal tersebut bisa dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. Layaknya slogan minuman dalam botol itu. Kalau saya lho, silahkan jika ada yang berbeda pendapat.

Secara keseluruhan tema buku ini lumayan berat bagi saya, hanya cara bertutur penulis membuat buku ini enggan diletakkan sebelum selesai.  Racikannya justru terasa ringan dan mudah dinikmati, jauh dari kesan berat apa lagi membosankan.

Laut bercerita  padaku tentang kasih sayang keluarga, cinta kasih dua anak manusia, rasa cinta dan pengorbanan demi tanah air, dan pengkhianatan. Ku kira, ia bercerita untuk sekedar hiburan semata. Ternyata aku menintikkan air mata juga. Tapi biarkan ia  terus bercerita, karena apa yang ia ceritakan adalah bagian dari kehidupan suatu bangsa. 

Kualitas, memang tidak pernah bohong







Tidak ada komentar:

Posting Komentar