Judul : Berguru pada Para Pesohor
Penulis : Diana AV Sasa, Muhidin M. Dahlan
Pewajah Isi : Cahyo Purnomo Edi
Pewajah Sampul : Eddy Susanto
Pemeriksa Aksara : Gita Pratama
Halaman : 254
ISBN : 978-602-98997-0-2
Cetakan : I, April 2011
Penerbit : 1 # dbuku
Harga : Rp 50.000
Saya penggemar novel???
Hem…. Saya segera melirik rak-rak buku saya. Sepertinya disana juga ada buku agama, pengetahuan umum, motivasi, sejarah dan kamus. Ada satu lemari kecil dua susun khusus untuk buku-buku seputar Bahasa Mandarin. Geser sedikit ada bagian khusus untuk buku seputar wayang, disebelahnya berjejer cergam. Lalu ada satu rak khusus untuk buku-buku marketing. Di bagian bawahnya tersusun dengan rapi komik-komik. Tak ketinggalan buku-buku untuk
swap. Sepertinya sih isi rak buku saya beragam.
Tapi tunggu sebentar……………….., saya mendadak melihat tumpukan PR. Mau tak mau saya jadi meringis sendiri melihat tumpukan buku yang harus saya resensi. 99,9% adalah novel. Walah! Pantas saja saya disebut penggemar novel. Padahal saya membaca apa saja asal bukan cerita
menye-menye. Hanya saja memang saya lebih suka meresensi novel karena meresensi saya anggap sebagai hiburan. Buku motivasi misalnya, jarang saya resensi kecuali buku itu saya anggap memiliki pengaruh besar bagi diri saya.
Kalau mau ditilik ulang seluruh resensi saya, ada juga seputar pengetahuan umum, komik, manajemen serta undang-undang. Mungkin efek menjadi anggota Ordo Buntelan, sebutan Suhu Tanzil buat saya dan para sahabat, sebagian besar buntelan buku yang saya terima memang novel . Tapi minimal penulis buku ini tidak latah mengira saya seorang laki-laki.
Saat buku ini mendarat setelah melalui perjalanan panjang , saya langsung terpesona pada pemilihan kertas untuk kover. Sangat jarang kover menggunakan bahan seperti yang dipakai buku ini. Segera saya pamerkan ke salah satu sahabat yang juga memiliki penerbitan
Dandy, biar dia tergoda. Pemilihan warna kover serta ilustrasi atau apalah namanya juga tak kalah menggoda.
Sayang…., kok tidak ada tanda tangan penulisnya yah? Sebagai buku yang dijual terbatas, tentunya dengan tambahan tanda tangan mereka yang berada di balik terbitnya buku ini akan memberikan nilai lebih. Tentunya selain isi buku yang memang unik.
Membaca buku ini membuat mata saya kian terbuka. Selama ini meresensi saya lakukan sebagai hiburan menyalurkan hobi dan ungkapan terima kasih kepada pemberi buku. Jarang sekali saya bersemangat mengirim ke media massa. Jika mengirim juga bukan mengharapkan pundi-pundi rupiah yang bakalan diterima. Tapi karena merasa buku itu sangat layak untuk disebarluaskan keberadaannya. Pola berpikir saya sedikit berubah setelah membaca buku ini
Dalam buku ini, disebutkan juga hal mendasar mengenai perbedaan antara ringkasan buku
(Book Report) serta resensi buku
(book review). Kedua istilah ini umumnya dipakai di luar negeri, sementara untuk kawasan tanah air cukup dikenal resensi saja. Ringkasan buku berisi informasi mengenai penulis, judul, waktu dan tempat penerbitan serta tak ketinggalan isi buku. Sementara resensi buku lebih bersifat pribadi. Resensi mengandung isi seperti ringkasan, tapi mengulas lebih dalam serta memasukkan pendapat pribadi si pembuat resensi.
Secara garis besar buku ini bisa dijadikan panduan bagi mereka yang ingin menjadi seorang peresensi buku alias resensor, Sedangkan bagi yang sudah menggeluti dunia ini, anggaplah sebagai penyegaran serta ajang berbagai ilmu.
Sayangnya buku ini sedikit sekali mengulas mengenai bagaimana cara mempromosikan sebuah buku pada bagian penulis mengajak menerbitkan sebuah buku. Selama di GRI, saya berkesempatan bertemu dengan banyak penerbit dan toko buku sehubungan dengan tugas saya sebagai Koordinator Khusus Kerja Sama Penerbit dan Toko Buku. Beberapa mengeluhkan sulitnya menangani kegiatan pemasaran dan promosi bagi sebuah buku. Apalagi jika penulisnya adalah
orang baru. Belum lagi kadang penulisnya juga tak mau bekerja sama membantu. Menyusun sebuah rencana pemasaran, bagaimana berpromosi serta apa yang harus dilakukan saat buku sudah ada sepertinya kurang dibahas secara mendalam.
Satu lagi tambahan informasi, belakangan ini ada bermunculan
script Agency. Dengan bergabung kesebuah
script Agency, maka petugas penulis hanyalah PENULIS sebuah buku apapun bentuknya, baik novel, puisi , buku memasak, kumpulan tips bahkan buku pelajaran. Semua sudah diatur oleh mereka. Penulis tinggal berkonsentrasi guna menghasilkan karya terbaiknya. Salah satu yang layak dilirik adalah
Kurniaesa Script Agency.
Setiap orang memiliki berbagai macam gaya saat meresensi sebuah buku. Ada yang menggunakan bahasa sehari-hari alias bahasa pergaulan, ada juga yang menggunakan bahasa resmi. Cara penulisan juga bermacam-macam, ada yang mengulas isi buku secara berimbang, menambahkan pengetahuan sehubungan buku itu, atau sengaja membuat resensi pendek agar pembacanya penasaran akan isi buku itu. Dalam buku ini tentu saja juga diulas bagaimana meresensi dengan baik dan benar serta gaya dalam meresensi.
Sehubungan dengan buku ini, saya jadi teringat beberapa pertanyaan sahabat seputar bagaimana saya membaca dan meresensi buku. Untuk membaca sudah sering saya ungkapkan
rahasia dapur saya. Sedangkan untuk resensi rasanya masih sungkan. Saya belumlah mendekati setengah dari para guru, masih perlu belajar banyak. Untuk kali ini anggaplah saya sedang mohon petunjuk mengenai cara saya meresensi di hadapan para
master.
Untuk saya pribadi, ada beberapa hal saat HARUS saya lakukan saya membuat resensi.
Dari mana buku itu berasal, apakah hadiah atau hasil berburu ke toko buku. Mungkin orang akan menyebut saya bersikap tidak adil tapi memang begitulah adanya. Buku yang saya peroleh dari pemberian entah penerbit atau sahabat bagaimana pun isinya harus dibaca sampai tuntas dalam waktu singkat dan dibuatkan resensi.
Soal penilaian sebuah buku memang tergantung selera pembaca masing-masing. Tapi saya membaca dan meresensi sebagai ungkapan terima kasih atas hadiah yang dikirimkan. Untuk bisa meresensi artinya saya harus menuntaskan membaca buku itu. Dan entah bagaimana caranya saya juga harus bisa membuat resensinya.
Belakangan saya sangat bersyukur dengan banyaknya buntelan yang mendarat. Namun seiring waktu, saya mulai berbagi dengan para sahabat. Buku-buku yang bukan genre saya, jika dikirim oleh penerbit, dengan sepengetahuan mereka saya kirimkan kembali ke para sahabat yang saya yakini mampu meresensi buku dengan genre tersebut. Semua pasti senang! Buku tersebut berada di tangan orang yang tepat, diresensi dengan tepat dan saya juga tidak merasa bersalah melihat buku itu tertumpuk tanpa daya.
Namun jika buku yang saya baca merupakan hasil berburu ke toko buku tentunya perlakuannya akan beda. Andai ternyata tidak menarik, saya memang akan membacanya sampai tuntas, tapi tidak untuk meresensinya dengan panjang lebar. Paling saya cukup memberikan bintang dan komen singkat pada rak buku saya di GRI.
Berusaha menemukan kelebihan dan kekurangan buku itu secara adil. Bicara soal adil sepertinya sebuah hal yang teramat susah. Bagaimana bisa adil jika kita sangat menyukai sebuah buku. Pastilah yang ada hanyalah pujian setinggi langit! Cara yang saya tempuh adalah dengan menaikkan kadar kekaguman pada sebuah buku. Misalnya bintang 2 untuk buku yang saya sangat tidak mengerti isinya, bintang tiga untuk biasa saja, bintang empat untuk buku yang membuat saya terpesona, bintang lima untuk buku yang mampu memporak-porandakan emosi. Saya tidak akan memberikan bintang 1. Bagaimana pun juga usaha penulis untuk membuat sebuah buku serta upaya penerbit menghadirkan buku tersebut layak diberikan penghargaan 1 bintang, terlepas bagaimana isinya. Bintang itu diberikan tanpa melihat siapa penulis bukunya, yang saya lihat adalah isinya.
Sekedar info, buku yang paling saya sukai selama tahun 2011, sampai saat ini adalah
Pearl of China dari Penerbit Qanita. Saya membaca sambil menangis tanpa perduli berada di transjakarta, membaca ulang tanpa jeda serta menangis saat mendiskusikan dengan seseorang. Menyentuh!
Tapi biar bagaimana saya juga manusia. Kadang dalam membuat resensi , saya tanpa sadar memasukan penilaian terlalu pribadi untuk sebuah buku. Misalnya saja saat buku besutan penulis favorit saya diterjemahan dengan bahasa yang kacau balau menurut versi saya. Langsung resensi saya sebagian besar berisi kekecewaan akan buku itu. Beberapa sahabat sempat menyebutkan bahwa itu resensi yang terlalu terbuka mengungkapkan kekecawaan terhadap sebuah buku. Untuk pihak penerbit berlapang hati menerima kritikan yang saya lontarkan dengan teramat sangat jujur. Belakangan gantian saya yang merasa tidak enak hati karena mereka tetap berbaik hati mengirimi saya buku.
Jika saya merasa tidak bisa menemukan kekurangan buku itu, maka saya mulai mengintip ulang resensi para sahabat. Menelaah ulang uraian mereka mengenai kekurangan buku. Biasanya saya menemukan beberapa point yang lolos dari pengamatan saya yang terlalu terpesona akan isi sebuah buku.
Resensi itu harus memberikan pengetahuan tambahan selain menguraikan isi cerita. Itu sebabnya saat membuat resensi sebuah buku saya membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada membaca sebuah buku. Dari sebuah buku yang ada, saya mencari kira-kira sisi mana yang bisa ditonjolkan sebagai tambahan pengetahuan. Kadang butuh lebih dari 2 buku referensi untuk membuat sebuah resensi pendek. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk jalan-jalan di dunia maya
Contohnya saat membuat resensi buku
Wolfsangel. Awalnya ketebalan buku membuat saya meringis, apalagi kisahnya termasuk
sedikit suram.Ternyata kisahnya cukup menawan walau memang berkesan suram dan kejam. Buku tersebut ternyata sarat akan nuansa rune, yang membawa kesan magis dalam cerita. Maka tambahan pengetahuan seputar rune sepertinya layak diberikan untuk para sahabat pembaca resensi saya.
Dengan membaca resensi Wolfsangel, selain memahami kisah seputar manusia setengah dewa yang dibesarkan oleh serigala serta kembarannya, pembaca akan mengerti asal usul rune, apa manfaatnya serta bagaimana cara mendapatkan rune. Pengetahuan dan hiburan diperoleh bersamaan dengan sekali membaca resensi.
Pembaca dibuat tertarik untuk membeli dan membaca buku yang diresensikan. Resensi sering dijadikan ajang promosi oleh para penerbit, sepertinya itu sudah menjadi rahasia umum. Para penerbit sering mengirimkan buku untuk diresensi dengan harapan pembaca resensi tertarik untuk membeli dan membaca buku itu. Sasaran promosi memang tidak hanya pembaca buku saja. Mungkin saja buku itu dibeli untuk diberikan sebagai hadiah bagi seseorang.
Bagi saya, resensi dibuat agar para sahabat bisa ikut menikmati sebuah cerita yang menarik. Mereka tidak harus membaca sebuah karya yang kurang layak dibaca, tentunya semuanya dari sisi saya. Mereka boleh setuju boleh saja tidak, minimal mereka mendapat gambaran mengenai cerita yang ada dalam sebuah buku.
Jika kebetulan ada dana yang berlebih, semoga mereka bisa mengalihkan dana tersebut untuk membeli buku yang saya resensi dan memasukannya dalam koleksi pribadi mereka. Jika mereka bukan pembaca hanya kebetulan mampir membaca resensi saya, semoga mereka tertarik dan membeli untuk para kerabat yang menurut mereka layak diberikan buku itu. Syukur malah jadi ikutan suka membaca.
Ciri khas itu resensi buatan saya. Dari sisi marketing, sebuah produk baik harus memiliki suatu sisi khas yang membedakan dengan produk lain agar mampu bersaing di pasaran. Demikian juga dengan resensi yang saya buat! Resensi merupakan produk dari olah pikir. Dibutuhkan proses panjang untuk bisa membuat sebuah resensi. Proses yang saya lalui untuk membuat resensi dimulai dari membaca buku, memberi tanda hal-hal yang menarik, mencari referensi,merangkai kata-kata, men-
scan gambar, terakhir menyusun tampilan agar menarik.
Ada dua yang menjadi ciri saya saat membuat resensi buku.
Pertama adalah kalimat pembuka yang diambil dari kata-kata yang saya anggap mampu menarik perhatian pembaca. Setelah perhatian didapat, sisanya tinggal membuat pembaca betah membaca resensi saya. Pemilihan ini saya lakukan karena ingin menerapkan prinsip marketing.
Pada halaman 127 tertulis, ” Jenis
lead ini adalah yang paling sering dan umum digunakan banyak penulis karena menjadi penyelamat ketika
mati-gaya tak menemukan paragraf pertama yang menyentak. Baiklah jika dianggap begitu ^_^ Tapi memang itulah ciri saya, bukan karena mati gaya lho he he he
Ciri
kedua adalah membuat resensi dalam bentuk cerita. Yang sudah sering saya gunakan adalah kisah tentang seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil grandnie. Grandnie ini mempunya satu putra tunggal dan seorang cucu kesayangan yang kelak akan mewarisi perpustakaan pribadinya. Perpustakaan itu bukan sembarang perpustakaan, tapi sebuah perpustakaan pribadi yang menjadi impian semua penggemar buku, dari koleksi, fasilitas serta sistem keamanan. Namanya juga cita-cita boleh khan dirintas dari sekarang. Dialog antara grandnie dan cucu kesayangannya yang berisi resensi buku.
Dalam buku ini terdapat daftar alamat penyedia resensi buku di internet. Ada
partner in crime and my beloved sista, dengan
buntelan buku-nya. Ada guru-guru saya,
Ibu Peri Endah S dan Suhu Tanzil, saudara sebuku di
GRI seperti
Amang dan Helvry Ada juga beberapa sahabat di dunia maya yang belum pernah saya temui secara fisik tapi sudah merasa dekat dihati (ehem). Untuk yang satu ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada
jagoan neon yang membuatkan bloq, walau tujuan awalnya hanya untuk mendapat tambahan uang jajan. X
iexie baupe...!
Tapi beberapa sahabat yang lain seperti Luckty belum saya temui namanya dalam buku ini. Mungkin saat cetakan kedua data yang ada sudah kian terkini..
Tersedia juga daftar berbagai media massa yang menyediakan kolom resensi, walau dengan aneka nama. Wah bisa saja kelak salah seorang sahabat menulis resensor pada kolom pekerjaannya. Apa sih yang tidak mungkin jika kita yakin bisa.