Sudah jelas!
Salah satu manfaat dari sering-sering menengok ke area bookswap saat IRF berlangsung adalah untuk menemukan harta karun bagi para jadulers. Wujudnya apa lagi jika bukan buku buluk, buku yang dibaca saat remaja, usianya sudah lama. Serta secara otomatis wujudnya tidak bisa dikatakan dalam kondisi baik, minimal layak baca. Salah satunya buku berikut yang saya peroleh dari Pra, Mr 63 salah satu sahabat dari GRI Semarang.
Halaman: 144
Cetakan: Pertama-September 1984
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Trio Tifa merupakan kepanjangan dari Tress, Iwon serta Fia. Tiga remaja dengan
latar belakang sosial yang berbeda satu dengan lainnya. Ketiganya bersahabat erat dengan mengabaikan
perbedaan yang ada diantara mereka. Justru perbedaan tersebut membuat mereka saling melengkapi.
Buku ini pernah saya miliki saat SMP atau awal SMA (ketahuan jadulers banget). Seperti biasa, dipinjam dan raib. Kemarin, saat IRF 2015 kembali berjodoh dengan kisah ini.
Buku ini pernah saya miliki saat SMP atau awal SMA (ketahuan jadulers banget). Seperti biasa, dipinjam dan raib. Kemarin, saat IRF 2015 kembali berjodoh dengan kisah ini.
Kisahnya sebenarnya sangat sederhana, tapi cukup mendebarkan
karena melibatkan tokoh yang masih berusia belia. Suatu malam, tanpa sengaja Tress melanggar
pesan papanya untuk tidak membuka pintu rumah.
Pintu yang terbuka dijadikan kesempatan untuk seorang pemuda
yang sedang diburu masyarakat banyak untuk bersembunyi. Hal itu membuat rumahnya menjadi amukan
orang, dilempari batu-batu.
Peristiwa tersebut ternyata terkait dengan sebuah komplotan
dan peperangan antar kelompok yang terkenal kejam. Pemuda itu terseret
dalam kancah perkelahian tanpa sengaja, karena memiliki tato yang dianggap sebagai lambang sebuah kelompok. Demikian juga dengan Trio Tifa, karena ingin menyelamatkan si pemuda, mereka terseret dalam bahaya.
Tindakan ketiga anak tersebut kadang melewati batas antara tugas wartawan dan detektif. Mereka bukan lagi mencari bahan tulisan untuk dimuat dijadikan artikel tapi detektif yang sedang memecahkan kasus.
Meski namanya cerita, tapi perlu juga dibuat mendekati kehidupan nyata. Saya agak meragukan dalam kehidupan nyata ada anak-anak seperti mereka. Apa yang mereka lakukan bisa menganspirasi para pelajar lainnya. Untuk itu harus berhati-hati dalam bercerita agar tidak dijadikan panutan yang salah bagi remaja lainnya.
Tindakan ketiga anak tersebut kadang melewati batas antara tugas wartawan dan detektif. Mereka bukan lagi mencari bahan tulisan untuk dimuat dijadikan artikel tapi detektif yang sedang memecahkan kasus.
Meski namanya cerita, tapi perlu juga dibuat mendekati kehidupan nyata. Saya agak meragukan dalam kehidupan nyata ada anak-anak seperti mereka. Apa yang mereka lakukan bisa menganspirasi para pelajar lainnya. Untuk itu harus berhati-hati dalam bercerita agar tidak dijadikan panutan yang salah bagi remaja lainnya.
Bagian yang saya paling kagumi adalah saat Tress mengarahkan pria yang masuk begitu saja ke rumahnya menuju pintu Jaka Tarub. Pintu itu sebenarnya pintu biasa, letaknya menghadap ke ruang tamu. Karena posisinya terlihat setiap orang yang berada di ruang tamu serta mengganggu pemandangan, maka papa Tress berkeinginan untuk melakukan sedikit modifikasi. Lubang angin ditutup, kusennya ditanam kedalam tembok. Daun pintunya diganti dengan relief bergambar Jaka Tarub dari kayu jati dipelitur merah tua kehitam-hitaman. Cara membukanya juga butuh pengetahuan khusus, tidak bisa dengan didorong saja.
Memiliki sebuah ruangan rahasia sepertinya merupakan ide yang menggoda. Saya jadi ingin memiliki sebuah ruangan rahasia dimana saya bisa menyendiri tanpa diganggu. Isinya, apa lagi jika bukan koleksi buku-buku saya.
Ketiga anak remaja itu, merupakan gambaran sosok yang
menjadi idaman saya. Pengarang, wartawan cilik dan seorang fotografer
muda. Ditambah dengan sosok papa pemilik
Koran besar, jelas menjadi kehidupan impian saya he he he.
Buku ini pastinya juga memuat sepenggal kegiatan kehidupan sehari-hari, misalnya terkait urusan uang. Bagian yang membuat saya agak tertawa adalah saat menyebutkan sejumlah rupiah, Maklum buku ini terbit tahun 1984. Dimana angka tukar rupiah saat itu berbeda dengan saat ini. Jadi bisa dibayangkan betapa lebarnya senyum saya saat membaca bahwa uang komisi penjual yang diterima Fia sebesar seribu lima ratus. Saat buku ini terbit, tentunya sangat besar nilainya.
Pesan moral tentunya ada, melanggar pesan orang tua bisa berakibat buruk bagi diri kita serta orang lain. Meskipun dilakukan tanpa sengaja. Untuk itu, kita harus lebih waspada dalam bersikap. Jangan sampai melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
Serial Tifa ini terdiri dari empat seri.Dari Potret Bromocorah, Tato Gambar Naga, Tiga Sandera, serta Menculik Sang Pematung. Berharap kelak serial ini bisa dicetak ulang seperti kisah-kisah lawas lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar