Penerjemah: Titik Andarwati
Editor: Yudhi Herwibowo
ISBN: 978-623-7245-88-9
Halaman: 80
Cetakan: Pertama-2022
Cetakan: Pertama-2022
Penerbit: bukuKatta
Harga: Rp 44.000
Harga: Rp 44.000
Laman: http://bukukatta.blogspot.com/2022/02/tangkapan-kenzaburo-oe.html
Rating: 3.25/5
Diterjemahkan dari salah satu novela berjudul Prize Stock yang ada di buku Teach Us to Outgrow Our Madness (1977) merupakan naskah pemenang Akutagawa Prize 1958.
Menemukan kalimat tersebut pada bagian awal buku, serta keterangan bahwa penulis merupakan peraih Nobel Kesusastraan 1994, muncul rasa penasaran. Jika ini merupakan karya peraih nobel, kenapa jarang wara-wiri di beranda perbukuan?
Apakah isinya yang dianggap terlalu berat karena ditulis oleh pemenang nobel, sehingga banyak yang enggan membaca? Atau kurangnya publikasi sehingga jarang dikenal orang? Atau pendistribusian karya ini yang sangat terbatas? Banyak hal yang bisa membuat sebuah karya bagus tidak dikenal luas.
Dalam 80 halaman, pembaca diajak mengikuti petualang sepasang kakak-adik yang tinggal di desa yang terletak di punggung gunung. Akses menuju kota sangatlah susah, apalagi ketika tanah longsor menghancurkan jembatan gantung, jalur tercepat menuju kota.
Sebuah pesawat musuh jatuh terbakar di perbukitan pada suatu malam, menyisakan bagian ekor saja. Seorang tentara musuh yang ada dalam pesawat ternyata selamat, hanya mengalami luka-luka. Ia berhasil menyelamatkan diri dengan terjun mempergunakan parasut. Tentara yang ditangkap, memakai jaket warna khaki dan celana, sepatu bot. Hal utama yang paling membuat warga desa berkerumun ingin melihat adalah karena warna kulitnya.
Yups! Warna kulitnya hitam dan tubuhnya yang besar menjadi mencolok dibandingkan seluruh penduduk desa. Meski ia sudah dipasangi rantai besi perangkap babi hutan di kedua pergelangan kakinya, tetap saja menimbulkan rasa takut bagi warga desa.
"Kurasakan kembali keterkejutan dan ketakutanku tadi malam ketika tentara kulit hitam itu dibawa ke desa. Apa yang sedang dilakukannya di ruang bawah tanah? Tentara hitam itu meninggalkan ruang bawah tanah, membantai orang-orang, dan anjing-anjing di desa lalu membakar rumah-rumah." Kalimat yang ada di halaman 26 seperti cukup untuk menggambarkan rasa ketakutan yang dirasakan sang kakak.
Sambil menunggu keputusan pemerintah pusat akan nasib tentara kulit hitam, ia dikurung di ruang bawah tanah. Urusan memberi makan, ternyata menjadi masalah selanjutnya. Wanita yang bertugas memasak, menolak untuk memberikan makanan, ia bahkan menyarankan salah satu dari kedua kakak-adik yang memberi makanan. Pilihannya jelas bukan! Jatuh pada sang kakak.
Rasa takutnya, berubah menjadi rasa congkak. Ternyata banyak anak-anak lain yang begitu ingin melihat tentara kulit hitam dari dekat. Keduanya dengan cerdik mengatur agar anak-anak itu juga bisa melihat dengan "membantu" membawa 'tong' tentara hitam dari ruang bawah tanah ke tumpukan kompos di luar. Yang dimaksud dengan 'tong' adalah wadah buang air si tentara.
Perlahan, keberadaannya mulai diterima warga desa. Ia mulai sering dibawa jalan-jalan di sekitar desa, menerima makanan langsung dari pemberi. Ia bukan lagi dianggap sebagai bahaya, hanya penduduk yang berbeda.
"Sama seperti anjing-anjing pemburu, anak-anak, serta pepohonan, tentara kulit hitam itu telah menjadi bagian dari kehidupan desa"
Akhir kisah yang sesuai dengan dugaan saya, meski sempat merasa dugaan saya salah. Ternyata, segala sesuatu yang terlihat indah tidaklah selalu indah. Tentara kulit hitam pada dasarnya bukanlah bagian dari warga desa. Ia tetap memiliki keinginan untuk bertahan hidup, keluar dari desa, bahkan mungkin kembali ke negaranya dengan selamat.
Judul kisah ini-Tangkapan, sangat sesuai dengan seluruh isi cerita. Karena mengisahkan tentang seorang tentara kulit hitam yang ditangkap dan bagaimana kondisi desa di mana ia tinggal sebagai tangkapan alias tahanan.
Pastinya jangan mengharapkan ada adegan peperangan, atau adu tembak seperti yang ada dalam kisah perang. Nyaris tak ada bagian yang mengisahkan tentang peperangan, meski kisahnya tentang seorang tentara yang ditangkap musuh
Untuk kover, saya tak ingat ada bagian yang mengisahkan bagaimana ia diikat seperti itu. Mungkin imajinasi saya yang tak bisa membayangkan adegan seperti itu. Atau saya yang kurang teliti membaca. Gambar helm yang ada di depan si tentara, dibuat seperti helm yang dipakai para tentara. Namun untuk wajah anak-anak yang ketakutan sangat sesuai dengan deskripsi yang ada pada cerita.
Membaca terjemahan tentara yang ditangkap menjadi tentara kulit hitam, rasanya memang lebih pas. Terutama untuk menghindari adanya kesan rasis. Tapi kenapa pada halaman 73 muncul kata "negro"? Mungkinkah terlewat diterjemahkan?
Apa yang dilakukan oleh anak-anak desa pada tentara kulit hitam dihalaman 56-57, sebaiknya tidak dibaca oleh anak-anak. Hal tersebut mungkin saja menjadi hal yang biasa pada kehidupan masyarakat di suatu tempat. Sama dengan yang sering dilakukan tokoh bernama Sumbing dalam kisah ini. Butuh bimbingan orang tua bagi remaja yang membaca buku ini.
Kembali, mungkin saya yang kurang teliti. Membaca buku ini sambil beberapa kali membaca secara sambil lalu, tidak menemukan perihal perang yang dimaksud dalam kisah. Apakah Perang Pasifik? Hanya disebutkan bahwa tentara musuh jatuh saja.
Sekedar saran, buku ini bukan jenis buku yang bisa dinikmati dengan cara kebut semalam. Para pelalap buku cepat harus mengurangi kecepatan membacanya sehingga pesan-pesan yang disampaikan secara tersembunyi bisa lebih ditangkap maknanya.
Buku ini sangat perlu dibaca bagi para mahasiswa sastra Jepang secara khusus, serta pemikmat sastra secara umum. Karena memberikan pengetahuan perihal bagaimana karya sastra pada saat itu. Disamping itu, juga memberikan informasi perihal kehidupan masyarakat Jepang ketika mengalami perang.
Penerbit Katta yang sepertinya sering menerbitkan karya sastrawan Jepang, patut diacungi jempol dalam usahanya menerbitkan karya bermutu. Para penyuka kisah sastra Jepang tak perlu mengalami kesusahan lagi jika ingin mencari karya penulis Jepang.
Karya penulis kisah ini, Kenzaburō Ōe, banyak dipengaruhi oleh sastra Prancis dan Amerika. Demikian juga dengan anak pertamanya Hikari, yang diangapnya telah mempengaruhi karier sastranya. Karyanya sarat isu-isu politik dan filosofis. Ia menerima nobel sastra namun menolak Ordo Kebudayaan Jepang.
Sepertinya Prize motivation yang diambil dari laman berikut layak untuk dikutip.
“who with poetic force creates an imagined world, where life and myth condense to form a disconcerting picture of the human predicament today”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar