Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Editor: Widya Kirana
ISBN: 9786020336879
Halaman:149
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: PT Gramedia PustakaHarga: Rp 65.000
Rating:3.5/5
"Aku adalah bagian dari Pandawa. Bukankah aku istri kalian berlima? Tapi apakah kalian merasa aku bagian diri kalian?.... Seorang perempuan selalu dituntut untuk bersabar, tapi ada saat untuk tidak lagi bersabar.... Aku seorang perempuan dan aku masih manusia, aku tidak akan membiarkan diriku dihina!"
Membicarakan sosok Drupadi memang tiada pernah cukup waktu. Setiap orang memiliki pandangan masing-masing akan sosok Drupadi. Bagi ibu Kunti, Drupadi adalah menantu yang paling pas bagi anak-anaknya. Ia mampu melayani kelembutan Yudhistira, kekasaran Bima, kegairahan Arjuna, dan keanggunan Nakula-Sadewa berdua. Bagi masyarakat umum, ada yang memuja dan menjadikan panutan, namun ada yang mengecam seorang wanita melakukan poliandri (menurut sebuah versi). Pendapat saya mengenai sosok Drupadi belum tentu sama dengan yang lain. Demikian juga dengan Seno Gumira Ajidarma.
Buku ini bisa dianggap sebagai pandangan seorang Seno Gumira Ajidarma terhadap Drupadi, sosok yang tak pernah dilahirkan namun diciptakan dari sekuntum bunga Teratai yang sedang merekah.
SGA tidak hanya mengisahkan tentang awal mula Drupadi, tapi juga lomba yang membuat ia harus menjadi istri para Pandawa, atau istri Yudhistira di versi lain. Pastinya terdapat adegan memalukan yang dilakukan Kurawa padanya, serta akhir kehidupan seorang Drupadi. Tidak hanya hal yang menggembirakan, namun juga hal menyedihkan yang dialami Drupadi. Bahkan SGA dengan berani menyinggung mengenai urusan seks meski tidak memberikan detail. Kesan yang ditampilkan juga jadi dari unsur vulgar. Justru sebagai ungkapan rasa sayang seorang suami pada istri atau sebaliknya.
Tidak melulu mengenai Drupadi, ada bagian yang mengisahkan tentang Yudhistira yang meminta resi Markandeya untuk bercerita tentang pengabdian. Lalu sang resi bercerita tentang Kausika, seorang resi yang sedang belajar mengenai makna kehidupan dari sosok yang tak terduga. Bagian ini memberikan pengajaran pada saya untuk lebh bersabar dalam segala hal.
Seperti layaknya buku SGA yang lain, pembaca akan menemukan banyak permainan kata, semacam puisi yang ditulis dengan gaya khas SGA. Ilustrasi menawan pastinya juga ada dalam buku ini, pembaca bisa berimajinasi lepas mengenai sebuah peristiwa. Misalnya ilustrasi yang menggambarkan adegan Drupadi sedang mengeramasi rambutnya dengan darah Dursasana sementara Bima berdiri di sebelahnya sambil memeras darah dari potongan tubuh Dursasana. Menyeramkan sekali melihat gambar itu, tapi unsur keindahan ternyata juga terpancar di sana. Buktikan saja.
Buku Drupadi Permaisuri Pandawa yang Teguh Hati karangan Apriastuti Rahayu, menyebutkan bahwa Drupadi adalah putri Raja Drupada yang terlahir dari api kurban. Jawab doa sang raja agar dapat memiliki seorang putri yang kelak dapat mendampingi Arjuna membalaskan dendamnya. Sosoknya berupa perempuan berkulit hitam manis dengan mata serupa kelopak bunga tanjung hitam dengan rambut hitam kebiru-biruan. Ia tak akan pernah menjadi tua.
Dalam buku Rupa Dan Karakter Wayang Purwa besutan Heru S Sudjarwo, Sumari dan Undung Wiyono, disebutkan bahwa Dewi Drupadi berkulit hitam dan berwajah sangat cantik, luhur budinya, bijaksana, sabar, teliti dan setia. Ia selalu berbakti terhadap suaminya. Menurut pedalangan Jawa, Dewi Drupadi menikah dengan Prabu Yudhistira/ Puntadewa, raja negara Amarta. Sedangkan menurut Mahabharata, Dewi Drupadi menikah dengan lima orang kesatria Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima orang putra, yaitu; 1) Partawindya dari Yudhistira; 2) Srutasoma dari Bima; 3) Srutakirti dari Arjuna; 4) Srutanika dari Nakula; dan 5) Srutawarman dari Sadewa. Karena di dalam kebudayaan Nusantara tidak mengenal budaya Poliandri maka dilakukan akulturasi. Lima anak Drupadi itu menjadi satu tokoh yang bernama Pancawala. Panca artinya lima, wala artinya anak. Drupadi hanya bersuamikan Puntadewa.
Dari kedua buku di atas, saya merasa agak janggal dengan sosok Drupadi yang menjadi kover buku ini, terlalu terang warna kulitnya. Alih-alih melihat sosok perempuan berkulit hitam manis, saya melihat sosok perempuan dengan kulit putih layaknya model untuk iklan kosmetik. Mungkin karena penulis menganggap sosok Drupadi berkulit putih pualam seperti yang ditulis di halaman 123, "... langkah kakinya yang mungil putih pualam."
Selain hiburan, saya juga mendapat banyak informasi seputar wayang. Misalnya saja nama keseratus Kurawa di halaman 61-62. Selama ini saya hanya hafal beberapa sama, buku ini memuat informasi mengenai keseratus Kurawa. Uniknya, keseratus nama tersebut tidak ditulis dengan cara penulisan biasa, namun disusun sehingga menjadi sebuah susunan yang unik.
Sementara untuk pesan moral yang disampaikan, tergantung pada penafsiran tiap pembaca. Namun bagi saya, salah satu pesan moral yang bisa diambil adalah agar selalu berhati-hati dalam bersikap. Kedudukan seseorang tidak menjamin tabiatnya menjadi baik. Tengoklah para Kurawa yang tega berbuat jahat pada sepupunya sendiri, sementara seorang resi justru harus belajar dari sosok yang bukan siapa-siapa.
Sepertinya kita perlu belajar agar mampu mengatur amarah seperti yang diucapkan oleh Drupadi, "Kemarahan adalah hak manusia, dan seorang ksatria tidak boleh melupakan kewajibannya. Para Pandawa merasa dirinya suci dengan menahan kemarahannya menjadi kesabaran semu. Itu suatu pengingkaran terhadap kehidupan. Kita mempunyai hak untuk suatu kemarahan yang beralasan, dan aku menggunakan hak seorang perempuan." Ada saat kita harus menunjukan amarah, namun ada kalanya kita harus mampu menekan amarah yang bergejolak dalam dada.
Versi Lawas |
Sekedar iseng, sehabis membaca buku ini saya mencari buku wayang yang saya miliki. Adegan Drupadi dipermalukan lumayan membekas dalam ingatan saya. Sebagai seorang anak polos (saat itu ^_^), saya merasa agak bingung mengetahui seorang putri raja dijadikan bahan taruhan. Bukankah seorang putri harus selalu mendapatkan yang terbaik? Lalu kenapa dalam kisah itu putri diperlakukan dengan kejam? Kemana para pangeran, mengapa tidak ada yang membelanya? Sederhana ya pikiran anak-anak.
Versi Elex Media Komputindo |
Dalam buku yang saya miliki, ternyata sudah mengalami sedikit Penyesuaian bahasa. Contohnya ada pada dua gambar sama yang ada di atas dan di samping. Versi Elex Media Komputindo diperhalus karena banyak pembaca komik merupakan anak-anak dan remaja. Sayangnya versi ini sudah tidak ada lagi, kalau pun ada dijual di lapak buku bekas. Padahal bisa dijadikan salah satu cara guna memperkenalkan kisah wayang pada anak-anak dan melestarikan budaya bangsa.
Kalimat yang saya suka dalam buku ini adalah,
Perang memang hanya kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria.Perang memang selalu menakutkan. Tak heran jika banyak yang berusaha menghindari perang jika bisa. Bukan karena lemah atau pengecut namun karena khawatir akan dampak yang timbul akibat perang.
Sekedar saran, meski terdapat perbedaan versi yang dikenal di tanah air dengan yang berasal dari India, abaikan sejenak saat menikmati buku ini. Baca dan nikmati tanpa banyak protes kenapa suatu hal sepertinya berbeda dengan yang selama ini diketahui. Jadikan saja perbedaan yang ada sebagai sebuah tambahan informasi. Perbedaan sebaiknya disikapi sebagai bumbu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar