Sabtu, 23 Agustus 2025

2025#15: Kisah Nyai Gowok













Penulis: Budi Sardjono
ISBN: 9786022557210
Halaman: 132
Cetakan: Pertama-Mei 2014
Penerbit: Diva Press
Rating: 3/5

"Keperkasaan seorang lelaki pertama-tama bukan dilihat dari tubuhnya yang gagah perkasa, Mas. Itu hanya wujud luarnya. Namun yang penting, ia bisa membuat istrinya merasa senang dan puas. Kalau dia bisa merasa senang dan puas,  maka itu tinggal selangkah lagi baginya untuk merasa bahagia."
-hal 162-
 
Semula,  hanya disebut dalam sebuah percakapan di WA bahkan akan ada kiriman buku terkait budaya jawa. Tidak disebutkan judulnya, membuat penasaran. Tapi, sebagai penggila buku, tentu saya senang mendapatkan hadiah buku.

Begitu buku tiba, saya merasa heran, entah apa yang membuatnya memberi hadiah buku ini.  Mungkin karena buku ini sempat menjadi bahan diskusi beberapa waktu lalu. Mungkin juga karena beliau tahu jika saya mengoleksi buku tentang budaya jawa. Atau, bisa juga karena belum lama ini  beredar film dengan judul serupa.

Tulisan di kover, "novel karmasutra dari jawa," sepertinya yang menjadi alasan buku ini dipilih. Sebagai "guyon" pengingat betapa saya pontang-panting mencari buku Serat Centini untuk menambah koleksi kantor. Sayangnya, banyak yang mentertawakan, tahulah sebabnya kenapa.

Bagus Sasongko merupakan anak  wedana di Randu Pitu. Ia baru saja menyelesaikan prosesi sunatan sebagai tanda menuju kedewasaan.  Pesta meriah diadakan untuknya. Selanjutnya ia akan mendapatkan bimbingan khusus untuk lebih mengenal seluk-beluk tubuh seorang wanita. Dalam beberapa waktu Bagus Sasongko akan "nyantri" pada seorang gowok-Nyai Lindri yang tinggal di desa Gowongan.

Nyai Lindri memberikan pelajaran dengan cara yang tak akan dilupakan oleh para muridnya. Ti
dak saja diberikan petuah bagaimana seorang pria harus menghadapi, bersikap, dan melayani wanita, namun juga memberikan bimbingan praktik untuk membuktikan ajarannya. Semua diajarkan dari ujung jari kaki sampai ujung rambut.

Meski demikian, semua dilakukan secara  bertahap, tidak grusak-grusuk.  Bahkan tak jarang Bagus Sasongko tidak sadar bahwa ia sedang diajar untuk tahu tentang suatu hal terkait tubuh wanita. Tidak hanya dari Nyai Lindri, Bagus Sasongko juga mendapat pelajaran dari "asisten" Nyai Lindri.  Perbedaan cara kedunya memberikan pelajaran, menjadi tambahan ilmu bagi Bagus Sasongko.

Meski bertugas mendidik  Bagus Sasongko, Nyai Lindri selalu mengingatkan bahwa apa yang ia ajarkan hanya boleh dilakukan pada istrinya kelak. Juga jangan sampai diberitahukan pada orang lain atau menjadi bahan obrolan dengan teman-temannya. Ilmu itu, hanya untuk dirinya dan istrinya kelak.

Kembali, menilik klaim sebagai buku kamasutra jawa yang tercetak pada kover, tentunya dalam buku ini banyak ditermukan aneka kisah serta pembelajaran terkait urusan ranjang. Penulis cukup piawai untuk menggambarkan adegan 21+ yang terjadi dengan bahasa yang sangat santun. Bercita tentang 2 orang yang sedang berc1nt4 tanpa menyebutkan adanya adegan s3x. 


Menikmati buku ini, perlu pemikiran yang out of the box. Saya tidak menyinggung soal kepercayaan, namun memberikan pendidikan tentang hubungan suami istri namun tidak boleh melibatkan perasaan, terbukti bukan hal yang mudah.

Konon, gowok bermula dari  rombongan  Laksmana Cheng Hoo yang sengaja membawa seorang wanita bernama Goo Wook Niang untuk mendidik anak-anak lelaki yang mulai beranjak dewasa seperti tradisi yang ada di kalangan istana di Tiongkok. Kesulitan penduduk lokal menyebutkan namanya, membuat ia dikenal sebagai Nyai Gowok.

Menarik membaca kalimat yang tertera di halaman 299.
"Tiga hal yang bisa dilakukan oleh lelaki untuk membahagiakan pasangan hidupnya, yakni anggruliprawesa, jihwaprawesa, serta purusaprawesa.  Pergunakan jari, lidah, baru alat k3l4min."

Berkat Nyai LIndri, Bagus Sasangko menjadi pahan bahwa urusan s3x tidak hanya kepuasan suami semata namun juga menjadi hak istri. Jika dilakukan dengan tepat dapat menambah keharmonisan rumah tangga. Suatu hal yang jarang mendapat perhatian. 

Tak ketinggalan,  sebagai bumbu tentunya diselipkan kisah tentang ajian jarang goyang yang dianggap  mampu meluluhkan wanita. Dalam kisah, disebutkan ada yang begitu terpesona pada Nyai Lindri hingga menempuh segala cara untuk bisa memilikinya. Untungnya, Nyai Lindri mengetahui ajian untuk menolak ajian tersebut.

Oh ya, ajian tersebut sekarang bisa ditemukan media daring dengan mudah. Namun bukan berarti setiap orang bisa mengamalkannya. Jika mengetahui, anggap saja sebagai pengetahuan. Karena untuk mengamalkan butuh persyaratan yang tak mudah.

Selain itu, tidak hanya urusan ranjang, terdapat juga informasi menarik lainnya terkait kereta api sekitar tahun 1955 di Jawa Tengah. Menarik! Saya seakan ikut menikmati acara piknik yang dilakukan oleh para tokoh dalam kisah ini. Juga tentang perjuangan Pangeran Diponegoro.

Mendadak, saya jadi teringat pada salah satu tokoh wayang, Arjuna.  Selalu digambarkan sebagai sosok yang memiliki wajah rupawan, bertutur kata halus, banyak digemari wanita dan  memiliki istri banyak, dijuluki "lelanangin jagad". Bukan tak mungkin  karena  dia bisa mengendalikan diri diri  ketika bersama istrinya.

Sungguh, saya bingung harus menuliskan apa tentang buku ini. Mempertimbangkan isi, buku ini layak dibaca oleh mereka yang sudah memiliki pasangan hidup secara sah menurut agama dan hukum negara. 

Begitulah.

sumber gambar: 
1. https://www.goodreads.com

Minggu, 03 Agustus 2025

2025 #14: Rokat Tase' dan Kisah-Kisah Lainnya

Penulis:Musra Masyari
ISBN 10: 6232412079
ISBN 13: 9786232412071  
Cetakan: Pertama-Februari 2-2-
Halaman:184
Penerbit: Buku Kompas
Rating:3.5/5

Seharusnya Anda tahu, seseorang yang meyakini mitos kadang sama yakinnya akan keberadaan Tuhan!
-halaman 126-

Buku ini saya temukan secara tidak sengaja. Tepatnya, saya melihat foto buku ini pada wag jastip acara diskon penerbit Kompas. Hal pertama yang membuat menarik adalah panduan warna merah-putih pada kover dan gambar orang menari. Warna-warna tersebut mengingatkan pada pakaian  khas daerah Madura. Kemudian secara samar, saya teringat pada topeng yang dipakai penari, mirip dengan yang  dipakai seorang penari yang sedang membawakan tarian topeng dari Madura. 

Makin bertambah tertarik ketika salah satu teman di wag tersebut menyebutkan bahwa buku ini berisi kumpulan cerpen yang mengangkat budaya Madura. Wah! Jika saya tak salah, jarang ada buku seperti ini. Plus, harganya yang teramat sangat ramah dengan kantong, membuat terlalu sayang untuk dilewati he he he.

Dalam buku ini, terdapat 20 cerita, ditambah dengan Catatan Publikasi, dan Tentang Penulis yang sesuai judulnya berisi informasi singkat terkait diri penulis, Muna Masyari. 
Beberapa kisah diantaranya berjudul Gentong Tua; Nyeor Pote: Kasur Tanah; Perempuan Pengusung Keranda; Talak Tiga; Gesekan Biola; Pemesanan Batik; Warisan Leluhur dan Lubang.

Dalam kisah Gentong Tua dan Pemesan Batik, mengusung  tentang kehidupan seorang pembatik  di Madura. Gentong Tua, berkisah tentang Sum, seorang anak pembatik yang merantau dari Tanjungbumi agar mendapat kehidupan yang lebih baik. 

Sayangnya, sang ibu justru harus menanggung kesepian hidup sendiri di rumah setelah ia menolak ajakan suaminya untuk membuka usaha di luar negeri. Sampai si ibu berpulang, ia tak sempat mengantarkan ke peristirahatan yang terakhir.

Pemesan Batik, berkisah tentang seorang pembatik yang menerima pesanan khusus dari seorang pria, Pesanan itu, membuatnya membuka sebuah kamar yang selama 5 tahun tak pernah dimasukinya, simbolis rasa amarah yang membara. Ia ingin mencurahkan rasa amarah yang dulu pernah ia rasakan dalam batik karyanya. 

Sedangkan kisah Rokat Taseyang dipilih sebagai judul buku, berkisah tentang ayah mertua yang tidak sepaham dengan menantunya dan berujung pada kematian.  Sang ayah setiap tahun bertugas menyembelih sapi di rumah kepala desa untuk persiapan rokat. Kepala sapi akan dibawa pulang oleh nelayan yang memiliki anak laki-laki untuk diarak ke tempat syukuran.

Kali ini, ia membawa kepala sapi pulang dengan harapan menantu barunya mau menjadi bagian syukuran  sebagai pembawa kepala sapi. Sayangnya, menantu dengan kesantriannya menolak tugas yang diberikan. 

Selama ini, si mertua bisa menerima kegiatan yang dilakukan si menantu.  Tak  dipermasalahkannya kegiatan membantu mengajar di madrasah nyaris tiap sore.  Karena ia paham bahwa  menantunya bukan sosok yang akrab dengan melaut, hanya sesekali diminta membantu memilah ikan hasil tangkapan  mertua. 

Tapi, ketika menantu menolak tugas yang diberikan mertua, ditambah dengan beribu kata yang seolah menggurui, mertua menjadi marah. Sebagai hukuman, diutusnya menantu untuk ikut berlayar menggantikan dirinya Supaya paham bagaimana suka-duka menjadi pelaut.

Sayangnya, kapal yang berisi menantu bersama 5 nelayan tak pernah kembali. Mereka hilang ketika melaut. Penyesalan si mertua tak pernah berakhir, padahal ia hanya ingin membuat menantunya  kompak dengan nelayan lain, paham beratnya menjadi pelaut hingga mengerti mengapa masyarakat mengadakan Rokat Tase'. Begitulah, sesal akan selalu muncul belakangan.

Ada apa antara penulis dengan kematian? Kecuali Nyeor Pote, Pemesan Batik, Matra Kotheka, serta Penggembala, kisah-kisah lainya mengusung unsur kematian. Atau sebenarnya keempat kisah itu juga mengusung tema kematian namun saya yang kurang peka menyadarinya? 

Saya agak bingung membaca apa yang tertera di halaman 38-39 dalam kisah Kasur Tanah. Tentang maksud kata menikahimu dengan menikahkan. Yang saya tahu, menikahimu berarti menikah denganmu. Sementara menikahkan berarti  mengadakan proses  akad nikah.

Maka kalimat "...titipkan padaku: menikahkanmu di dekat kerandanya" berarti terjadi proses akad nikah di dekat keranda. Sedangkan  "lelaki yang baru saja menikahimu...." berarti laki-laki tersebut baru saja menikah dengan "mu". Hem..., apakah mungkin?

Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca. Tidak saja karena memberikan informasi tentang budaya masyarakat Madura, namun bagaimana perjuangan perempuan Madura dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa tokoh digambarkan seakan diam dan pasrah saja,  ada juga tokoh yang berjuang untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai haknya.

Pembaca juga mendapat tambahan informasi tentang bahasa Madura melalui catatan kaki. Penulis menyelipkan beberapa kata dalam sebuah cerita guna mendapatkan nuansa yang pas. Agar tidak membingungkan pembaca yang tak paham bahasa Madura maka diberikan catatan kaki. 

Gaya bercerita yang unik juga menjadi nilai tambah dalam buku ini. Ketika membaca sebuah cerita, saya seakan-akan sedang melakukan "FGD" tentang kehidupan sosial bermasyarat dengan salah satu teman. Hanya saja, penulis perlu berhati-hati agar tidak membuat pembaca bingung ketika membaca narasi pergantian  sudut pandang tokoh.

Karena ini berupa kumpulan cerpen, cocok dibaca oleh mereka yang butuh bacaan namun tidak punya waktu lama untuk menuntaskan sebuah buku. Saya sendiri tak butuh waktu lama untuk bisa menamatkan sebuah cerita. Kisah juga tak harus dibaca berurutan, bisa dipilih mana dulu yang disukai. 

Kita belajar banyak dari buku ini, bahwa kehidupan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita mau, tapi tetap harus kita jalani. Seperti kematian yang  menjadi bumbu utama penulis, setiap kita pada waktunya juga akan bersua dengan kematian. Hanya tak ada yang tahu kapan dan bagaimana. Maka persiapkan bekal sebanyak mungkin untuk perjalanan panjang itu.