Rabu, 21 Desember 2011

Perebutan Lampion Merah

Judul Asli: Raise the Red Lantern
Penulis: Su tong 
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penyunting: Anton Kurnia
Pemeriksa Aksara: Dian Pranasari
ISBN: 978-979-024-375-0
Halaman: 136
Penerbit: Serambi
Rating: 4/5

Usia memang tidak kenal ampun dan aku tidak tahan untuk menggunakan obat perangsang seperti  salep tiga cambuk

Dasar pelacur kecil murahan!

Andai saya bisa bertemu dengan seorang wanita  dari Negara Cina, maka saya akan mengajukan sebuah pertanyaan yang mengganjal selama ini. Pertanyaan yang timbul akibat seringnya membaca cerita dengan latar belakang Cina. 

Apa yang membuat seorang wanita bisa menerima suaminya memiliki wanita lain, bahkan kadang mereka sendiri yang memilihkan istri bagi suaminya. Apakah karena status sosial, menjaga garis keturunan, penggabungan dua keluarga besar demi usaha, atau untuk urusan sex?

Dalam The Good Earth, Wang terlihat sangat mencintai dan menghormati O-lan  istri pertamanya. Tapi tetap  saja saat ia mulai sukses, ia mengambil selir. ” Dan kau jangan mengira, hai perempuan goblok, satu perempuan saja sudah cukup bagi seorang pria. Dan meskipun perempuan itu adalah perempuan yang sudah rela bekerja susah payah untuk suaminya.... Aku sudah merasa jenuh menggauli istriku saja, dan sebagai tuan tanah yang sanggup memberi makan kalian semua, apa aku tak boleh punya satu perempuan lagi?”  Seiring kesuksesannya, jumlah selirnya kian bertambah tanpa perduli bagaimana perasaan istrinya

Pada kisah Pavillion of Women, Madame Wu malah membelikan gundik bagi suami agar ia bebas tugas. Jika ditanya   bagaimana perasaan kedua, mereka  memang masih saling mencintai. Semua dilakukan Madame Wu justru untuk kebahagian sang suami. 

Ia sadar kondisinya sudah tidak seperti dulu sehingga sang suami butuh seseorang yang bisa melayaninya. Madame Wu mencarikan gundik yang cocok, bahkan Madame Wu mengajari gundik tersebut  bagaimana cara melayani sang suami.

Satu yang menjadi kesamaan para wanita tersebut, Walau di hadapan umum mereka sering terlihat kompak, minimal tidak menunjukkan konflik secara terbuka, persaingan memperebutkan gelar kesayangan tak bisa  dihindari lagi. 

Di depan sesama wajah mereka manis bak malaikat, dibelakangnya mereka memasang wajah bagaikan setan! Walau mereka mencarikan suaminya perempuan lain, tetap saja mereka ingin menjadi yang utama.

Sukacinta, yang selalu berusaha menjalankan ajaran Budha dengan benar, Mega, yang sangat menyukai kwaci  dan memiliki roman wajah yang memancarkan kehangatan, Karang, yang memiliki kecantikan fisik dan suara merdu, Teratai, yang baru satu tahun duduk di bangku kuliah. Mereka adalah empat wanita  dengan kepribadian yang berbeda, kesamaan diantara mereka adalah Chen Zuoqian, suami mereka.

Saat menikah dengan Tuan Besar Chen Zuoqian  usia  Teratai baru sembilan belas tahun. Sementara sang suami berusia lima puluh tahun. Pernikahan itu terjadi guna membayar hutang sang ayah yang bangkrut dan bunuh diri. Sebagai tanda kasih sayang ibu tiri kepada ayahnya, Teratai dicarikan tuan yang baik dan kaya.

Sebagai istri termuda, jelas sang suami menaruh perhatian lebih.  Wajar juga jika istri-istri yang lain merasa cemburu dan berupaya merebut perhatiannya. Mereka berempat berebut lampion  merah. Lampion merah sebenarnya hanyalah sebuah lampion biasa yang berwarna merah. Yang membuatnya menjadi istimewa justru fungsi lain dibalik gungsi utamanya sebagai penerang. 

Jika sang suami sudah menentukan pilihannya, maka kamar istri yang dipilih ditandai dengan pemasangan sebuah lampion merah. Semakin sering lampion  dipasang di depan kamar tersebut, artinya semakin sering tuan besar mengunjungi penghuni kamar itu. Maka bisa disimpulkan siapa yang sedang menjadi kesayangan.

Teratai yang masih muda beliau sudah harus bersaing dengan istri-istri yang lain demi mendapat perhatian sang suami. Persaingan diantara mereka  dalam kisah ini sedikit menyeramkan. Bahkan melibatkan para anak. 

Tapi mau tak mau saya harus mengangkat topi untuk Teratai. Walau usianya muda, ia mampu mempertegas posisinya sebagai istri, sejajar dengan yang lain.  Taktik yang dilakukan oleh Teratai kadang terlalu kejam buat saya, tapi.... dipikir-pikir pintar juga cara Teratai membalas dendam, terutama saat adegan potong rambut he he he

Selain  berkisah mengenai konflik antara para istri, kisah ini juga diberi bumbu mengenai kesulitan Tuan Besar Chen Zuoqian   dalam menjalankan kewajibannya. Buku ini  menunjukkan bahwa sex merupakan hal yang mendapat pertimbangan  matang saat seorang pria mengambil istri lagi. 

Bagaimana nasib sang istri juga ditentukan dengan seberapa pandainya ia mengurus suami dan membuat panas tempat tidur. Selain  urusan konflik, ada juga bumbu misteri, perselingkuhan dan asmara. Ada  suasana menyenangkan, mengharukan bahkan menakutkan!

Kover bernuansa merah selain sesuai dengan judulnya, lampion merah juga mengingatkan kita akan suasana pernikahan ala Cina yang didominasi dengan warna merah. Sosok perempuan menggunakan  cheongsam berwarna merah  membuat yang melihat bisa segera menangkap pesan terselubung, ada sesuatu dibalik warna merah. Andai saja warna cheongsam dibuat lebih terang tentunya kover buku ini secara keseluruhan lebih cerah.

Buku ini  sudah difilmkan dengan Gong Li sebagai Teratai.  Semula judul kisah ini dalam versi Bahasa Inggris adalah Wives and Concubines. Saat difilimkan, judulnya menjadi  Raise the Red Lantern mengambil adegan pemasangan lantera merah di depan kamar istri pilihan malam itu.

Sungguh kisah yang menggoda! Layak mendapat 4 bintang Untuk menghormati Teratai, mari kita renungkan perkataanya
Bunga bukanlah bunga dan orang bukanlah orang
Bunga adalah orang dan orang adalah bunga”

Sumber gambar:
https://www.goodreads.com/

2 komentar:

  1. Seremnya balas dendam si Teratai kayak apa mba?

    BalasHapus
  2. Bukan sadis tp enggak kebayang mau melakukan itu, secara wajahnya dibuat tanpa dosa lalu alasannya itu lho....

    BalasHapus