Rabu, 30 Juli 2014

Review 2014 #39: Tertawalah Sebelum Tertawa dilarang

Judul: Indonesia Tertawa
         Hidup Boleh Susah, 
         Jiwa Tetap bahagia
Penulis: Prie GS 
Penyunting: Hermawan Aksan
Desain isi: Nurhasanah
Konsep desain sampul: Prie GS 
Desain sampul: Iggrafix
ISBN: 978-602-1306-24-6
Halaman: 160
Penerbit: Noura Books 
Harga: Rp 49.000

Tertawalah Sebelum Tertawa dilarang!
Sudah ratusan bahkan puluhan  ribu kali kita mendengar kalimat yang dipopulerkan oleh group lawak legendaris, Warkop. Tapi tetap saja mengundang senyum yang mendengarnya.

Dilarang tertawa, memang siapa yang melarang? Pertanyaan konyol sering ganti dilontarkan. Memang tidak ada, sebenarnya. Namun karena kadang kita  mentertawakan keadaan sosial yang terjadi di sekitar kita maka tertawa menjadi sesuatu yang dilarang oleh beberapa pihak karena dianggap  tidak memiliki kepekaan sosial. Padahal tertawa adalah salah satu cara menghibur diri karena tak tahu lagi harus bagaimana bersikap dalam keadaan sosial seperti itu. Saya sendiri sering dianggap tertawa disaat yang salah, padahal tertawa saya bermakna lain.

Membaca buku Indonesia tertawa, membuat saya tertawa dengan rasa malu. Betul, rasa malu. Kisah-kisah yang disajikan oleh penulis melalui tokoh Cantrik sukses membuat saya tertawa lepas, minimal tersenyum. Tawa dan senyum saya merupakan ekspresi putus asa kecewa dan malu pada kondisi sosial yang divisualisasikan menjadi sebuah kartun oleh penulis. Wujud ketidakberdayaan saya untuk mengubah situasi itu meski nurani serasa tertusuk sembilu, perih.


Dalam buku yang tidak begitu tebal dalam hal halaman tapi tebal makna, pembaca akan menemukan berbagai kartun yang dibagi menjadi lima bab. Bab pertama mengenai Pemuda dan Olahraga. Kisahnya antara lain seputar bagaimana sulitnya mencari sekolah yang sesuai bagi kantong tokoh utama kita, Cantrik. Lalu setelah mendapat sekolah, kesulitan tetap ada, belum tentu lulus, jika berhasil lulus lalu bagaimana mencari atau menciptakan lapangan kerja? 


Bab kedua tentang Yang Miskin Yang Sengsara. Bagi Cantrik dan keluarganya, kenaikan harga sembako, kelangkaan kebutuhan pokok hingga bahaya sayur pestisida bukanlah masalah. Tak perlu heran, bagi mereka bukan masalah karena kenaikan dan kelangkaan kebutuhan karena sejak lama mereka sudah tidak sanggup mengkonsumsinya. Beras langka karenanya harga menjadi naik, mau murah atau menjadi mahal mereka jarang bisa membeli beras. Jadi tak masalah bagi mereka jika harga naik,toh mereka akan  tetap susah membeli beras.


Demikian juga dengan bahaya tentang penggunaan telepon genggam. Jangan di-charge terlalu lama, apalagi semalaman sambil ditinggal tidur. Sebaiknya jangan dipakai  sambil di-charge. Bagi keluarga Cantrik mereka justru aman dari bahaya itu karena mereka tidak punya telepon genggam. Tapi saat mereka memiliki, mereka mempergunakan dengan bijak untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang jauh. Belakangan menjadi agak kurang bijak, karena mereka sibuk bersilahturahmi dengan kerabat yang jauh tapi saling acuh dengan mereka yang ada di dekat. Duduk bisa bersebelahan tapi masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya.


Bab ketiga dengan judul Bencana di Mana-mana berisikan sentilan yang bisa membuat mata merah karena malu membacanya. Borobudur sudah bukan Keajaiban Dunia lagi dibandingkan dengan Lumpur Lapindo. Bahkan untuk memberikan bantuan saja masih butuh diskusi panjang. Sungguh menyedihkan! Disaat pembesar sedang sibuk berdiskusi, rakyat kian terpuruk.


Potret Negeriku yang Lucu merupakan judul bab keempat. Isinya tentang hal-hal  yang terjadi di seputar kita tapi tidak kita sadari. Miris memang tapi begitulah potret bangsa ini. Sepertinya bab ini mengulas topik yang disukai oleh penulis karena berisi halaman yang lebih banyak dibandingkan bab yang lain.


Dunia Layar Kaca dan Ritual Tanpa Henti merupakan judul bab kelima dan keenam. Kisah yang ada dalam kedua bab ini tidak kalah seru dengan bab-bab yang lain. Saya tetap tertawa dan terseyum dengan hati yang malu. Kadang saya melakukan beberapa hal yang serupa dengan coretan sang penulis. Jangan-jangan nyaris seluruh WNI melakukan hal tersebut tanpa disadari. Hal apa? Beli dan bacalah buku ini agar bisa tahu.


Dalam kehidupan bertetangga, kadang saat Lebaran tak sedikit tetangga saling berkirim  panganan khas Lebaran. Keluarga Mpok Siti mengirim ketupat lengkap dengan opor, sayur labu, sambal goreng ke rumah Mbak Ani meski tahu dengan pasti keluarga Mbak Ani juga membuat hidangan yang sama. Keluarga Pak Ahmad mengundang tetangga mencicipi opor ayam dan rendang di rumah mereka meski tahu keluarga Pak Bagindo dari Padang pasti lebih jago membuat rendang. Kebersamaan yang mereka cari, keakraban melalui sepiring panganan. Keluarga Pak Cantrik juga tak ketinggalan. Mereka sabar menunggu kiriman tetangga, terutama opor karena mereka hanya (mampu)  mempersiapkan ketupat saja. 


Dalam http://basnendar.dosen.isi-ska.ac.id/category/artikel/kartun-artikel/, disebutkan bahwa kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Sebuah gambar kartun yang mengandung sebuah kritikan yang dimuat sebuah koran atau majalah dan dimuat di rubrik opini adalah kartun editorial (editorial cartoon).

Lebih lanjut juga dikatakan, bahwa dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian ”cartoon” dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya, yaitu : Comic Cartoon, Gag Cartoon untuk lelucon sehari-hari, Political Cartoon untuk gambar sindir politik, Animated Cartoon untuk film kartun.

Bagi saya yang buta akan seni kartun, dengan membaca buku ini saya merasa terhibur tapi juga menjadi lebih mawas diri. Banyak hal kecil yang saya lakukan tanpa sengaja, lebih karena mengikuti  kebiasaan masyarakat. Kebiasaan yang ternyata bisa berakibat buruk bagi bangsa kita. Kesalahan kecil yang menumpuk menjadi sebuah kesalahan besar.

Beberapa kisah mungkin bukan kisah yang terkini saat buku ini diterbitkan. Namun pesan yang tersirat dalam kartun tetap mampu disampaikan tanpa ada kendala waktu. Kisah Lumpur Lapindo bukan hal baru, tapi peristiwa itu hingga kini masih sering ramai dibicarakan orang. Apalagi mengingat masih ada hal-hal yang belum tuntas. Kekerasan senior terhadap junior selalu menjadi hal yang sering dibicarakan setiap tahun ajaran baru, Cantrik bahkan memilih sekolah dimana tak ada senior yang bisa melakukan hal tidak terpuji pada adik kelasnya. Bukan karena disiplin, atau memenuhi instruksi guru, tapi karena minim murid. Yang penting anaknya aman bagi Cantrik.

Hidup ini memang unik, kadang kita bisa mendapat pencerahan justru dari hal-hal yang tak terduga, Semoga pembaca buku ini kian banyak sehingga makin banyak orang yang mendapat pencerahan dalam bersikap dalam masyarakat. Kadang sebuah gambar lebih mampu berbicara banyak dibandingkan dengan sekian panjang uraian kalimat. Penulis telah sukses menyampaikan pesannya. Dengan tim yang kompoten (walau saya bukan pembaca buku karya Hermawan Aksan tapi saya sering mendengar para sahabat membicarakan karyanya) buku ini layak berada di rak buku penggemar buku.

Tokoh cantrik yang identik dengan sarung yang ditambal  merupakan potret kehidupan masyarakat secara umum. Sosok pria yang  menerima kondisi kehidupan yang dijalani bersama keluarga, berkompromi dengan kemiskinan dengan cara yang unik.

Sementara itu, cantrik sendiri adalah sebutan bagi seseorang yang  berguru pada seorang begawan, pandita atau resi. Selain belajar, di pertapaan biasanya ia tidak mempunyai tugas khusus.Tugas Pak Cantrik dalam buku ini adalah belajar berkompromi dengan kehidupan dan memberikan kita makna menjalani hidup dengan legowo.

Sang penulis, Prie GS belajar kartun secara otodidak. Dikirim Pakarti (Paguyuban Kartunis Indonesia) mewakili Indonesia untuk pameran kartun di Tokyo, Jepang. Berkarier sebagai karikaturis di harian Suara Merdeka dan di harian ini dia mengembangkan pula kemampuan menulisnya yang kemudian menjadi berbagai buku antara lain: Nama Tuhan di Sebuah Kuis, Merenung Sampai Mati, Hidup Bukan Hanya Urusan Perut, Waras di Zaman Edan, Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia, dan sebuah novel sastra remaja: Ipung. Saat ini dia

juga masih disiplin menulis kolom untuk Suara Merdeka dan tabloid Cempaka, Semarang. Selain itu, dia juga mengasuh acara tetap di radio dan televisi antara lain: SmartFM Network, IdolaFM, SindoTV, BeritaSatu, dan MetroTV. Saat ini, dia memilih menetap di kota kelahirannya, Semarang.

Sumber Gambar:
 https://twitter.com/Prie_GS




1 komentar: