Judul asli: Cara Berbahagia Tanpa Kepala
Penulis: Triskaidekaman
Penyunting: Teguh Afandi
ISBN: 9786020629933
Halaman: 300
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 78.000
Rating: 3.75/5
"Itulah kehebatan program kami. Tadi sore kan Tuan menjalani prosedur pencadangan. Pokoknya kandar kilas merah itu jangan sampai hilang. Selama kandar kilas merah itu masih berfungsi, Tuan masih bisa lihat, dengar, bicara, berpikir."
"Berpikir juga? Yang di dengkul dan selangkangan itu, apa?"
"Itu cadangan kalau Tuan kehilangan segalanya."
"Tahan berapa-"
"Cuma dua belas jam."
"Jadi dalam dua belas jam saya harus...."
"Menemukan kembali kepala Tuan. Kalau tidak, fungsi otak di selangkangan dan dengkul itu akan hilang, maka Tuan akan...."
~Cara Berbahagia Tanpa Kepala, halaman 31~
Satu lagi karya anak bangsa yang layak diperhitungkan. Setelah keseruan dengan Buku Panduan Matematika Terapan, Triskaidekaman muncul dengan ide nyeleneh tentang pencopotan kepala. Oh ya, komentar sederhana tentang Buku Panduan Matematika Terapan bisa dintip di sini.
Ingat salah satu bagian kisah dalam Harry Potter? Ketika Pak Kepala Sekolah Dumbledore menempelkan tongkat sihir ke kening lalu semacam ingatan ditarik keluar dan dipindahkan ke tempat lain? Bagian tersebut langsung muncul dalam memori saya ketika membaca judul buku ini.
Buku ini berkisah tentang seorang pria bernama Sempati, yang merasa mencopot kepala adalah solusi terbaik guna menyelesaikan semua masalah rumit yang ia hadapi. Mulai dari atasan yang semena-mena, ibu yang memiliki selingkuhan dan meninggalka ia sebatang kara, ayah yang memiliki profesi membetulkan jam, hingga ketidakjelasan masa depan. Agar hidup lebih ringan, ia merasa mencopot kepalanya walau sesaat, akan membuatnya mampu menjalani hidup lebih mudah.
Menurutnya begitu, ternyata. kenyataannya tidak demikian. Proses pencopotan kepalanya saja membutuhkan prosedur yang lumayan banyak, belum resiko kepala tak bisa dipasang lagi atau hilang, bisa juga alat menyimpan cadangan memori mendadak rusak.
Ternyata meski ada brosur yang memberikan informasi tentang prosedur pencopotan kepala, ternyata hal tersebut dianggap legal. Tak heran jika Simpati mendapat instruksi tegas jangan sampai bertemu polisi ketika berkeliaran dengan badan tanpa kepala. Wduh!
Tapi siapa yang tak tergoda jika diiming-imingi kebahagian? Mencopot kepala berarti memutus hubungan antara badan dengan otak, memutus memori dan pikiran yang bisa membuat hidup menjadi rumit dan tak membahagiakan. Jika dengan mencopot kepala sama dengan menghilangkan sesaat keruwetan otak dan membuat bahagia, layak dicoba.
Lalu bagaimana nasib Sempati selanjutnya? Dari blurd jelas ia sudah mengikuti proses pencopotan kepala, lalu selanjutnya apa? Kisah bagaimana kehidupan Sempati ketika kepalanya copot dan apa yang menyebabkan ia begitu ingin melakukannya akan mengajak pembaca menyelami imajinasi liar penulis.
Kisah tentang Sempati dan kepalanya terdiri dari 5 bagian. Mulai dari Hilang, Buang, Kenang, Datang, dan terakhir Pulang. Sebuah keluarga yang tak bisa, menjalani hidup dengan cara yang luar bisa, menghasilkan kisah spektakuler dengan banyak permainan kata-kata. Untuk menikmati kisah yang (agak) tak biasa ini, pembaca harus melepaskan dirinya dari pakem kisah standar yang selama ini pernah dibaca.
Jika kita perhatikan pada bagian awal buku, penulis memberikan rekomendasi cara menikmati kisah. Bisa dikatakan ini merupakan salah satu dari keunikan yang ditawarkan oleh penulis. Jika ingin cara standar alias konvesional, bisa membaca dengan urutan I-II-III-IV-V. Maksudnya dibaca berurutan dari bab pertama hingga akhir.
Namun jika ingin menikmati dengan cara lain juga bisa. Buat mereka yang ingin bereksperimen, silakan membaca dengan urutan bab I-II-V-III-V, cara Eksperimental namanya. Terdapat 5 cara yang bisa dipilih sesuai gaya dan ketersediaan waktu membaca. Tak perlu khawatir! Meski dibaca dengan berbagai cara, tak akan mengubah inti kisah yang ingin disampaikan.
Sekedar iseng, saya mencoba membaca dengan dua cara. Pertama cara konvesional, tentunya untuk keperluan membuat semacam komentar pada blog. Selanjutnya sekedar untuk memuaskan rasa penasaran, saya coba membaca dengan metode cepat. Namanya juga Cepat, maka yang dibaca hanya bab III dan IV saja.
Jika ditelaah lebih lanjut, membeli buku ini berarti bisa mendapatkan 5 buah kisah sekaligus. Cukup efisiensi dibandingkan dengan harga yang dibandrol. Bayangkan jika Anda harus membeli 5 buah buku untuk mendapatkan 5 kisah, selain kumpulan cerpen tentunya. Selamat! Anda telah mengambil sebuah langkah bijak dalam membelanjakan uang!
Bagian yang mengisahkan bagaimana Sempati dituduh sebagai penyebab anak kandung pacar ibunya kehilangan tangan, mengingatkan saya pada kepercayaan yang diyakini masyarakat. Ada masyarakat yang percaya bahwa ibu yang sedang hamil rentan mengalami gangguan metafisis. Orang, kecuali keluarga terdekat dilarang menyentuh perut sang ibu. Apa lagi orang tak dikenal! Karena bisa berakibat sang bayi mengalami hal buruk.
Sempati yang bukan siapa-siapa dianggap lancang memegang perut istri dari selingkuhan ibunya (rumit ya). Ia dianggap menjadi penyebab anak tersebut kehilangan satu tangan sejak lahir. Pacar sang ibu tak terima anaknya lahir dengan kondisi demikian. Apalagi sang ibu kandung! Keduanya butuh sosok untuk disalahkan, siapa lagi calon tunggal jika bukan Sempati.
Sebenarnya, pembaca juga akan menemukan banyak sentilan-sentilan terkait kehidupan. Misalnya yang tertera di halaman 27, "Bagaimana rasanya tahu kapan tanggal kematian sendiri? Apakah dia merasa cemas, merasa takut, merasa dikejar, atau justru lebih bahagia?" Sindiran bagi mereka yang merasa putus asa hidup dan memutuskan ingin segera mengakhiri kehidupannya pada tanggal yang ia tentukan sendiri.
Tata letak yang bisa dikatakan unik juga menjadi daya tarik lain untuk membaca buku ini. Emosi pembaca seakan ikut diaduk-aduk ketika membaca kalimat yang dicetak dengan gaya tidak standar. Penasaran? Lihat saja tata letak yang ada di halaman 87,89, 108, 134, dan 286 untuk contoh.
Selain menyajikan hiburan melalui kisah ini, penulis juga melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya dalam penggunaan kata kandar kilas. Mungkin banyak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan kandar kilas. Pembaca yang kurang paham, akan merasa kebingungan ketika membaca istilah tersebut pada beberapa halaman, hingga penulis mencantumkan penjelasannya pada halaman 78.
"Saya baik-baik saja, Jar. Saya cuma minta kandar kilas saya dibetulkan."
"Apa itu kandar kilas?"
"flashdisk."
Lumayan dapat tambahan pengetahuan lagi bukan? Salah satu manfaat membaca karya penulis yang bermutu he he he.
Kecintaan penulis pada buku dan perpustakaan, maski tak perlu diragukan lagi, tercermin di halaman 141.
"Oke, lanjut. Kita juga sudah punya lima belas petak toilet, lima warung, tiga restoran, dua kedai kopi, dua supermarket, dua warnet, satu salon, satu tempat pemandian umum, setengah perpustakaan, dan setengah toko buku."
"Setengah?"
"Kepala-kepala putus itu tak pernah banyak-banyak membaca. Penuh-penuhin kepala mereka saja. Makin tahu makin lupa. Buat apa?"
Secara garis besar, kisah ini cocok dibaca untuk kalangan. Meski demikian, agar khawatir juga sebenarnya saya ketika menemukan batas aman membaca buku ini, 18+ alias 18 tahun keatas. Sepertinya saya yang terlalu memandang rendah nalar remaja saat ini. Mungkinkan usia 18 tahun Sudah mampu menyerap dan memisahkan mana fiksi dan kenyataan dalam kisah ini.
Seperti umumnya buku lain, saya jugo punya kata favorit dari buku ini. Kalimat tersebut ada di halaman 275,"Tidak semua hal di dunia ini punya alasan, kan? Beberapa hal terjadi begitu saja. Dengan atau tanpa alasan, hal itu terjadi."
Tak sabar menikmati kisah selanjutnya.
Sumber gambar:
1. FB Penulis
2. Buku Cara Berbahagia Tanpa Kepala
Penulis: Triskaidekaman
Penyunting: Teguh Afandi
ISBN: 9786020629933
Halaman: 300
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 78.000
Rating: 3.75/5
"Itulah kehebatan program kami. Tadi sore kan Tuan menjalani prosedur pencadangan. Pokoknya kandar kilas merah itu jangan sampai hilang. Selama kandar kilas merah itu masih berfungsi, Tuan masih bisa lihat, dengar, bicara, berpikir."
"Berpikir juga? Yang di dengkul dan selangkangan itu, apa?"
"Itu cadangan kalau Tuan kehilangan segalanya."
"Tahan berapa-"
"Cuma dua belas jam."
"Jadi dalam dua belas jam saya harus...."
"Menemukan kembali kepala Tuan. Kalau tidak, fungsi otak di selangkangan dan dengkul itu akan hilang, maka Tuan akan...."
~Cara Berbahagia Tanpa Kepala, halaman 31~
Satu lagi karya anak bangsa yang layak diperhitungkan. Setelah keseruan dengan Buku Panduan Matematika Terapan, Triskaidekaman muncul dengan ide nyeleneh tentang pencopotan kepala. Oh ya, komentar sederhana tentang Buku Panduan Matematika Terapan bisa dintip di sini.
Ingat salah satu bagian kisah dalam Harry Potter? Ketika Pak Kepala Sekolah Dumbledore menempelkan tongkat sihir ke kening lalu semacam ingatan ditarik keluar dan dipindahkan ke tempat lain? Bagian tersebut langsung muncul dalam memori saya ketika membaca judul buku ini.
Buku ini berkisah tentang seorang pria bernama Sempati, yang merasa mencopot kepala adalah solusi terbaik guna menyelesaikan semua masalah rumit yang ia hadapi. Mulai dari atasan yang semena-mena, ibu yang memiliki selingkuhan dan meninggalka ia sebatang kara, ayah yang memiliki profesi membetulkan jam, hingga ketidakjelasan masa depan. Agar hidup lebih ringan, ia merasa mencopot kepalanya walau sesaat, akan membuatnya mampu menjalani hidup lebih mudah.
Menurutnya begitu, ternyata. kenyataannya tidak demikian. Proses pencopotan kepalanya saja membutuhkan prosedur yang lumayan banyak, belum resiko kepala tak bisa dipasang lagi atau hilang, bisa juga alat menyimpan cadangan memori mendadak rusak.
Ternyata meski ada brosur yang memberikan informasi tentang prosedur pencopotan kepala, ternyata hal tersebut dianggap legal. Tak heran jika Simpati mendapat instruksi tegas jangan sampai bertemu polisi ketika berkeliaran dengan badan tanpa kepala. Wduh!
Tapi siapa yang tak tergoda jika diiming-imingi kebahagian? Mencopot kepala berarti memutus hubungan antara badan dengan otak, memutus memori dan pikiran yang bisa membuat hidup menjadi rumit dan tak membahagiakan. Jika dengan mencopot kepala sama dengan menghilangkan sesaat keruwetan otak dan membuat bahagia, layak dicoba.
Lalu bagaimana nasib Sempati selanjutnya? Dari blurd jelas ia sudah mengikuti proses pencopotan kepala, lalu selanjutnya apa? Kisah bagaimana kehidupan Sempati ketika kepalanya copot dan apa yang menyebabkan ia begitu ingin melakukannya akan mengajak pembaca menyelami imajinasi liar penulis.
Kisah tentang Sempati dan kepalanya terdiri dari 5 bagian. Mulai dari Hilang, Buang, Kenang, Datang, dan terakhir Pulang. Sebuah keluarga yang tak bisa, menjalani hidup dengan cara yang luar bisa, menghasilkan kisah spektakuler dengan banyak permainan kata-kata. Untuk menikmati kisah yang (agak) tak biasa ini, pembaca harus melepaskan dirinya dari pakem kisah standar yang selama ini pernah dibaca.
Jika kita perhatikan pada bagian awal buku, penulis memberikan rekomendasi cara menikmati kisah. Bisa dikatakan ini merupakan salah satu dari keunikan yang ditawarkan oleh penulis. Jika ingin cara standar alias konvesional, bisa membaca dengan urutan I-II-III-IV-V. Maksudnya dibaca berurutan dari bab pertama hingga akhir.
Namun jika ingin menikmati dengan cara lain juga bisa. Buat mereka yang ingin bereksperimen, silakan membaca dengan urutan bab I-II-V-III-V, cara Eksperimental namanya. Terdapat 5 cara yang bisa dipilih sesuai gaya dan ketersediaan waktu membaca. Tak perlu khawatir! Meski dibaca dengan berbagai cara, tak akan mengubah inti kisah yang ingin disampaikan.
Sekedar iseng, saya mencoba membaca dengan dua cara. Pertama cara konvesional, tentunya untuk keperluan membuat semacam komentar pada blog. Selanjutnya sekedar untuk memuaskan rasa penasaran, saya coba membaca dengan metode cepat. Namanya juga Cepat, maka yang dibaca hanya bab III dan IV saja.
Jika ditelaah lebih lanjut, membeli buku ini berarti bisa mendapatkan 5 buah kisah sekaligus. Cukup efisiensi dibandingkan dengan harga yang dibandrol. Bayangkan jika Anda harus membeli 5 buah buku untuk mendapatkan 5 kisah, selain kumpulan cerpen tentunya. Selamat! Anda telah mengambil sebuah langkah bijak dalam membelanjakan uang!
Sempati yang bukan siapa-siapa dianggap lancang memegang perut istri dari selingkuhan ibunya (rumit ya). Ia dianggap menjadi penyebab anak tersebut kehilangan satu tangan sejak lahir. Pacar sang ibu tak terima anaknya lahir dengan kondisi demikian. Apalagi sang ibu kandung! Keduanya butuh sosok untuk disalahkan, siapa lagi calon tunggal jika bukan Sempati.
Sebenarnya, pembaca juga akan menemukan banyak sentilan-sentilan terkait kehidupan. Misalnya yang tertera di halaman 27, "Bagaimana rasanya tahu kapan tanggal kematian sendiri? Apakah dia merasa cemas, merasa takut, merasa dikejar, atau justru lebih bahagia?" Sindiran bagi mereka yang merasa putus asa hidup dan memutuskan ingin segera mengakhiri kehidupannya pada tanggal yang ia tentukan sendiri.
Tata letak yang bisa dikatakan unik juga menjadi daya tarik lain untuk membaca buku ini. Emosi pembaca seakan ikut diaduk-aduk ketika membaca kalimat yang dicetak dengan gaya tidak standar. Penasaran? Lihat saja tata letak yang ada di halaman 87,89, 108, 134, dan 286 untuk contoh.
Selain menyajikan hiburan melalui kisah ini, penulis juga melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya dalam penggunaan kata kandar kilas. Mungkin banyak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan kandar kilas. Pembaca yang kurang paham, akan merasa kebingungan ketika membaca istilah tersebut pada beberapa halaman, hingga penulis mencantumkan penjelasannya pada halaman 78.
"Saya baik-baik saja, Jar. Saya cuma minta kandar kilas saya dibetulkan."
"Apa itu kandar kilas?"
"flashdisk."
Lumayan dapat tambahan pengetahuan lagi bukan? Salah satu manfaat membaca karya penulis yang bermutu he he he.
Kecintaan penulis pada buku dan perpustakaan, maski tak perlu diragukan lagi, tercermin di halaman 141.
"Oke, lanjut. Kita juga sudah punya lima belas petak toilet, lima warung, tiga restoran, dua kedai kopi, dua supermarket, dua warnet, satu salon, satu tempat pemandian umum, setengah perpustakaan, dan setengah toko buku."
"Setengah?"
"Kepala-kepala putus itu tak pernah banyak-banyak membaca. Penuh-penuhin kepala mereka saja. Makin tahu makin lupa. Buat apa?"
Secara garis besar, kisah ini cocok dibaca untuk kalangan. Meski demikian, agar khawatir juga sebenarnya saya ketika menemukan batas aman membaca buku ini, 18+ alias 18 tahun keatas. Sepertinya saya yang terlalu memandang rendah nalar remaja saat ini. Mungkinkan usia 18 tahun Sudah mampu menyerap dan memisahkan mana fiksi dan kenyataan dalam kisah ini.
Seperti umumnya buku lain, saya jugo punya kata favorit dari buku ini. Kalimat tersebut ada di halaman 275,"Tidak semua hal di dunia ini punya alasan, kan? Beberapa hal terjadi begitu saja. Dengan atau tanpa alasan, hal itu terjadi."
Tak sabar menikmati kisah selanjutnya.
Sumber gambar:
1. FB Penulis
2. Buku Cara Berbahagia Tanpa Kepala
Buku pertamanya belum baca. Ada buku ini pula. Dari judulnya terkesan berat. Tapi patut dicoba nih, hehe
BalasHapusRingan...., coba baca
Hapus