Editor: Mirna Yulistianti
Halaman: 293
ISBN: 9789792285680
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 58.000
Pepatah mengatakan bahwa di belakang kesuksesan seorang pria
terdapat wanita yang hebat. Sering kali anggapan mengenai wanita yang hebat itu adalah istri, padahal
maknanya bisa lebih luas. Dalam buku Ibuk ini, justru wanita yang hebat itu
adalah ibu dari tokoh kita, Bayek
Ibuk hanyalah seorang wanita yang cara berpikirnya sederhanya
tidak neko-neko tapi sungguh mulia. Beliau hanya ingin agar kelima anaknya; Isa, Nani, Bayek,
Rini dan Mira bisa lulus SD bahkan lulus sekolah yang jauh lebih tinggi hingga
bisa berbuat banyak bagi kehidupan mereka sendiri. Tidak seperti dirinya yang
SD saja tidak lulus.
Kisah percintaan Ngatinah dengan Abdul “Sim” Hasyim sangat sederhana. Perkenalan mereka
dimulai dari saling melirik di depan kios yang ditunggui Tinah, panggilan untuk
Ngatinah. Sim membawa dunia baru dalam kehidupan Tinah. Dari menonton film
India hingga naik mobil ke Pujon.
“Nah… kamu mau gak
hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua.”
Ajakan Sim yang diiyakan oleh Tinah
telah mengubah seluruh kehidupan mereka. Saat menikah mereka hanya berbekal keberanian untuk
mejalani kehidupan bersama. Tak ada recana dimana tinggal, bagaimana membesarkan anak, apa lagi
pendidikan. Itu juga yang membuat
Ibuk baru mengetahui tentang Keluarga
Berencana setelah Mira lahir.
Ibuk yang tak mengerti urusan manajemen keuangan, hukum permintaan
dan penjualan, bahkan teknik kredit mampu memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Berbagai cara dilakukannya. Dari berhemat
dengan cara yang sungguh fantastis hingga melakukan perbaikan secara spekatakuler. Segala hal jika bisa dihemat akan dilakukan Ibuk demi biaya
sekolah anak-anaknya. Seluruh buku ini
mengisahkan bagaimana perjuangan Ibuk untuk memberikan pendidikan terbaik
bagi kelima anaknya.
Perjuangan Ibuk serta bapak tentunya membuahkan hasil yang
sungguh luar biasa. Kelima anak mereka seakan memahami bagaimana sulitnya kedua
orang tua mencari rejeki guna memenuhi
kebutuhan sekolah. Mereka selalu
memiliki prestasi yang luar biasa. Minimal masuk 10 besar.
Bayek satu-satunya anak laki-laki tidak jadi menemani bapak
menarik angkot. Ia bahkan mampu berkarya di luar negeri, tempat yang sama
sekali tak pernah dibayangkannya. Hanya karena tekat kuatnya untuk keluar dari
rumah sempit dan mempunya kamar sendiri serta
tekat kuat sang ibu untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya,
mimpi masa kecil Bayek terwujub.
Kasih sayang Ibuk dan Bapak, kebersamaan yang dibina sejak
dulu serta perasaan untuk berbagi membuat keluarga ini kuat dan mendapat banyak
kemudahan kelak. Mereka saling menyayangi satu dengan lainnya. Pengalaman hidup
telah membuat mereka menjadi kuat.
Buku ini akan saling melengkapi dengan buku 9 Summers 10
Autumns. Selama ini, kita sering
mendengar bagaimana seorang Iwan
Setyawan bercerita tentang sang
ibu. Bagaimana luar biasanya sang ibu. Mereka boleh saja tidak punya sepatu
baru, tapi bayaran sekolah selalu tepat waktu. Sang penulis, Iwan Setyawan menceritakan pengalaman hidupnya
tanpa ada rasa sungkan. Mereka harus berbagi dalam segala hal,
termasuk urusan kredit untuk semua barang. Buku ini sebagai pembuktian bahwa apa yang selama ini diceritakan oleh Iwan mengenai sang Ibuk memang apa adanya, sebuah kisah nyata.
Dari isi cerita, tak butuh lama untuk menuntaskan buku ini.
Gaya bercerita Iwan yang segar membuat
pembaca bisa merasakan bagaimana
semangat balas dendam Ibuk untuk menyekolahkan anak-anaknya. Rasa sedih saat Ibuk tak bisa segera membawa
pulang rapor Bayek karena kurang uang untuk membayar kalender
merupakan cerminan betapa biaya pendidikan tidak cukup hanya uang
sekolah dan buku saja.
Para ibu memang punya cerita tersendiri tentang bagaimana cara membesarkan anaknya.
Jika Bunda Ifet berjuang membebaskan Slank dari narkoba, Bunda Fuadi membuat anakknya mampu mendapat beasiswa di luar negeri, maka Ibuk Tinah
berjuang membawa anak-anaknya mendapat pendidikan tinggi.
Inspiratif!