Judul
asli: Rindu Lindu
Penulis: Lalu
Abdul Fatah
Desain
sampul dan ilustrasi: Sakutangan
Halaman:
104
Cetakan:
Pertama- Juni 2019
Rating
3.75/5
Semprul!
Serapah
yang paling pas untuk menggambarkan suasana hati saya ketika tuntas membaca
buku besutan suami pemilik brownies kukus brownyezz.
Bagaimana
tidak, setelah berkutat dengan urusan ABK-Analisa Beban Kerja (bukan saudaranya
Anak Buah Kapal lho), lalu pemberitahuan mendadak sehingga harus berurusan
dengan sistem Si Harka yang sering memunculkan tulisan eror (kita pasti
mau melaporkan harta, tapi sistemnya kemarin sungguh bikin stres),
tentunya kehadiran sebuah buku disambut dengan gegap gempita. Harapannya buku
tersebut bisa menghilangkan rasa penat dan menimbulkan suasana ceria.
Ternyata,
harapan tinggal harapan!
Saya
memang bisa tertawa lepas ketika membuka halaman pertama. Ada dua tanda tangan
terpampang di sana. Milik penulis dan sang istri. Padahal saya mengira mereka
akan benar-benar mengirimkan cap jempol seperti Eyang Djokolelono di
posting ini.
Siapa tahu mereka berdua juga sejahil saya he he he. Tapi tanda tanga pun diterima.
Halaman selanjutnya berbeda, hiks. Mulailah parade aneka kisah disajikan. Ada kisah yang membuat saya harus menahan rasa sedih. Lain waktu, saya merinding membayangkan adegan dan situasi yang diuraikan dengan lugas dalam sebuah kisah.
Walau tak dipungkiri, dari judulnya saja beberapa kisah sudah mampu membuat saya tertawa. Membaca buku ini seakan mengunyah permen Nano-Nano. Beragam! Otomatis emosi pembaca juga teraduk-aduk, ampun deh!
Jika
ada yang beranggapan 13 adalah aneka yang kurang baik, aneka sial, maka tidak
demikian bagi seorang Lalu. Buktinya ada 13 kisah dalam buku ini. Mulai dari
kisah Rindu Linda, Ares, Kelas Surga, Patung-patung yang
Bicara, Masjid Sakau, hingga Museum Emosi.
Jangan
tanya saya kenapa urutannya seperti itu, atau mana kisah yang sebaiknya dibaca
terlebih dahulu jika Anda adalah penganut membaca kumcer secara acak. Saya pun penasaran, bagaimana proses pemilihan cerpen dalam buku ini, kenapa
urutamnya seperti itu. Tapi, mari kita abaikan urusan receh seperti itu,
konsentrasi pada kisah yang disajikan saja. Setuju? Lanjut…. ^_^
Beberapa
kisah, membuat saya teringat pada kejadian yang pernah muncul di tanah air.
Rindu Lindu sebagai contoh. Sejak awal saya menebak yang dimaksud dengan lindu adalah
gempa. Ternyata betul, kisah yang diusung sepertinya (menurut saya) terkait
dengan kisah gempa yang terjadi beberapa waktu lalu. Mungkinkah gempa
yang terjadi di Lombok? Karena sempat terbaca tulisan Gunung Rinjani
dalam kisah ini.
Judul
Go & Sen, membuat pembaca akan langsung teringat pada layanan ojek daring.
Tidak? Ya minimal saya tertawa. Tapi isi kisah ini yang justru membuat saya
langsung melakukan instropeksi diri. Jangan-jangan saya juga demikian, sering
muncul konflik tanpa disengaja karena kondisi keduanya sedang tidak baik.
Intinya
adalah bagaimana seseorang mau bersikap terbuka dan pengertian dengan
pasangannya. Menerima segala kekurangan dengan lapang dada dan
menjadikannya sebagai bagian dari kelebihan dengan cara berbeda. Kadang
tak ada salahnya mengucapkan kata maaf terlebih dahulu guna membuat hubungan
menjadi lebih berkualitas.
Kisah
Baju Babi, lain lagi. Bercerita mengenai seorang anak yang tidak bisa
mempergunakan kaos bergambar wajah babi kesukaannya lagi dikarenakan kedua orang tuanya
sudah mengalami perubahan pandangan hidup.
Banyak yang berubah, mulai dari panggilan bagi kedua orang tua, kesibukan hari Minggu, hingga kaos kesayangan anak. Bagi keduanya, babi adalah hal yang diharamkan, walau hanya tercetak di atas kaos bukan dikonsumsi.
Mendadak
saya teringat pada perdebatan beberapa sahabat ketika membaca kisah ini.
Seorang sahabat mengatakan bahwa tas koleksi terbaru sahabat kami merupakan
harang haram, karena salah satu bagiannya mempergunakan kulit atau bulu
babi. Sementara sahabat yang lain beranggapan bahwa haram jika daging
babi dimakan. Terlepas
dari itu, penggunaannya bisa diterima. Alih-alih merelai perdebatan
keduanya, saya hanya bisa menatap keduanya dengan rasa takjub yang luar
biasa
Gila!
Si A yang dulu masuk kategori begundal, Sekarang sudah hijrah, mengutip kalimat
yang sering dipakai belakangan ini. Sementara si B yang dulu tak peduli pada
penampilan sekarang sibuk memamerkan tas koleksinya yang harganya bisa
melebihi harga sebuah mobil! Luar biasa perubahan yang tejadi pada diri
seseorang.
Ah,
saya jadi terbayang wajah sedih sang anak ketika dilarang mempergunakan kaos
kesayangannya. Dia dibuat mengikuti apa yang dianggap baik oleh
orang tuanya tanpa diberikan pendampingan. Anak hanya tahu ada yang
berubah, kenapa dan bagaimana tak ada pahamlah ia.
Jika
kedua orang tuanya berpendapat bahwa kaos kesayangan sang anak yang
mempergunakan gambar hewan haram sangat tidak baik, ada baiknya keduanya memberikan pengertian. Arahkan kesukaan pada binatang lain, kucing
misalnya. Membuat anak berubah tentunya tak seperti membuat diri Anda
berubah. Tekanan akan akan berdampak kurang baik. Tak menutup kemungkinan
jiwanya akan sedikit mengalami ganguan. Kadarnya tergantung pada kondisi anak
Hal
yang serupa terjadi dengan tokoh utama dalam kisah Mati Kamu,
Kucing! Bukti bagaimana orang tua memperlakukan anaknya akan berdampak pada
perkembangan jiwanya. Sang anak yang biasa hidup dalam tekanan akan melampiaskannya
pada hal lain. Ia merasa berkuasa karena bisa menyakiti orang lain,
seperti dulu ia disakiti. Menyedihkan sekali gambaran kehidupan anak-anak dalam
kisah ini.
Tema
kematian juga bisa ditemukan dalam buku ini, dalam kisah Natal Vanila. Kisah
yang menyeramkan menurut saya. Bukan kematiannya yang menyeramkan, atau
bagaimana seseorang menemui ajalnya. Namun bagaimana efek kematian tersebut
bagi keluarga yang ditinggalkannya. Rasa tak ada sosok tersebut yang akan
terasa berat, melebihi rasa sedih karena ditinggalkan.
Secara
garis besar, walau kisah-kisah yang ada berkesan sederhana, sesungguhnya banyak
pesan moral yang terpendam. Sebagai pembaca, Anda tentunya mampu memetik hikmah
dari kisah yang ada. Terbuka dan jujurlah pada diri Anda sendiri, maka Anda
akan menemukan beberapa hal yang sangat tersembunyi dalam sebuah sebuah kisah
sederhana.
Tulisan Kumpulan
Cerita Pendek yang ada di kover, merupakan tindakan yang cukup berani bagi
saya. Suatu ketika beberapa penerbit pernah mengatakan bahwa buku seperti ini
agak susah dipasaran. Entah zaman yang telah membuat selera pasar berubah, atau
penulis yang sangat yakin bahwa buku yang diterbitkan secara indie ini akan
laris manis bak pisang goreng.
Sebuah
ide nyeleneh muncul, ketika saya tak menemukan nama penerbit
dalam buku ini. Tercantum nama percetakan saja. Meski diterbitkan secara
indie, berbaik hatilah pada nyonya terkasih. Beri satu halaman untuk
mengiklankan produknya. Sisipkan dalam kisah jika perlu.
Jikalau produk laris tentunya penulis juga akan ketiban rasa bahagia yang tak terkira. Istri bahagia akan membuat suami merasa bahagia, keduanya bahagia maka akan tercipta rumah tangga bahagia (mendadak bijak).
Semula
sosok yang melangkah di ujung atas kover saya kira merupakan lambang penerbit.
Tapi karena saya tak menemukan nama penerbit, saya asumsikan ini bagian dari
desain kover. Saya menangkap bahwa sosok tersebut adalah penulis, Lalu, yang
sedang menjalani kehidupan ini dalam berbagai "warna", kadang senang,
dilain waktu sedih, marah hari ini, tertawa esok. Demikian juga dengan
lika-liku kehidupan yang terwakili oleh bentuk garis. Bagi mata
saya, itu adalah gambar seorang pria yang sedang berjalan naik-turun
di lereng beberapa gunung, lereng kehidupan.
Bacaan
yang cocok untuk usia remaja, minimal 15 tahun keatas. Cobalah! Hayuh bergerak
sedikit, cari via internet bagaiamana cara memperoleh buku ini. Plus
tanda tangan penulis tentunya. Siapa tahu, kesan yang Anda dapat berbeda dengan yang
saya peroleh. Saya berikan bocoran sedikit, surel penulis adalah
fatabdul@gmail.com ^_^.
Dan...,
sebaiknya saya berhenti mengoceh.
Tak
ingin membuang waktu Anda membaca komentar miring saya tentang buku tipis
namun berat ini. Cari, eh beli dan bacalah saja!
Oh, ya, sampaikan salam kenal kembali kepada nyonya ya. Stikernya imuts.
Sumber gambar:
FB penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar