Penyunting: Suhindrati Shinta & Rina Wulandari
Penyelaras Aksara: Emi Kusmiati
Ilustrasi Isi: Sweta Kartika
Desain Sampul: Tyo/RAI studio
ISBN : 9786029498240
Halaman : 392
Penerbit : Noura Books
Harga: Rp 62.500
Kisah
dalam buku ini membuat saya sejenak merenung. Seorang anak dari dusun
yang sudah “mentas” tidak malu akan masa lalunya. Dengan santainya
beliau mengakui bahwa sepatu kets baru dimiliki saat kelas 3 Aliyah.
Kontras sekali dengan kondisi beliau saat ini, jika mau toko sepatu pun
bisa dibelinya. Mungkin itu sebabnya beliau lebih sering menggunakan
sepatu kets yahh (tebakanku sih).
Beliau juga tidak malu
mengakui pernah bersekolah disebuah sekolah yang kurang popular. Saat
ini sekolah mana yang bakalan menolak anak-cucunya, tidak ada! Atau
bagaimana Dahlan kecil harus melakukan sesuatu yang terlarang demi adik
terkasih. Sekarang ia bisa membelikan apapun yang diinginkan adiknya.
Bahkan beliau mengakui betapa seringnya mengalami kelaparana saat kecil.
Sementara sahabat eh teman
eh bukan kenalan saya saat sekolah dulu sudah tidak mau mengenal
teman-temannya. Saya anggap saja kenalan karena sahabat tidak akan
bersikap begitu, tidak juga sikap seorang teman. Jika ada yang
menghubungi atau mendatangi kantor sering kali dianggap sebagai
seseorang yang ada maunya. Salah satu sahabat saya bercerita saat
diwawancarai media ia mengatakan untuk tidak usah mengusik kehidupan
masa lalunya. Ia seakan menyembunyikan masa lalunya.
Sosial
media hanya untuk “teman” pilihan, apalagi nomer telepon dan
sejenisnya. Padahal kadang ia dihubungi untuk sebuah kegiatan reuni yang
jika ditinjau dari sisi bisnis bisa saja mendatangkan sebuah
kesempatan.
Sungguh berlawanan dengan dengan sosok Dahlan Iskan. Padahal dia baru "segitu" saja
Berharap saja ia ingat bahwa dunia berputar.
Sudahlah… kembali ke buku yuk ^_^
----------->
se.pa.tu
[n]
(1) lapik atau pembungkus kaki yg biasanya dibuat dr kulit (karet dsb),
bagian telapak dan tumitnya tebal dan keras: -- kulit; -- rendah; --
tinggi; (2) sesuatu yg menyerupai sepatu
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/sepatu#ixzz1vWCAYaWd
Hanya
dua hal yang merupakan impian Dahlan kecil saat itu, 2 S. Sepatu dan
sepeda. Bagi anak remaja saat ini, sepatu sudah bukan barang mewah
lagi. Seorang anak bisa memiliki dua, tiga bahkan puluhan sepatu.
Sementara Dahlan butuh perjuangan keras hanya untuk mendapatkan satu
sepatu yang bukan baru lagi. Tapi justru perjuangan mendapatkannya yang
membuat sebuah sepatu menjadi barang berharga bagi beliau. Saat bisa membeli sepatu, justru sepatu bekas yang dibelinya dengan sebuah alasan mulia, berbagi.
Sedangkan
sepeda didapat dengan cara yang lebih mudah, kredit. Walau bagaimana
kondisi sepeda itu, tetap saja butuh waktu untuk membelinya. Uang
menjadi sebuah kata yang menyeramkan bagi keluarga mereka. Setiap ripis, sebutan eyang saya untuk sen harus dipertimbangkan dengan sangat cermat. Terlalu cermat bagi saya.
Walau memiliki beberapa domba, tidak berarti Dahlan Kecil dan Zain
adiknya bisa terlepas dari bahaya kelaparan. Mereka tidak dengan
mudahnya menukar domba dengan beras. Sudah sering mereka harus menahan
lapar . Begitu laparnya sehingga saat ada sesuatu yang bisa dimakan,
bahkan makanan sederhana sekalipun, bagi mereka seakan mendapat harta
karun.
Mendadak saya seakan mencium bau opor ayam yang
terasa sangat menggoda selera , padahal saya bukan penyuka opor ayam.
Penulis mampu menggambarkan betapa nikmatnya Dahlan kecil dan Zain
menikmati opor ayam, makanan yang bagi saya bukan hal mewah. Menyentuh.
Sejak pertama mengintip
draf naskah, isi buku ini sudah menyentuh. Kehidupan seorang “besar”
ditulis apa adanya tanpa ada yang ditutupi. Penulis seakan ingin
mengatakan biar bagaimana Dahlan Iskan juga manusia biasa yang harus
berjuang keras untuk bisa menjadi seperti saat ini. Siapapun bisa
menjadi seperti beliau asal mau berusaha, bekerja keras, berdoa dan
mampu melihat peluang. Tentunya tak ketinggalan restu orang tua.
Restu
orang tua dan keluarga, sepertinya setiap langkah Dahlan Iskan selalu
mengacu kesana. Sekolah dipilih sesuai dengan keinginan orang tua, walau
memang biaya menjadi pertimbangan. Bahkan untuk kuliah pun Dahlan tidak
akan pergi jika tidak mendapat restu bapaknya. Saat teman-temannya
menyantap makanan lezat dengan nikmat, Dahlan kecil justru tidak kelu,
tidak mampu menelan makanan karena teringat sang adik belum makan.
Setelah tahu sang adik juga mendapat “jatah” demikian juga bapaknya
baru ia bisa makan lahap.
Sebenarnya selain dua hal
tersebut, persahabatan juga mewarnai harti-hari Dahlan kecil. Betapa
persahabatan membuat segala hal menjadi mudah jika dipikirkan bersama.
Tak ada yang tak bisa jika seluruh sahabat bersatu padu. Bahkan dalam
kenakalan pun mereka bersatu, kompak. Kadang, dalam persahabatan ada
perselisihan, tapi itu membuat persahabatan yang ada kian kental.
Buku ini serat dengan makna kehidupan. Lebih tepatnya memaknai kehidupan secara sederhana , nrimo tapi
bukan berarti pasrah. Berkompromi merupakan hal yang dilakukan oleh
mereka sekeluarga dalam banyak hal.Keluarga Dahlan kecil mengajarkan
banyak prinsip hidup. Misalnya seseorang harus bertanggung jawab pada
setiap perbuatannya, simak kasus sepeda milik Maryati, teman Dahlan.
Tengok kisah di halaman 102, Dahlan kecil sudah mampu melihat jauh ke
depan dibandingkan yang lain.
Beberapa bagian dari buku
ini membuat saya kian mensyukuri apa yang saya miliki, termasuk masa
kanak-kanak yang lebih beruntung. Penulis menggambarkan sebuah
peristiwa dengan menawan. Apa adanya, justru itu yang menjadi daya tarik
kisah ini, sederhana dan apa adanya. Beberapa bagian dan tokoh memang
fiktif, tapi terlepas dari itu buku ini menarik.
Walau
judulnya mengenai sepatu, tapi kisah seputar sepeda juga banyak
terdapat dalam buku ini. Cerita seputar sepatu yang ada tak kalah
menariknya. Bahkan jika dicermati, kita bisa melihat gambar sepeda
dengan jelas di kover depan buku ini. Hanya saja sepertinya sepatu lebih
mendominasi buku ini.
Saya sedikit penasaran pada
penyebutan jam di halaman 367. Sepertinya itu bukan jam sebelas deh.
Konfermasi dari beberapa pihak membenarkan dugaan saya. Apa kita yang
salah yahhh, mereka menggunakan dialek setempat atau bagaimana.
Penasaran.
Dahlan Iskan adalah Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara lahir di Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951. Memulai
sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda, sejak
tahun 1982 hingga sekarang memimpin surat kabar Jawa Pos Khrisna
Pabichara sang penulis telah menghasilkan empat belas buku hingga saat
ini, termasuk Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan.
Masih
ada dua buku lagi dalam seri ini. Surat Dahlan mengisahkan bagaimana
membangun media serta kegiatan berbisnis. Dalam buku ketiga, Kursi
Dahlan mengisahkan kesuksesan memimpin PLN serta kegiatan sebagai
menteri BUMN. Tak sabar menanti, jadi kecanduan sepertinya.
Untuk saya yang bukan penggemar autobiografi, bintang 3,5 sepertinya layak.
Direkomendasikan
untuk dibaca karena mampu membuat pembaca lebih mensyukuri apa yang
telah dimiliki selama ini serta berbagi semangat berjuang dalam
menjalani hidup ini.
Foto:
finance.detik.com/read/2012/05/08/120907/1911883/1034/dahlan-iskan-hemat-listrik-paling-besar-itu-jam-1600-2200
Jadi gak sabar nunggu bukunya sampai di rumah
BalasHapusKarena penulisnya sekaliber Mas Khrisna, saya lebih percaya kredibilitasnya. Otherwise, maaf kalau saya biasanya skeptis ttg otobiografi tokoh politik yg bukan historis.
BalasHapusTapi tenang aja, my smile is always ready 4 everyone ;D
huwaaaaa... Pengeeeen :(
BalasHapus@Vandis saya juga bukan pembaca tipe gini. Sekedar selingan yang menyenangkan
Hapus@Sinta & Ady Ahmed, semoga beruntung, selamat menikmati
Kapan y buku keduanya muncul?, cepetan mas Khrisna!!
BalasHapusSaya bukan maniak novel, namun benar adanya seperti pd review.. kita akan melahap lembar demi lembar... inspiratif banget..
BalasHapusBahkan beberapa orang besar tidak selalu punya masa kecil yang indah
BalasHapus