Kamis, 29 Agustus 2019

2019 #23: Ve, Kata Bapak Saya...

Judul asli: Ve
Penulis: Vinca Callista
Penyunting: Jia Effendi, Teguh Afandi, & Yuli Pritania
ISBN: 9786023857074
Halaman: 204
Cetakan: Pertama-2018
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 59.000
Rating: 4/5

PERATURAN BAPAK
Orangtua berhak membunuhmu

Perempuan tidak usah banyak membaca karena ilmu selain dari Bapak itu sia-sia

Jika tidak patuh, pukuli sampai sekarat atau kubur sekalian.

Gila!
Membaca kalimat yang tertera sebagai blurd, ada rasa penasaran yang bergejolak. Karya  thriller seperti apa yang dibuat oleh penulis sehingga muncul kalimat tersebut? Hemmm, menggoda.

Kisahnya tentang seorang gadis bernama Ve yang suatu pagi menemukan ibunya  tidak ada di rumah. Sang ayah mengatakan jika ibunya  kabur meninggalkan  mereka demi selingkuhannya di luar negeri. Suatu hal yang ia yakini tak benar.

Selanjutnya kisah mengalir dengan cepat. Ve dibawa ke rumah nenek dari pihak bapaknya, Nenek Unung. Sang ayah mengajak tinggal di sana untuk menenangkan diri. Namun bukannya mendapat ketenangan,  justru ketakutan yang ia peroleh. Ve menemukan banyak hal janggal di sana. 

Mulai dari Nenek Unung yang  bertingkah diluar nalar, ayahnya yang patuh secara aneh, rumah Oma Teti-ibunya ibu yang mendadak diserbu tikus,  anak laki-laki yang diperintahkan untuk menemaninya, hingga masa lalu keluarga yang menakutkan. Ve berada dalam bahaya yang tak ia sadari sebelumnya.


Berulang kali Nenek  Unung mengatakan "kata Bapak saya..." seakan ia sedang melaksanakan doktrin yang diterima dari ayahnya. Bagian ini sempat mengingatkan saya pada sinetron Tukang Ojek Pengkolan (ketahuan deh suka nonton). Tokoh Kang Trisna juga sering mempergunakan kalimat serupa disetiap kesempatan hingga menjadi bahan olokan temannya. 


Tapi, jika Kang Trisna yang mengucapkan  kalimat "kata bapak saya", kesannya lucu. Sementara jika Nenek Unung  yang mengucapkan muncul kesan menakutkan. Ditambah penulis sering menggambarkan wajah Nenek Unung ketika mengucapkan kalimat tersebut. 

“Kata Bapak Saya, anak perempuan tidak boleh melawan orang tua. Ayo,  dimakan sampai habis,"kata Nenek, tersenyum lebar kepadamu. Begitu yang tertera di halaman 13, kesan tersenyum lebarnya pasti kelihatan  menjadi menakutkan. Seram!


Penyebutan tokoh dengan kata “Kamu” membuat saya bertanya-tanya, bagaimana jalan cerita  yang ditawarkan oleh penulis. Pada bagian awal penulis sudah memberikan kesan ada orang ketiga yang  bercerita. Namun belakangan saya merasa sepertinya cara bercerita ini kurang cocok.

Bagaimana orang ketiga bisa bercerita panjang lebar pada Ve mengenai apa yang terjadi padahal Ve tidak pernah menceritakan semuanya? Bertemuannya dengan orang yang berperan sebagai tukang cerita   jarang dilakukan. Kalau pun ada, waktunya juga tak lama. Lalu bagaimana ia bisa mengisahkan ulang semua kejadian yang menimpa Ve?


Sebaiknya penulis mensiasati dengan cara membuat seolah-olah Ve menulis semacam buku harian. Atau sempat menuliskan pesan via email sebelum semua akses yang ia miliki tertutup. Atau cara lain yang bisa dipikirkan penulis.


Bagian yang mengisahkan bagaimana Oma Teti terluka, agak tidak masuk akal buat saya. Bagaimana bisa  tidak ada orang yang  melihat  ketika Oma Teti dibawa keluar dari rumah. Ditambah dalam kisah ini disebutkan bahwa Oma Teti memiliki tetangga seorang pensiunan polisi yang sudah mengetahui perihal persoalan yang mereka hadapi. pastinya tetangga itu sudah waspada ketika Nenek Unung dan ayah Ve masuk ke dalam rumah Oma Teti.


Oh ya, salah satu adegan di halaman 12. langsung membuat saya merasa ini pastilah kunci, minimal salah satu pemicu munculnya keseraman dalam kisah. Sok tahu  yang untungnya benar. Efek terlalu sering nonton  dan membaca kisah detektif mungkin ^_^.


Namanya juga kisah urban thrille, tentunya ada adegan  seram. Dalam kisah ini adegan seram berupa penyiksaan membuat bulu kuduk berdiri. Pada beberapa bagian,  berkesan ala film horor kita, misalnya pada halaman 114.  Dalam adegan tersebut emosi pembaca diaduk-aduk sedemikian rupa. Tegang! Belum ingin meletakkan buku sebelum kisahnya habis, penasaran rasanya!



Pada bagian awal, semacam judul mungkin, tertulis “Situasi Emosi #no bab: judul bab. Misalnya “Situasi Emosi #14: Panik. Maka pembaca akan menemukan tulisan yang isinya kurang lebih berkisah tentang kepanikan. Terbayangkan, bagaimana was-wasnya ketika ada bagian yang diberi judul "Takut" lalu "Sakit".

Dengan ilustrasi sampul karya Indah Rakhmawati dan desain oleh Dilidita,  kesan menyeramkan sungguh pas. Bahkan tanpa perlu membaca tulisan "Urban Thriller" yang ada di pojok atas. Terutama membaca kalimat "Bapak bilang: perempuan itu kodratnya di bawah lelaki"  minimal sudah ada sesuatu hal yang membuat kedua alis pembaca bertemu.


Secara garis besar, buku ini tidak hanya menawarkan rasa mencekam karena termasuk dalam kisah urban thrille, lebih dari itu. Penulis seakan ingin membagikan pandangan mengenai kesetaraan gender pada pembacanya. Bahwa laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dalam membangun rumah tangga. Tak ada yang dikalahkan, dan tak ada yang menindas. 

Pendidikan juga menjadi topik dalam kisah ini. Sesungguhnya pendidikan adalah mutlak hak setiap orang. Tak ada yang bisa melarang orang yang ingin maju meraih pendidikan lebih tinggi. Tak ketinggalan pentingnya pendidikan budi pekerti yang dimulai dari rumah.

Penulis terlihat begitu mencintai buku (pastinya). Hal tersebut bisa dilihat pada kalimat yang tercetak di halaman 25.  "Lagi pula, kamu tidak setuju buku dituduh begitu. Kamu memperoleh banyak ilmu dan merasakan manfaat yang memperluas wawasan dari membaca serta memahami bobotnya."


Kecintaannya pada perputakaan tercermin pada halaman di halaman 14. "Library Café Akar merupakan penambahan dari perpustakaan yang sudah didirikan mami Akar dua puluh tahun lalu saat perempuan itu masih kuliah hal.


Sebenarnya, saya pingin memberikan bintang 5. Karena buku ini sukses membuat saya membaca sambil melotot! Hanya ada satu kekurangan yang mengganggu. Kenapa  ukuran hurufnya harus berbeda ya? Dari jenis, ukuran serta ketebalan cetakan berbeda. Jika maksudnya untuk memberikan pertanda beda bagian, memang berhasil. Tapi malah mengurangi kenikmatan membaca.  Padahal kisahnya mulai makin seru


Penulis buku ini ternyata Vinca Callista pernah memenangkan Emerging Writer pada Ubud Writer & Readers Festifal 2015. Silakan mampir ke www.vincacallista.wordpress.com untuk lebih mengenainya.  Membaca tiga nama yang bertugas menjadi penyunting, harusnya saya yakin buku ini pasti menjanjikan sesuatu yang spektakuler.

Keren!




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar