Sepertinya kisah Alice Through The Looking Glass bukan seperti ini deh
Begitulah yang saya rasa ketika menonton film Alice Through The Looking Glass kemarin sore. Ceritanya dalam rangka JJS dengan jagoan, tertarik juga untuk menonton film ini. Apa lagi masih ada kursi di deretan atas dan harga tiket bioskop yang berada di pusat perbelanjaan tersebut pada hari Minggu masih bersahabat.
Walau menikmati kisah, tetap saja masih ada ganjalan mengenai film yang saya tonton. Seingat saya, kisahnya bukan seperti itu. Memang sangat paham, film dan buku berbeda. Tapi hal inti yang ada di buku justru tidak disentuh di film.
Seingat saya, kisah Alice yang ini melibatkan permainan catur (seluruh kehidupan di sana disesuaikan dengan cara bermain catur), perebutan kekuasaan antara Singa dan Unicorn, bunga yang bisa bicara dan sebagainya. Di film memang ada beberapa hal yang juga ada di buku tapi sangat berbeda. Papan catur hanya ditampilkan pada awal kisah saja, pasukan yang berbentuk sayuran merupakan pengikut musuh, begitulah
Oh ya review tentang buku tersebut dalam edisi bahasa Indonesia ada di sini. Sementara review buku yang dalam versi bahasa asing ada di sini. Eh tapi review tetap dalam bahasa lokal lho ^_^
Jadi penasaran. Sekali lagi sangat paham jika buku dan film itu berbeda, medianya saja berbeda. Namun sejauh mana perbedaan yang terjadi dan bagaimanakah pengaruh perbedaan tersebut pada isi kisah, sepertinya saya masih harus mencari referensi lagi.
Setelah beberapa saat berselanncar di web kantor, akhirnya Binggo! Menemukan sebuah buku yang sepertinya cocok dengan kebutuhan saya. Dengan nomor panggil 808.3 E, yang sepertinya bisa membantu saya menambah ilmu dan pemahaman mengenai perbedaan tersebut.
Judul asli: Novel dan Film
Penulis: Pamasuk Eneste
Halaman:74
Penerbit: Nusa Indah
Cetakan:Pertama-1991
Rating: 3.4/5
Layaknya sebuah skripsi, buku ini juga terdiri dari pendahuluan pada bab pertama, lalu perihal novel dan film di bab kedua, dilanjutkan dengan ekranisasi dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Bedanya dengan skripsi adalah pada isinya. Bisa dikatakan yang ada dalam buku ini adalah versi singkat yang sangat mudah dipahami oleh pembaca. Halamannya saja hanya 68.
Disebutkan bahwa tugas pengarang dalam menciptakan sebuah kisah adalah membuka atau mengungkapkan "masa lalu" kepada pembaca. Kejadian-kejadian dalam novel tidak dapat dibayangkan pembaca sebagai 'sedang terjadi', melainkan sesuatu yang 'telah terjadi pada masa lalu'. Film juga mengisahkan kejadian dalam waktu tertentu, tapi bukan pada 'masa lalu' namun pada masa 'kekinian'
Jika penulis berurusan dengan kata-kata, maka penulis skenario berkutat dengan pudovkin plastic material. Kalau membaca contoh yang ada di halaman 16 hingga 18, bisa diartikan sebagai detail yang mendukung terbetuknya cerita. Misal, tanpa perlu disebutkan, sebuah keluarga dalam film bisa dikatakan merupakan keluarga berada karena kursi ruang tamu terbuat dari bahan kulit, halaman luas, beberapa mobil mewah diparkir di halaman, ada televisi layar datar yang teramat sangat lebar, pendingan yang super sejuk, hiasan meja terbuat dari kristal dan sebagainya. Kursi, mobil televisi dan lainnya merupakan plastic material dalam film. Jika kurang paham baca saja sendiri ya ^_^
Demikian pula jika berbicara tentang alur. Alur novel merupakan pengisahan kejadian dalam waktu berdasarkan sebab-akibat. Kenapa terjadi hal tersebut? Bagaimana terjadinya? Mengapa bisa begitu? Pertanyan-pertanyaan tersebut membentuk alur cerita. Baik untuk alur tunggal (hanya terdiri dari satu jalinan kisah) serta alur ganda (terdapat lebih dari satu jalinan cerita).
Dengan keterbatasan film dalam banyak hal, juga karena persepsi yang diperoleh oleh sutradara dan penulis skenario, maka terjadilah perbedaan. Pada buku ini disebutkan beberapa hal yang mungkin dapat membuat penonton film atau pengarang asli novel kecewa karena ekranisasi. Antara lain:
1. Tema sama sekali tidak ada dalam film. Novel hanya alasan guna membuat film, sedangkan pembuatan film adalah segalanya.
2. Film memiliki keterbatasan teknis dan waktu putar. Untuk itu maka ada pemotongan, penyusutan, pemindahan bagian dari kisah sehingga berkesan kisah tidak selengkap novel.
3. Karena pertimbangan tertentu, sering terjadi penambahan bagian tertentu. Hal ini kadang membuat penulis asli merasa tersinggung.
4. Pembuat film merasa perlu membuat variasi-variasi dalam film sehingga berkesan tidak seasli novelnya.
5. Bisa saja pengarang novel mengukur film dengan ukuran novel, padahal keduanya memiliki ukuran dan hukum masing-masing.
Menariknya, buku ini menawarkan contoh langsung sesuai dengan apa yang sedang dibahas. Memang
novel yang menjadi ulasan bukanlah kisah terkini, tapi contoh yang diberikan
mampu memudahkan pemahaman pembaca akan hal yang diuraikan.
Tambahan ilmu soal penulisan novel tentunya juga saya peroleh dari buku ini. Demikian juga perihal film. Kalau terlihaat serupa, namun ternyata apa yang membentuk sebuah kisah dalam novel berbeda dengan apa yang membentuk sebuah kisah dalam film.
Jadi merasa jika seorang membuat review berbeda dengan yang lain, maka hal tersebut merupakan hal yang wajar. Karena poin yang ditangkap seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Asal tidak mengubah pakem kisah, berbeda tentunya merupakan hal yang wajar yang indah.
Sayangnya, saya tidak menemukan perbandingan antara kover buku dengan poster film serta kover buku setelah buku itu difilmkan lalu muncul versi edisi kover film. Pingin tahu saja, kenapa poster film berbeda dengan kover buku. Kenapa harus diganti kover film? Apakah tidak cukup dengan tulisan "Sudah diangkat ke layar lebar" di kover? Penasaran.
Terdapat juga wawancara dengan Sjuman Djaya, tokoh dunia film mengenai fenomena film yang diangkat dari buku. Sjuman Djaya menjadi sutradara untuk film yang mengangkat novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan pada tahun 1949. Film tersebut beredar sekitar tahun 1979 dengan pemain Deddy Sutomo, Christine Hakim, Emmy Salim, Kusno Sudjarwadi, dan Farouk Afero. Walau sempat ditolak oleh badan sensor, namun bisa dikatakan ini merupakan karya Sjuman Djaya yang paling terkenal.
Link berikut memuat mengenai daftar isi buku ini bagi yang tertarik.
Sebuah kalimat yang sangat bijak layak dikutip dari buku ini,
Jadi, film yang saya tonton kemarin sebenarnya...
Ya...... gitulah. Meski terpesona dengan suguhan animasi keren lan mantap, sepertinya saya lebih menyukai versi buku cetak untuk kisah Alice Through The Looking Glass .
Eh tapi pesan moral yang terkandung pada film lebih makjleb dari pada buku. Berbohong bisa berakibat panjang. Saya mendadak menjadi kasihan pada sosok yang selama ini jahat, dan kesal dan marah pada sosok yang selama ini digambarkan baik dan tertindah. Jelas, ada hubungan sebab-akibat yang membuat seseorang menjadi jahat dan kejam, atau menjadi baik hati. Nonton saja supaya bisa paham maksud saya ^_^
Sumber: youtube
Begitulah yang saya rasa ketika menonton film Alice Through The Looking Glass kemarin sore. Ceritanya dalam rangka JJS dengan jagoan, tertarik juga untuk menonton film ini. Apa lagi masih ada kursi di deretan atas dan harga tiket bioskop yang berada di pusat perbelanjaan tersebut pada hari Minggu masih bersahabat.
Walau menikmati kisah, tetap saja masih ada ganjalan mengenai film yang saya tonton. Seingat saya, kisahnya bukan seperti itu. Memang sangat paham, film dan buku berbeda. Tapi hal inti yang ada di buku justru tidak disentuh di film.
Seingat saya, kisah Alice yang ini melibatkan permainan catur (seluruh kehidupan di sana disesuaikan dengan cara bermain catur), perebutan kekuasaan antara Singa dan Unicorn, bunga yang bisa bicara dan sebagainya. Di film memang ada beberapa hal yang juga ada di buku tapi sangat berbeda. Papan catur hanya ditampilkan pada awal kisah saja, pasukan yang berbentuk sayuran merupakan pengikut musuh, begitulah
Oh ya review tentang buku tersebut dalam edisi bahasa Indonesia ada di sini. Sementara review buku yang dalam versi bahasa asing ada di sini. Eh tapi review tetap dalam bahasa lokal lho ^_^
Jadi penasaran. Sekali lagi sangat paham jika buku dan film itu berbeda, medianya saja berbeda. Namun sejauh mana perbedaan yang terjadi dan bagaimanakah pengaruh perbedaan tersebut pada isi kisah, sepertinya saya masih harus mencari referensi lagi.
Setelah beberapa saat berselanncar di web kantor, akhirnya Binggo! Menemukan sebuah buku yang sepertinya cocok dengan kebutuhan saya. Dengan nomor panggil 808.3 E, yang sepertinya bisa membantu saya menambah ilmu dan pemahaman mengenai perbedaan tersebut.
Judul asli: Novel dan Film
Penulis: Pamasuk Eneste
Halaman:74
Penerbit: Nusa Indah
Cetakan:Pertama-1991
Rating: 3.4/5
Semula, sebagian isi buku ini berasal dari skripsi yang
diajukan penulis guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Sastra UI
(sekarang FIB). Materi ini diterbitkan
guna menjawab akan kebutuhan informasi mengenai pemahaman novel dan film. Seiring
dengan banyaknya film yang merupakan adaptasi dari buku, tentunya kebutuhan
bacaan yang mengaitkan antara buku dan film
akan meningkat, sementara jumlah buku seperti itu masihlah jarang ada.
Jika ditelaah isi buku ini, sepertinya masih relevan untuk perkembangan saat
ini.
Film tentunya memiliki keterbatasan ruang dan teknis. Ada durasi yang harus dipertimbangkan. Untuk itu film biasanya mengambil alur tunggal. Keberhasilannya banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film seperti pengambilan dan penyusunan gambar, permainan bintang film, lokasi dan sebagainya.
Uraian kata serta dialog merupakan kunci dalam membuat sebuah novel. Sementara film lebih banyak memakai perlambang sebagai alat ucap. Tatapan mata pemain, musik yang mencekam, gerak-gerik pemain bisa membuat penonton tahu bahwa ia sedang mengalami ketakutan tanpa perlu berkata bahwa ia takut, seperti dalam buku.
Mengangkat sebuah kisah dalam buku menjadi film atau pelayarputihan/pemindahan sebuah novel ke dalam film disebut ekranisasi. Berasal dari kata ecran dari bahasa Perancis yang berarti layar. Pemindahan ini mau tidak mau, suka atau tidak suka akan berdampak pada berbagai perubahan. Bisa dikatakan bahwa ekranisasi merupakan sebuah proses perubahan. Tepatnya mengubah dunia kata-kata dalam buku menjadi dunia gambar dalam film. Mengubah imajinasi lingustik menjadi imajinasi visual.
Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini memberikan pencerahan bagi saya. Baiklah, setelah membaca ini saya makin merasa wajar jika sebuah film yang diambil dari sebuah novel berbeda dengan kisah asli novel tersebut. Mana yang lebih baik? Sepertinya bukan pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah. Semuanya berpulang pada diri masing-masing. Jika tidak bisa menerima perbedaan, maka pilih salah satu.
Tambahan ilmu soal penulisan novel tentunya juga saya peroleh dari buku ini. Demikian juga perihal film. Kalau terlihaat serupa, namun ternyata apa yang membentuk sebuah kisah dalam novel berbeda dengan apa yang membentuk sebuah kisah dalam film.
Jadi merasa jika seorang membuat review berbeda dengan yang lain, maka hal tersebut merupakan hal yang wajar. Karena poin yang ditangkap seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Asal tidak mengubah pakem kisah, berbeda tentunya merupakan hal yang wajar yang indah.
Sayangnya, saya tidak menemukan perbandingan antara kover buku dengan poster film serta kover buku setelah buku itu difilmkan lalu muncul versi edisi kover film. Pingin tahu saja, kenapa poster film berbeda dengan kover buku. Kenapa harus diganti kover film? Apakah tidak cukup dengan tulisan "Sudah diangkat ke layar lebar" di kover? Penasaran.
Terdapat juga wawancara dengan Sjuman Djaya, tokoh dunia film mengenai fenomena film yang diangkat dari buku. Sjuman Djaya menjadi sutradara untuk film yang mengangkat novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan pada tahun 1949. Film tersebut beredar sekitar tahun 1979 dengan pemain Deddy Sutomo, Christine Hakim, Emmy Salim, Kusno Sudjarwadi, dan Farouk Afero. Walau sempat ditolak oleh badan sensor, namun bisa dikatakan ini merupakan karya Sjuman Djaya yang paling terkenal.
Link berikut memuat mengenai daftar isi buku ini bagi yang tertarik.
Sebuah kalimat yang sangat bijak layak dikutip dari buku ini,
Novel dan film mempunyai bahasa, hukum, ukuran, dan nilai tersendiri. Oleh karena itu, tidaklah relevan mengatakan: sebuah novel lebih bagus atau lebih buruk daripada filmnya, apabila suatu waktu novel tersebut difilmkanOh ya, yang tergoda ingin tahu perihal buku yang akan segera diangkat ke layar lebar bisa meluncur ke link berikut. Jika ingin mengetahui karya anak bangsa yang difilmkan tahun 2015, silahkan ke sini.
Jadi, film yang saya tonton kemarin sebenarnya...
Ya...... gitulah. Meski terpesona dengan suguhan animasi keren lan mantap, sepertinya saya lebih menyukai versi buku cetak untuk kisah Alice Through The Looking Glass .
Eh tapi pesan moral yang terkandung pada film lebih makjleb dari pada buku. Berbohong bisa berakibat panjang. Saya mendadak menjadi kasihan pada sosok yang selama ini jahat, dan kesal dan marah pada sosok yang selama ini digambarkan baik dan tertindah. Jelas, ada hubungan sebab-akibat yang membuat seseorang menjadi jahat dan kejam, atau menjadi baik hati. Nonton saja supaya bisa paham maksud saya ^_^
Sumber: youtube
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau