Sabtu, 07 Juli 2012

All the Flowers in Shanghai


Penulis: Duncan Jepson
Penerjemah: Istiani Prajoko
Penyunting: Dian Pranasari
ISBN: 978-979-024-388-0
Halaman: 476
Penerbit: Serambi

Anak pertamaku  HARUS  seorang anak laki-laki yang sehat

Kenapa??? Kenapa HARUS anak laki-laki

Karena......

Andai aku adalah Feng, maka alasanku sudah sangat jelas! Aku ingin mengukuhkan kedudukan sebagai seorang perempuan yang mampu menunaikan kewajibannya, melahirkan seorang  penerus  nama keluarga. Terpenting, aku bisa menjadi Istri Pertama, penguasa sesungguhnya Keluarga Sang. Istri Pertama memiliki kekuasaan karena tradisi dan kekuatan setua sejarah China.

Feng sebenarnya adalah anak kedua, anak PEREMPUAN kedua dalam keluarganya. Kedua orang tua Feng bukannya tidak mencintai karena ia adalah anak nomer dua, namun mereka terbelenggu adat sekian abad. Menurut hirarki tugasnya adalah mengurus kedua orang tua saat sudah lanjut usia. Sementara kakaknya yang cantik rupawan "bertugas" meningkatkan derajat keluarga dengan menjadi menantu keluarga kaya. Impian setiap orang tua di China, memiliki menantu yang kaya dan terpelajar.

Guna mewujudkan impian itu, ibu Feng berusaha sekuat tenaga untuk memperluas koneksi, mempelajari banyak hal hingga bisa mengajari anak perempuannya bersikap elegan. Ia melakukan apa saja demi mendapatkan menantu idaman. Kakak Feng juga sangat mengerti peranannya. Ia berusaha semaksimal mungkin mewujudkan keinginan orang tuanya. Dan ia terbukti berhasil membuat kedua orang tuanya bangga dengan menerima lamaran Keluarga Sang, sebuah keluarga terpandang dan kaya di Shanghai.

Saat kedua orang tuanya sibuk mencurahkan perhatian kepada sang kakak, Feng harus sering mengalah. Ia cukup puas mengisi hari-harinya dengan berjalan-jalan di taman dengan sang kakek. Selain berjalan-jalan, ia mendapat pelajaran mengenai tumbuh-tumbuhan yang ada ditaman, mengenai bunga tepatnya. Disana ia juga berkenalan dengan seorang anak laki-laki yang kelak akan sangat berpengaruh terhadap hidupnya.

Saat segala rencana pernikahan tergelar dan sedikit lagi mimpi keluarga itu tercapai, sebuah kenyataan pahit menghampiri. Sang kakak tidak bisa menikah! Sesuai tradisi dan untuk menutupi rasa malu keluarga, anak perempuan kedua, Feng "ditawarkan" sebagai pengganti. "Kau akan menjadi Istri Pertama anak tertua sebuah keluarga yang benar-benar terhormat. Pernikahan ini adalah warisan kakakmu untukmu dan kau harus sangat bersyukur. Kakakmu sendiri mengatakan kepadaku dia benar-benar dengan senang hati memberikan kesempatan ini kepadamu jika keluarga Sang memintanya." Ucap Ma. Segalanya langsung berubah. Feng tak tahu ini keberuntungan atau malapetaka. Ia yang semula tak dianggap mendadak menjadi tumpuan keluarga. 

Buku ini secara garis besar mengisahkan kehidupan seorang wanita China dari belia hingga usia lanjut, dari saat masa tenang hingga revolusi.  Dari bukan siapa-siapa hingga menjadi seseorang. Feng yang semula bersikap masa bodoh terhadap banyak hal mendadak menikmati saat ia  ditunggu-tunggu orang, menikmati saat harus menyantap 18 hidangan, menikmati saat ia membuat orang disekitarnya sibuk melayani.  Feng bahkan mampu membuat sebuah pesta dimana sang ayah mertua hadir, sebuah hal yang luar biasa mengingat betapa kolotnya beliau. Kita bisa melihat bagaimana pergerakan sebuah kebudayaan. Saat sebuah tradisi turun temurun mendadak harus digantikan dengan sebuah hal baru.

Adegan mengenai hubungan suami istri juga bisa kita temui dalam buku ini. Kisah yang ada justru mengharukan alih-alih menggairahkan. Bayangkan betapa ketakutannya seorang anak perempuan yang sama sekali tidak diberi pengetahuan mengenai hubungan suami istri mendadak harus mengalami "malam pertama" Jangankan menikmati, mengerti maknanya saja tidak. Yang ia tahu, suaminya sedang menyakiti dirinya, sungguh ironi. Seiring waktu Feng telah belajar banyak hal, hingga ia  mampu memanipulasi suaminya.

Ada juga pesan untuk terus membaca buku di halaman 198. Pesan yang diterima Feng dari sahabatnya. "teruslah membaca dan menulis, baca apa pun yang kau bsia baca karena bacaan membantumu. Membantu kita sebagai perempuan...." Itu juga yang membuat buku ini seolah-olah  sebuah kisah yang ditulis dalam lembaran kain-kain dan diperuntukan bagi seorang anak perempuan. Anak perempuan siapa? baca sajalah.... Sebuah petunjuk sudah tergambar dengan jelas hingga saya pun bisa menebak siapakah anak perempuan misterius itu.

Saya sedikit tidak bisa memahami perubahan sikap Feng. Saat sudah menjadi Istri Pertama dengan segala daya dan upaya, mendadak ia malah meninggalkan semuanya demi sebuah kisah lama. Semua yang diperjuangkannya seakan tak berarti. Cinta memang sesuatu yang harus diperjuangkan, tapi jika cinta itu menghancurkan semua yang telah diraih dengan susah payah apakah masih layak diperjuangkan?

Dua sisi kepribadian  seorang ibu juga terlihat dalam buku ini. Satu sisi buku ini mengisahkan betapa egoisnya seorang ibu hingga mengorbankan putrinya demi ambisi semata. Sisa lain mengisahkan betapa cinta seorang ibu mampu mengalahkan banyak hal.  Demi sang putra ia rela melakukan apapun bahkan menyakiti orang lain. Kontras memang tapi itulah adanya.Ma  menjadikan Feng dan kakaknya sebagai alat guna mencapai ambisinya. Sementara Feng begitu larut dalam penyesalan terhadap putrinya hingga rela menulis kisah hidupnya dia atas kain putih lalu menjahitnya menjadi sebuah buku. .Feng juga menunjukan cintanya dengan memarahi pelayan yang dianggap menggoda anak laki-lakinya.


Sosok sang kakek sebagai tokoh yang memperkenalkan aneka jenis bunga sepertinya kurang dikembangkan. Hanya sebagai salah satu orang yang memperhatikan Feng. Serta bagaimana sang kakek tidak membelanya saat ia harus menggantikan posisi sang kakak, Sang kakek malah meninggalkannya dalam kesendirian. Namun begitu, kesan betapa berartinya sosok sang kakek terlihat dalam beberapa penggalan ungkapan ucapan Feng.
 
Banyak kalimat penuh filsafat kehidupan dalam buku ini, ada dua kalimat favorit saya.  Pertama  ada di halaman 47. " .... Jika kau terlihat sempurna, orang akan menghormatimu, mereka akan menyanjungmu. Mereka akan segan terhadapmu. ...., tapi jika kau tak pernah membiarkan orang lain melihat ketidaksempurnaanmu, dan jika kau tidak pernah mengakui hal-hal jelek tentang dirimu, mereka, mereka takkan mengambil resiko untuk memperlihatkan ketidaksempurnaan mereka sendiri di hadapanmu. Mereka pun tak mau mencampuri urusanmu dan justru bersikap segan terhadapmu. Tapi jika kau bersikap sembarangan, kau juga akan diperlakukan demikian. Kau akan diremehkan..."  Percaya diri dan mampu mengendalikan diri adalah intinya

Kalimat lainnya ada di halaman 139, " Tuan bukan orang jahat, tapi Tuan adalah anak dari orang tuanya. Nyonya harus lakukan apa yang dikatakan Tuan, tapi Nyonya harus selalu memiliki tempat bagi diri Nyonya sendiri." Sebuah kalimat yang bagi saya mengisyaratkan banyak hal.

Wanita di China memang sering kali ditampikan sebagai sosok yang menderita dalam banyak kisah. Mereka hanya punya sedikit hak dengan segudang kewajiban. Bahkan kamar mereka pun berbeda dengan sang suami. Namun dari sekian banyak ada yang melawan dengan berani. Melawan bukan dalam arti membabi buta. Mereka  melawan dengan senjata yang justru sering dianggap kelemahan mereka, dengan jati diri sebagai serorang perempuan. 

Kota Shanghai yang dipilih sebagai lokasi kisah merupakan sebuah kota yang berada di pinggir laut. Secara harafiah artinya adalah di atas laut, maksudnya sebuah kota yang berada di sisi atas menuju laut. Shanghai juga merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia, selain  Singapura dan Rotterdam.

Apa....?Ooo, kenapa aku mau anak pertamaku adalah anak laki-laki
Hemmm sepertinya biarlah menjadi rahasiaku saja yahh
*kaburrr* 

Kecuali kover, semua gambar bersumber dari:

3 komentar: