Alih bahasa: Meggy Soedjatmiko
Editor: A. Mustik
ISBN: 9786020668826
Halaman: 672
Cetakan: Pertama-2023
Penerbit: Gramedia Pustaka
Harga: Rp 189.000
Rating: 4.25/5
Rin mengeraskan suara dan bicara, kali ini tanpa gemetar. "Pergilah dan katakan pada keluarga kalian mereka telah selamat. Beritahukan pada mereka bahwa orang-orang Mugen tak bisa lagi menyakiti kalian. Dan saat mereka bertanya siapa yang melepaskan belenggu kalian, katakan bahwa Koalisi Selatan sedang bergerak ke seluruh Kekaisaran dengan Phoenix di depan. Katakan pada mereka kita akan merebut kembali tanah air kita."
-Sang Dewi Api-
Pada buku pamungkas ini, pembaca akan diajak mengikuti bagaimana perjuangan Rin untuk memenangkan semua pertempuran yang ia hadapi. Tidak hanya bertempuran melawan musuh, tapi juga bagaimana memenangkan pergulatan dalam dirinya.
Apa yang dilakukan Rin, bagi sebagian penduduk mungkin dianggap merupakan salah satu jalan untuk bisa mati sebagai lelaki. Mati dalam upaya menjaga kehormatan wanita, penduduk desa, serta kedaulatan setempat. Tapi ada juga yang menganggap bahwa kepatuhan akan memberikan banyak kelonggaran. Dan cara yang ditempuh Rin justru akan mengakibatkan lebih banyak kerugian.
Kondisi Rin semakin menurun dibandingkan dari yang digambarkan pada buku kedua. Ditambah dengan pengkhiantan dari sekutunya, seakan semua kemampuan dan tenaga Rin dikuras habis. Meski sudah banyak kehilangan orang yang dicintai, Rin bertekat tak akan mundur hingga ia meraih kemenangan.
Jika dulu Rin harus berusaha keras menahan kemampuan membakarnya, pada buku ini ia mulai merasakan kenikmatan membumihanguskan apa saja yang ia mau.
Ia tak sungkan mengambil keputusan yang mengakibatkan nyawa penduduk sipil melayang, asalkan ia dan pasukannya bisa meraih kemenangan. Padahal sebelumnya ia sangat khawatir perang akan berdampak pada warga sipil. Rin layak mendapat julukan Sang Dewi Api karena kekuatan api yang ia hasilkan dari tangannya.
https://www.goodreads.com/ book/show/57507278-p-on-cy-b-g |
Mantan musuh yang kini menjadi sekutunya, Maharani, juga menganggap Rin tak perlu sungkan mengambil langkah yang dirasa perlu demi kemenangan.
"Berhentilah berpura-pura peduli soal etika. Itu memalukan. Di satu titik, kau bakal harus meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau berada di atas benar dan salah. Moralitas tidak berlaku untukmu."
Rin dalam buku ini bukanlah Rin yang lalu. Ia bukan sekedar gadis dari Akademi militer yang ada di Sinegard semata, atau seorang jendral. Rin seakan berupaya keras menunjukkan, bahwa walau hanya dengan satu tangan, ia masih bisa menciptakan api yang membara. Ia harus mampu bertahan! Rin selalu ingat pelajaran yang diberikan Altan, Mati itu gampang. Hidup jauh lebih berat. Duh ini sepertinya menjadi kalimat favorit saya.
Selain itu, Rin juga masih tidak mengizinkan dirinya untuk berpikir tentang syamanisme. Dengan demikian ia tak bisa melatih syaman-syaman baru. Padahal, keberadaan mereka bisa dikatakan sangat membantu kemenangan Rin selanjutnya. Kekuatan 1 syaman bisa menggantian lumayan banyak prajurit.
Rin mulai sadar, perang tidak akan berakhir dengan ia mengakhiri Federasi. Perang hanya terus menumpuk luka-luka kecil hingga akhirnya meledak menjadi luka baru yang menganga. Dan Rin memiliki luka baru yang menganga akibat setiap kali menjanjikan kesetian, malah dimanfaatkan dan mendapatkan pelecehan integritasnya!
Beberapa tokoh baru bermunculan, namun ada juga tokoh yang disebutkan meninggal dalam peperangan. Ada tokoh yang seakan bangkit dari kematian. Rin yang sudah tak tahu harus bagaimana, setuju untuk melakukan hal yang paling berbahaya, membangunkan Kaisar. Ia berharap bisa mendapatkan sekutu. Untunglah ia segera sadar, jika tidak, sama artinya ia mendapat satu lagi musuh.
https://www.goodreads.com/ book/show/62215997-yanan-tanr |
Meski dibaca perlahan-lahan, pada akhirnya akan selesai juga. Ternyata membaca buku ini membutuhkan waktu lebih lama dari yang saya perkirakan. Bukan soal ketebalannya, namun isi ceritanya yang seakan-akan membawa efek psikologis yang luar biasa.
Penulis dengan keahliannya meramu kata-kata membuat pembaca seolah berada dalam pikiran Rin. Pembaca bisa merasakan juga sakit hati, putus asa, hingga kelelahan yang dirasakan Rin. Ketika merasa ikut lelah seperti Rin, maka saya berhenti membaca selama 1-2 hari.
Hal tersebut, ditambah dengan akhir yang tak terduga, membuat saya menurunkan 1 bintang. Duh kenapa akhirnya harus dibuat seperti itu sih, hiks. Rin dan teman-temannya telah berjuang untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari mereka yang ingin berbuat jahat dengan melakukan penaklukan. Apakah semua yang mereka lakukan tidak bisa mendapat sedikit penghargaan, minimal dengan tidak membuat akhir kisah yang menyesakkan.
Namun, dengan mempertimbangkan banyak hal, seperti kisah yang menarik serta banyaknya kalimat bijak yang bisa dijadikan bahan perenungan, maka saya menambah 0,25 pada rating yang ada. Sehingga rating akhir adalah 4.25/5.
Kitay yang semula hanya sahabat Rin, sekarang menjadi sauhnya. Beberapa percakapan menunjukkan ada rasa diantara keduanya. Namun tak ada sama sekali adegan romantis dalam buku ini. Hingga adegan Rin yang mengalami mimpi buruk dibangunkan oleh Kitay yang tidur disebelahnya, tak ada adegan mesra tertulis.
Ambil apa yang kaumaui, tatapan itu berkata. Untuk itu aku akan membencimu. Tapi aku akan mencintaimu selamanya. Aku tak bisa tidak, mencintaimu.
-hal 656-
Adegan yang bisa dianggap adegan mesra antara Kitay dan Rin, ada di halaman 27. Ketika Kitay mengecup bahu Rin. Hanya itu, mungkin pelukan singkat dilain waktu, serta upaya saling memahami dan memberikan pujian. Segala terkait perasaan yang ada terpendam dalam dalam hati Rin. Ia tak melupakan pedihnya tusukan Nezha, tak ada tempat untuk cinta hingga urusan selesai. Entah kapan itu.
https://www.goodreads.com/book/ show/59478495-die-erl-serin |
Nezha memang akan mendapat peranan lagi dalam buku ketiga, walau tak sebanyak yang lalu. Bagaimana Nezha tetap bersikap baik pada Kitay selama menahannya, menunjukkan bahwa mereka sadar perbedaan yang ada tak sebanding dengan makna persahabatan dimasa lalu.
Hubungan Nezha dan Rin, bisa dikatakan sebagai hubungan hate and love. Kadang mencintai, kadang membenci. Tapi diantara keduanya ada rasa saling menghormati. Nezha akan berkata apa adanya pada Rin, tak ada yang disembunyikan. Maka Rin, bisa menganggap apa yang dikatakan oleh Nezha adalah hal yang mengandung kebenaran walau menyakitkan.
Oh ya, sekedar mengingatkan, untuk komentar buku pertama bisa dilihat pada laman berikut. Sedangkan untuk buku kedua ada di sini. Saya membaca kedua komentar yang pernah saya buat sebelum menikmati buku ketiga ini. Supaya lebih terasa gregetnya. Maklum, jarak terbitnya lumayan juga.
Pada halaman 311 disebutkan tentang Qilin atau Kirin. Menurut laman berikut, Qilin adalah mahluk mitologi asal Asia Timur (Tiongkok/China) yang wujudnya digambarkan mirip dengan naga. Qilin identik dengan tampilannya yang hanya memiliki satu tanduk, seperti unicorn. Konon, qilin juga memiliki ciri khas berupa perut yang berwarna kuning, punggung yang memiliki banyak warna, berkepala naga, tetapi bertubuh rusa atau harimau.
Selanjutnya disebutkan bahwa kemunculannya seringkali dianggap sebagai pertanda kelahiran atau kematian seorang bijak atau penguasa termasyhur. Apakah ini menjadi petanda bagi Rin?
Buku yang mendapat Goodreads Choice Award Nominee for Fantasy (2020) sangat direkomendasikan bagi mereka yang menyukai kisah fantasi dengan latar belakang sejarah. Para penikmat fiksi sejarah, terutama terkait China, bisa menjadikan buku ini sebagai alternatif bacaan.
Iseng mengunjungi Goodreads, menemukan lumayan banyak versi terbitan buku ini. Hem..., saya sepertinya paling suka dengan kover dari penerbit Falco dengan bahasa Danish, selanjutnya disusul dari İthaki Yayınlari, Turkish. Apakah perlu mengoleksi juga seperti Little Women he he he.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar