Penulis: Djokolelono
Penyunting: Pradikha Bestari
Perancang sampul & ilustrasi: Amna Oriana
Penata letak isi: Teguh Tri Erdyan
ISBN: 9789799107770
Halaman: 128
Penerbit: Kiddo
Harga: Rp 30.000
Bermula dari keisengan mengisi waktu sambil menunggu hujan berhenti, Ardha dan Adi membongkar aneka barang yang ada di gudang. Salah satu peti berisi barang-barang titipan Mijnheer Niko berupa barang-barang dari Papua untuk museum. Mijnheer Niko sempat tinggal beberapa waktu di Wamena. Sebuah Tifa tua menarik perhatian keduanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Adi menabuh Tifa tanpa bisa berhenti, sementara tangan dan kaki Ardha bergerak mengikuti suara Tifa tanpa bisa berhenti. Keduanya seakan kerasukan.
Mendadak muncul kabut putih dan keduanya sudah berada di antara hutan Papua sekitar tahun 1800-an. Mereka sedang melihat sebuah ekspedisi Belanda. Kejadian tersebut berulang beberapa kali. Dan setiap kali mereka melihat suatu peristiwa yang terkait dengan ekspedisi tersebut, akan ada kejadian yang mirip terjadi dalam kehidupan keduanya. Seakan-akan Tifa tersebut memberikan pertanda.
Tifa tua tersebut ternyata bukan sembarang Tifa. Ada sebuah kisah yang tersembunyi di balik keberadaannya. Kisah yang terkait dengan sebuah ekspedisi, pencurian benda yang dianggap keramat oleh penduduk, hingga mimpi dikejar oleh orang hitam.
Kisah ini sebenarnya pernah diterbitkan pada tahun 1972 dengan judul Genderang Perang dari Wamena. Edisi ini merupakan revisi dari kisah tersebut.
Secara keselurahan kisah ini cocok untuk anak-anak. Tidak saja mengandung unsur petualangan yang disukai anak-anak, ada pesan moral untuk mencintai kebudayaan di tanah air.
Buku ini memperkenalkan Tifa pada anak-anak yang selama ini tidak atau belum mengetahui apa itu Tifa. Tifa merupakan alat musik mirip dengan gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknyapun biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki Tifa dengan ciri khas nya masing-masing. Semacam ensiklopedi mini di akhir buku merupakan hal yang sangat bagus.
Dari sisi bahasa, agak sedikit tidak pas untuk anak-anak pada beberapa bagian. Mungkin karena salah satu tokoh, Ardha digambarkan sebagai anak yang belum cukup fasih berbahasa Indonesia. Selama ini ia mempergunakan bahasa Belanda. Bahasa yang dipergunakan oleh Ardha menjadi agak kaku dan seperti bukan bahasa yang dipergunakan oleh anak-anak seusianya.
Sosok ayah Ardha yang dengan mudahnya meminjamkan dokumen tentang ekspedisi agak mengherankan. Jika itu dokumen berharga tentunya tidak bijaksana membiarkan menjadi bacaan seorang anak SD. Namun andai hanya sekedar dokumen, apalah wajar ada anak SD yang begitu tertarik pada sebuah dokumen meski itu.
Untuk urusan kover, sepertinya wajah anak yang berada dalam kover memang sengaja dibuat dengan ekspresi wajah yang datar seakan tidak ada perasaan, mungkin dimaksudkan guna menggambarkan suasana mencekan dalam kisah yang ada dalam buku ini. Anggaplah sudah menjadi semacam pakem. Saat melihat kover dengan gambar wajah anak yang tidak ada ekspresi maka bisa dianggap itu adalah seri Weird and Wicked Series
Menurut sang penulis, kisah ini terinspirasi dari salah satu puisi Chairil Anwar yang dibuat tahun 1946. Puisi tersebut berjudul Cerita buat Dien Tamaela,
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Eyang yang satu ini memang unik. Selain memperkenalkan Tifa juga memperkenalkan Chairil Anwar secara tidak langsung pada anak-anak pembaca buku ini. Bahkan pada bagian Profil Penulis, alih-alih memasang fotonya beliau malah memasang wajah seorang Papu lengkap dengan riasan.
Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Fumeripits
Penyunting: Pradikha Bestari
Perancang sampul & ilustrasi: Amna Oriana
Penata letak isi: Teguh Tri Erdyan
ISBN: 9789799107770
Halaman: 128
Penerbit: Kiddo
Harga: Rp 30.000
Bermula dari keisengan mengisi waktu sambil menunggu hujan berhenti, Ardha dan Adi membongkar aneka barang yang ada di gudang. Salah satu peti berisi barang-barang titipan Mijnheer Niko berupa barang-barang dari Papua untuk museum. Mijnheer Niko sempat tinggal beberapa waktu di Wamena. Sebuah Tifa tua menarik perhatian keduanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Adi menabuh Tifa tanpa bisa berhenti, sementara tangan dan kaki Ardha bergerak mengikuti suara Tifa tanpa bisa berhenti. Keduanya seakan kerasukan.
Mendadak muncul kabut putih dan keduanya sudah berada di antara hutan Papua sekitar tahun 1800-an. Mereka sedang melihat sebuah ekspedisi Belanda. Kejadian tersebut berulang beberapa kali. Dan setiap kali mereka melihat suatu peristiwa yang terkait dengan ekspedisi tersebut, akan ada kejadian yang mirip terjadi dalam kehidupan keduanya. Seakan-akan Tifa tersebut memberikan pertanda.
Tifa tua tersebut ternyata bukan sembarang Tifa. Ada sebuah kisah yang tersembunyi di balik keberadaannya. Kisah yang terkait dengan sebuah ekspedisi, pencurian benda yang dianggap keramat oleh penduduk, hingga mimpi dikejar oleh orang hitam.
Kisah ini sebenarnya pernah diterbitkan pada tahun 1972 dengan judul Genderang Perang dari Wamena. Edisi ini merupakan revisi dari kisah tersebut.
Secara keselurahan kisah ini cocok untuk anak-anak. Tidak saja mengandung unsur petualangan yang disukai anak-anak, ada pesan moral untuk mencintai kebudayaan di tanah air.
Buku ini memperkenalkan Tifa pada anak-anak yang selama ini tidak atau belum mengetahui apa itu Tifa. Tifa merupakan alat musik mirip dengan gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknyapun biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki Tifa dengan ciri khas nya masing-masing. Semacam ensiklopedi mini di akhir buku merupakan hal yang sangat bagus.
Dari sisi bahasa, agak sedikit tidak pas untuk anak-anak pada beberapa bagian. Mungkin karena salah satu tokoh, Ardha digambarkan sebagai anak yang belum cukup fasih berbahasa Indonesia. Selama ini ia mempergunakan bahasa Belanda. Bahasa yang dipergunakan oleh Ardha menjadi agak kaku dan seperti bukan bahasa yang dipergunakan oleh anak-anak seusianya.
Sosok ayah Ardha yang dengan mudahnya meminjamkan dokumen tentang ekspedisi agak mengherankan. Jika itu dokumen berharga tentunya tidak bijaksana membiarkan menjadi bacaan seorang anak SD. Namun andai hanya sekedar dokumen, apalah wajar ada anak SD yang begitu tertarik pada sebuah dokumen meski itu.
Untuk urusan kover, sepertinya wajah anak yang berada dalam kover memang sengaja dibuat dengan ekspresi wajah yang datar seakan tidak ada perasaan, mungkin dimaksudkan guna menggambarkan suasana mencekan dalam kisah yang ada dalam buku ini. Anggaplah sudah menjadi semacam pakem. Saat melihat kover dengan gambar wajah anak yang tidak ada ekspresi maka bisa dianggap itu adalah seri Weird and Wicked Series
Menurut sang penulis, kisah ini terinspirasi dari salah satu puisi Chairil Anwar yang dibuat tahun 1946. Puisi tersebut berjudul Cerita buat Dien Tamaela,
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kurim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Eyang yang satu ini memang unik. Selain memperkenalkan Tifa juga memperkenalkan Chairil Anwar secara tidak langsung pada anak-anak pembaca buku ini. Bahkan pada bagian Profil Penulis, alih-alih memasang fotonya beliau malah memasang wajah seorang Papu lengkap dengan riasan.
Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Fumeripits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar