Penyunting: Kurnia Efendi
Halaman: 355
Penerbit: Penerbit Hikmah Memoar (PT Mizan Publika)
Cetakan I: April 2009
Kalau nanti aku meninggal aku pasti ingin masuk surga. Aku ingin bisa makan apa saja karena di sini makananku sangat dibatasi dan sering merasa sakit. Aku ingin tak merasa sakit lagi
Sepenggal kalimat yang dikutip dari Buku Huda, Bidadari Cinta Kami, mampu membuat beberapa mata menintikkan air saat mendengarkannya. Kutipan itu dibacakan dengan penuh perasaan oleh Bung Andy untuk acara Kick Andy. Beberapa tangan terlihat mulai menghapus air mata yang menetes perlahan saat mendengar Siti Darojah, selaku mengarang menceritakan kisah yang dimuat dalam buku ini.
Para menggemar buku mungkin sudah memahami bahwa buku-buku terbitan Hikmah Memoar adalah buku-buku yang bercerita mengenai kisah-kisah nyata dan biografi menakjubkan, mengejutkan,sekaligus menginspirasi dan mencerahkan.
Buku kali ini, yang berjudul Huda, Bidadari Cinta Kami adalah sebuah buku berisi perjuangan seorang gadis muda belia bernama Huda Rosdiana Biarawati akibat kebocoran ginjal, dikenal juga dengan infeksi ginjal. Penulis buku, Siti Darojah adalah kakak kandungnya. Sementara donor ginjalnya diperoleh dari kakaknya sendiri Afaf.
Keapikan sang ayah, H. Ahmad Dzinnun dalam hal mendokumentasikan riwayat kesehatan Huda, sangat membantu penulisan buku ini. Sang ayah bahkan mencatat perincian seperti tanggal berobat, siapa yang mengantar serta menyimpan semua kartu berobat. Walau cerita kenangan yang disampaikan sang ibu, HJ Maswani juga tidak kecil perannya.
Sang kakak, yang juga wartawan sebuah harian yang berkantor di kawasan warung buncit, dengan piawi mampu membuat kita seakan-akan adalah keluarga besar Huda. Tutur kata yang disampaikannya membuat hati bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Saya sendiri harus beberapa kali meletakkan buku ini saat perasaan yang mengharu biru mulai menerjang. Butuh waktu beberapa lama untuk menuntaskan buku ini, bukan karena ceritanya namun karena perasaan yang ikut terbawa.
Huda kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga besar yang religius dan saling menyayangi. Sebagai anak bungsu, Huda bisa dikatakan mendapat banyak limpahan kasih sayang dari saudaranya. Apalagi usianya dengan para keponakannya tidak terlalu jauh, sehingga Huda memiliki banyak teman bermain.
Sejak di vonis menderita kebocoran ginjal, entah berapa kali Huda harus cuci darah.Berapa kali ia harus masuk rumah sakit akibat efek obat-obatan yang diminumnya. Kehidupannya juga berubah total. Huda tidak bisa makan sembarangan,minum semaunya. Bahkan pencabutan giginya pun nyaris berakibat fatal bagi jiwanya. Belum lagi halusinasi yang dideritanya, kian membuat hidup Huda kian menderita.
Keapikan sang ayah, H. Ahmad Dzinnun dalam hal mendokumentasikan riwayat kesehatan Huda, sangat membantu penulisan buku ini. Sang ayah bahkan mencatat perincian seperti tanggal berobat, siapa yang mengantar serta menyimpan semua kartu berobat. Walau cerita kenangan yang disampaikan sang ibu, HJ Maswani juga tidak kecil perannya.
Sang kakak, yang juga wartawan sebuah harian yang berkantor di kawasan warung buncit, dengan piawi mampu membuat kita seakan-akan adalah keluarga besar Huda. Tutur kata yang disampaikannya membuat hati bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Saya sendiri harus beberapa kali meletakkan buku ini saat perasaan yang mengharu biru mulai menerjang. Butuh waktu beberapa lama untuk menuntaskan buku ini, bukan karena ceritanya namun karena perasaan yang ikut terbawa.
Huda kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga besar yang religius dan saling menyayangi. Sebagai anak bungsu, Huda bisa dikatakan mendapat banyak limpahan kasih sayang dari saudaranya. Apalagi usianya dengan para keponakannya tidak terlalu jauh, sehingga Huda memiliki banyak teman bermain.
Sejak di vonis menderita kebocoran ginjal, entah berapa kali Huda harus cuci darah.Berapa kali ia harus masuk rumah sakit akibat efek obat-obatan yang diminumnya. Kehidupannya juga berubah total. Huda tidak bisa makan sembarangan,minum semaunya. Bahkan pencabutan giginya pun nyaris berakibat fatal bagi jiwanya. Belum lagi halusinasi yang dideritanya, kian membuat hidup Huda kian menderita.
Yang menarik dari buku ini buat saya bukan bagaimana ketabahan Huda dalam usia yang belia harus bolak-balik ke rumah sakit. bagaimana ia menahan sakit saat harus menerima jarum di tubuhnya. Atau bagaimana perjuangan keluarganya mencari obat yang terjangkau, hingga bagaimana proses transplantasi.
Namun yang membuat menarik adalah mengetahui sikap keluarga menerima cobaan ini. Bagaimana seluruh keluarga menjadikan apa yang di derita Huda sebagai penderitaan seluruh keluarga besar, menjadikan apa yang dihadapi Huda sebagai masalah bersama. Mulai dari kedua orang tua, kakak, kakak ipar, keponakan hingga para tetangga.
Bagaimana Allah SWT memberikan karunia dengan cara-NYA sendiri, menyelamatkan sang kakak dari perampokan saat membawa uang untuk berobat Huda, hingga mengatur rejeki mendapat kesempatan naik haji walau kondisi kesehatan Huda sedang menurun.
Bagaimana para kakak dengan berbesar hati mau mengalah untuk Huda. Menjadikan kamar Huda sebagai kamar yang paling nyaman di rumah. Merelakan waktu, tenaga bahkan keuangan demi sang adik. Terpenting, merelakan sebagian dirinya, ginjalnya untuk menyambung nyawa sang adik. Bagi seluruh keluarga Huda adalah pusat lingkaran kegiatan.
Demi membuat Huda hidup normal kembali, sang kakak bahkan rela mengantarkannya mencari kampus baru, setelah mengundurkan diri dari perkuliahannya di UI . Sang kakak rela menemaninya berputar mencari kampus yang sesuai dengan kondisi diri Huda.
Bagaimana para kakak dengan berbesar hati mau mengalah untuk Huda. Menjadikan kamar Huda sebagai kamar yang paling nyaman di rumah. Merelakan waktu, tenaga bahkan keuangan demi sang adik. Terpenting, merelakan sebagian dirinya, ginjalnya untuk menyambung nyawa sang adik. Bagi seluruh keluarga Huda adalah pusat lingkaran kegiatan.
Demi membuat Huda hidup normal kembali, sang kakak bahkan rela mengantarkannya mencari kampus baru, setelah mengundurkan diri dari perkuliahannya di UI . Sang kakak rela menemaninya berputar mencari kampus yang sesuai dengan kondisi diri Huda.
Kelonggaran yang diberikan Kampus perlu diacungi jempol. Huda mendapat semangat hidup yang baru di Kampus Dharma Persada. Berteman, bergaul dan belajar sejenak bisa melupakan kesedihan akan kondisinya.
Setelah Huda meninggal Senin, 15 Januari 2007 sekitar pukul 07.00 WIB. Buku hariannya menarik perhatian keluarganya. Banyak hal yang tidak mereka ketahui. Huda ternyata pernah berhasil dirayu bergabung dalam NII sebelum berhasil meloloskan diri. Bagaimana perasaan Huda saat menjalani pengobatannya. Dan bagaimana buku menjadi sahabatnya.
Kalaupun ada kekurangan, hanyalah beberapa hal yang disebutkan beberapa kali. Misalnya menyebutkan pergi naik haji karena mendapat hadiah, uraiannya muncul beberapa kali sebagai pengulangan. Menulis kisah hidup yan memilukan memang ibarat membuka luka lama, mungkin sang penulis lupa telah menceritakan hal itu hingga tanpa sadar mengulangnya hingga beberapa kali.
Mungkin benar kata pepatah lama, " Kita tidak akan menghargai apa yang kita miliki sebelum kita kehilangannya". So... mulailah jaga kesehatan sejak saat ini
Terima kasih Buat Ayu yang tanpa disadarinya telah membawa buku ini ke hadapanku
Mungkin benar kata pepatah lama, " Kita tidak akan menghargai apa yang kita miliki sebelum kita kehilangannya". So... mulailah jaga kesehatan sejak saat ini
Terima kasih Buat Ayu yang tanpa disadarinya telah membawa buku ini ke hadapanku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar