Penyunting: Andry Setiawan
ISBN: 9786237351542
Halaman: 168
Penerbit: Penerbit Haru
Harga: Rp 82.500
Rating: 3.75/5
Kalimat tanpa basa-basi tersebut dilontarkan salah satu sahabat saya ketika reuni. Mulainya kami hanya bersendau gurau tentang masa lalu. Kemudian, saling mengajukan pertanyaan tentang hobi mengoleksi. Ada yang mengoleksi tas, helm, asesoris, korek dan lainnya. Saya jelas menyebutkan buku ^_^.
Entah bagaimana seorang sahabat mengajukan pertanyaan unik. "Jika kalian nanti meninggal, siapa yang mengurus koleksimu?" Jawaban beragam. Pengoleksi tas menjawab anak perempuannya dan menantunya kelak. Pemilik helm menjawab anak laki-laki, menantu. dan cucu. Jika tidak ada mereka, ia punya keponakan yang memiliki hobi sama.
Hem..., saya bingung harus menjawab apa. Anak satu-satunya tak suka membaca, jangan-jangan koleksi saya habis dijual dalam hitungan bulan. Belahan Jiwa? Nanti dulu. Sepertinya si yayang juga punya masalah yang sama. Jadi ke siapa koleksi harus diserahkan?
Sebuah pertanyaan iseng yang membuat kehidupan saya berubah total! Jadi, saya harus mulai memikirkan siapa yang bakalan mendapat limpahan tugas untuk menjaga koleksi buku. Terutama koleksi Little Women yang saat ini sudah menyentuh angka 270-an.
Mendadak jadi teringat akan sebuah buku yang mengajukan pertanyaan serupa. kebetulan ada acara Patjar Merah yang menggelar aneka buku dengan potongan menarik. Plus ada kegiatan berbincang dengan penulisnya. Langsung cap-cus meluncur.
Buku ini, kurang lebih membahas hal-hal yang sepertinya
sepela namun sebaiknya menjadi bahan perenungan. Terdiri dari 4 bab, dan
sekitar 40-an sub bagian. Hanya ada satu judul tulisan terkait kematian,
yaitu Kenangan dan Kematian di halaman
82.
Menjadi bagian Bab 02 Hati yang Hilang, Kenangan dan Kematian, mengisahkan tentang
perenungan penulis akan kematian. Bermula dari menonton film animasi Coco saat
baru keluar dari rumah sakit, penulis jadi berpikir banyak hal. Apa yang akan
dilakukan ketika kematian tiba? Bagaimana pemakaman dijalankan? Apakah orang
akan ingat akan dirinya ketika ia sudah meninggal?
Kemudian penulis teringat akan kakeknya yang sudah meninggal, suatu kematian yang mendadak akibat kelalaian orang lain. Ia teringat bagaimana sang kakek menunjukkan kasih sayang pada anak dan cucunya melalui perbuatan sederhana. Nama penulis juga pemberian sang kakek, yang merupakan harapan agar ia dapat bersikap penyabar, baik, dan bijaksana.
Padahal, sebagai seorang penulis, Kim Sang-hyun sudah meninggalkan buku sebagai bukti keberadaan dirinya. Buku tentunya akan bermanfaat bagi banyak orang dengan cara yang unik. Maka, akan ada orang(-orang) yang mengenang dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Banyak pengetahuan yang diajarkan kepada penulis. Banyak hal yang diberitahukan. Namun, sang kakek tak bisa memberitahukan kapan dan bagaimana beliau meninggal. Tak ada yang bisa tahu perihal kematian, misteri dunia.
Saya menjadi ingat buku Psikologi Kematian 2 Menjemput Ajal dengan Optimisme dari Komaruddin Hidayat. Mendengar kata kematian saja sudah membuat tidak nyaman, tak terbayang harus mempersiapkan diri dengan optimisme.
Jika bisa, tentunya setiap manusia ingin hidup selamanya. Sayangnya, tak bisa begitu. Yang perlu kita siapkan selain bekal kebaikan, adalah menjaga segala tingkah laku kita agar segalanya memudahkan kita kelak.
Buku tersebut membuat saya merenung, apakah sudah benar "jalan" saya. Apakah ada yang harus diubah, diperbaiki, atau bahkan dhilangkan jika salah. Silakan berkunjung ke laman ini untuk mengetahui lebih lanjut tentang buku tersebut.
Tulisan Apa pun Kata Orang, Aku Harus Hidup sebagai Diriku Sendiri, menguraikan tentang seseorang yang mendapat gangguan melalui media sosial. Gangguan yang dapat dikategorikan dalam pencemaran nama baik, memang pada akhirnya dapat diselesaikan melalu jalur hukum.
Sebelum kasus selesai, kondisi korban patut mendapat perhatian. Aktivitasnya jelas terganggu, kejiwaannya juga. Untunglah kehadiran penulis sebagai seorang sahabat mampu membuat korban kuat menghadapi cobaan tersebut.
Pembaca bisa mengambil hikmah dalam kisah ini. Bahwa seseorang dalam kehidupan ini, kadang membutuhkan keberadaan orang lain. Tak ada mungkin menyenangkan semua orang, jika ada yang tak menyukai kita, abaikan saja. Karena kita hidup bukan untuk membuat senang orang lain.
Judul buku ini memang mengundang perhatian, seperti yang disebut di atas, urusan kematian sepertinya malah mendapat porsi yang tak banyak. Sebagian besar isi buku ini memuat bagaimana kita menjalani kehidupan dengan lebih makna. Sehingga, jika memang sudah waktunya, kematian kita tidak sia-sia. Apa yang kita pernah kerjakan selama hidup akan membawa manfaat bagi banyak orang.
Walau bahasa yang dipergunakan dalam buku ini mudah dipahami, tapi untuk buku setebal 164 halaman ini, tidak disarankan untuk dibaca dengan sistem kebut. Baca satu tulisan, renungkan sejenak, ambil hikmahnya, kemudian baru lanjutkan membaca bagian yang lain.
Beberapa tulisan bisa saja sesuai dengan kondisi pembaca, atau pernah menjadi bahan renungan kehidupan. Jika sependapat, merupakan sebuah kebaikan, tapi jika tidak setuju dengan pendapat penulis, anggaplah sebagai hal yang wajar. Karena setiap individu memiliki pandangan masing-masing dalam menyikapi kehidupan ini.
Untuk urusan kover, ilustrasi seorang pria yang seakan-akan berada dalam gelas, dimana ternyata rumput tempat ia berbaring terdiri dari beberapa lapisan, membuat imajinasi pembaca berkembang. Saya jadi membayangkan sosok seseorang yang berada dalam peti mati. Sendiri, tak ada yang mengingat apalagi mengunjunginya. Tapi, dalam kematian ia terlihat tentram.
Kembali teringat sebuah buku, The Things You Can See Only When You Slow Down: Cara untuk Tetap Tenang dan Berkesadaran di Tengah Dunia yang Serba Cepat (bisa dilihat di sini). Banyak hal-hal penting yang terlewatkan tanpa kita sadari. Entah berapa banyak momen menarik yang kita abaikan tanpa sengaja.
Ada waktu untuk kita sejenak menarik diri dari dunia dan merenungkan apa yang sudah kita capai, dan bagaimana upaya untuk mencapai keinginan yang belum bisa kita raih. Pertimbangkan potensi diri yang belum dikembangkan secara optimal, pikirkan upaya menekan kekurangan diri.
Kembali, jadi bagaimana nasib buku-buku saya nanti? Pasrah, karena setelah saya tiada nanti, setidaknya jika anak tak bisa mengurus, ia bisa menjualnya untuk menyambung kehidupan. Anggap saya saya berinvestasi. terutama jika melihat harga buku koleksi saya dijual dengan harga fantastis pada beberapa situs daring.
Kalimat favorit saya dalam buku ini.
Lebih baik hidup dengan sukacita hari ini daripada hidup memikirkan kesalahan yang telah berlalu.
Buku yang akan membuat kita memandang dan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda
Sumber Gambar:
https://www.goodreads.com
Koleksi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar