Penulis: Ruwi Meita
Penyunting: Aprilia Wirahma
ISBN: 9786232164840
Halaman: 284
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Bhuana Sastra
Harga: Rp 73.000
Rating: 3.75/5
Tidak ada yang lebih miris daripada mayat yang mengapung di danau karena dia membawa kabar kematiannya dalam kebisuan. Seseungguhnya dia berseru-seru dalam kebekuannya.
~Rumah Lebah, halaman 146~
Kadang, karena kita terlalu sering menganggap sepele sesuatu hal, bukan tak mungkin sebuah hal buruk bisa terjadi tanpa kita sadari. Begitulah hikmah yang saya ambil dari kisah ini.
Mala, seorang anak berusia 6 tahun yang tinggal di Desa Ngebel, Ponorogo, sering menyebutkan ada 6 orang yang tinggal bersamanya. Selain dirinya, ayah dan ibu, Mala menyebutkan beberapa nama yang tak seorang pun pernah melihatnya.
Ada Satira, seorang gadis berusia 11 tahun, dan akan selamanya berusia 11 tahun. Takut cahaya serta ketinggian. Menyukai warna gelap. Ia sangat senang menyakiti Mala dan tak suka pada hal-hal manis.
Tante Ana Manaya, menyukai keramaian, tinggal di desa sangat tidak cocok baginya. Kuku-kuku dan rambutnya diberi warna cerah. Dan ia gemar merokok. Lalu ada sepasang kembar yang jarang bisa ditemui Mala.
Wilis, seorang anak yang keseluruhan tubuhnya berwarna hijau, kecuali bola matanya yang berwarna zamrud. Ganggang menutupi kepalanya. Ia sangat menyukai beruang. Serta Abuela yang mengajarinya bahasa Spanyol.
Kedua orang tua Mala menganggapnya sebagai khayalan anak-anak semata. Sang ayah yang sedang menanjak karienya sebagai penulis, menganggap Mala sedang mengalami masa memiliki teman khayalan.
Sementara sang ibu, terlalu sibuk memikirkan tubuhnya yang sering merasa lemas dan mudah tertidur di mana saja. Apalagi Mala tidak bersekolah, hanya belajar di rumah, maka sang ibu menganggap semuanya hanyalah cara Mala mengisi waktu.
Ternyata kebiasaan sang ibu dan khayalan Mala berkembang menjadi sesuatu yang menyeramkan. Berbagai kejadian aneh bermunculan. Andai sang ayah lebih mau peduli pada keluhan istrinya, tentunya tak akan ada peristiwa tragis yang terjadi.
Peristiwa tersebut ternyata juga melibatkan seorang artis cantik dan pengusaha muda yang sangat sukses, Rayhan. Keduanya tinggal di dekat rumah mereka. Uang dan kemasyuran melindungi memang bisa melindungi Rayhan dari bahaya. Namun tidak bagi yang lain.
Pembaca akan diajak mengikuti sebuah kisah keluarga yang sangat jauh dari bahagia. Tak seperti kisah Keluarga Cemara yang menawarkan akhir membahagiakan, buku ini justru menawarkan akhir kisah kelam yang memilukan. Apa lagi yang akan pembaca temukan dari karya Ruwi Meita, seram dan sedih ^_^.
Banyak petunjuk yang tersembunyi. Jika pembaca jeli, tentunya sudah bisa menebak arah kisah yang luar biasa. Bocoran sedikit, misalnya tentang kebiasaan ibu yang mendadak tertidur, ayah yang buta warna, dan kebiasaan Mala bermain di hutan dekat rumah.
Saya juga sempat terkecoh he he he. Ternyata alur kisah sungguh tak terduga. Sesuatu yang sudah jelas saya baca dan harusnya menjadi pertanda, luput dari pengamatan saya.
Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat saya penasaran juga. Misalnya saja, pada halaman 44 disebutkan bahwa Mala mendapat ensiklopedia berbahasa Spanyol dari Ayah. Kenapa harus membeli dalam bahasa Spanyol?
Menurut saya agak kurang pas jika ada orang yang membelikan anaknya ensikloepdia dalam bahasa asing non Inggris, sementara bahasa ibu yang dipergunakan juga bukan bahasa Inggris. Bukankah lebih pas jika membeli ensiklopedia dalam bahasa Inggris?
Mungkin ada campur tangan Abuela dalam membelinya, namun kenapa sang ayah tidak merasa perlu mengecek pembelian ensiklopedia tersebut? Begitu pasrahkan dia pada sang istri dalam hal pengurusan anak? Sehingga menyetujui saja pembelian sang istri atas saran Abuela.
Saya penasaran, apakah obat merah dimaksudkan dalam buku ini adalah obat untuk mengobati luka? Jika setting kisah tahun 2006, maka pastinya obat itu yang dicari jika ada yang terluka. Hanya bukannya obat merah adalah merek? Sepengetahuan saya, seharusnya adalah antiseptik. Iseng saya mencari informasi tentang obat merah, wah sudah dianggap obat jadul ternyata sekarang he he he.
Begitulah masyarakat kita, jika sebuah produk sudah begitu melekat maka merek akan menjadi kategori. Sebuah kegiatan pemasaran yang sangat sukses. Begitu orang membutuhkan sesuatu untuk menyembuhkan luka, maka mereka akan mencari obat merah bukan antiseptik. Sekarang mungkin akan menyebut merek B.
Selain hiburan, pembaca juga bisa mendapatkan pengetahuan. Misalnya tentang tanaman Kecubung yang bisa menciptakan halusinasi. Atau tentang ancaman musnahnya beruang kutub pada tahun 2020 akibat pemanasan global.
Oh ya, pastinya ada bagian yang memuat tentang buku dan kesukaan membaca. Dalam buku ini selain Mala yang digambarkan gemar membaca, salah satu tokoh, Kartika juga menyukai membaca. Ia menggemari novel konspirasi dan intrik, maka tak heran jika ia mengoleksi semua karya Don Brown.
Karakter tokoh yang kuat, menjadikan kisah begitu menawan. Meski banyak karakter yang terlibat, namun penulis mampu membuat kepribadian tiap sosok konsisten dari awal kisah hingga akhir.
Kalimat favorit saya dalam buku ini ada di halaman 163, diucapkan oleh Rayhan.
Serta perlu dibaca oleh para orang tua, dan calon orang tua agar lebih bijak dalam mendidik anak. Juga bagi mereka yang punya kecenderungan kebiasan tidur mendadak.
Eh, saya juga suka mendadak tertidur! Jangan-jangan...
Penyunting: Aprilia Wirahma
ISBN: 9786232164840
Halaman: 284
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Bhuana Sastra
Harga: Rp 73.000
Rating: 3.75/5
Tidak ada yang lebih miris daripada mayat yang mengapung di danau karena dia membawa kabar kematiannya dalam kebisuan. Seseungguhnya dia berseru-seru dalam kebekuannya.
~Rumah Lebah, halaman 146~
Kadang, karena kita terlalu sering menganggap sepele sesuatu hal, bukan tak mungkin sebuah hal buruk bisa terjadi tanpa kita sadari. Begitulah hikmah yang saya ambil dari kisah ini.
Mala, seorang anak berusia 6 tahun yang tinggal di Desa Ngebel, Ponorogo, sering menyebutkan ada 6 orang yang tinggal bersamanya. Selain dirinya, ayah dan ibu, Mala menyebutkan beberapa nama yang tak seorang pun pernah melihatnya.
Ada Satira, seorang gadis berusia 11 tahun, dan akan selamanya berusia 11 tahun. Takut cahaya serta ketinggian. Menyukai warna gelap. Ia sangat senang menyakiti Mala dan tak suka pada hal-hal manis.
Tante Ana Manaya, menyukai keramaian, tinggal di desa sangat tidak cocok baginya. Kuku-kuku dan rambutnya diberi warna cerah. Dan ia gemar merokok. Lalu ada sepasang kembar yang jarang bisa ditemui Mala.
Wilis, seorang anak yang keseluruhan tubuhnya berwarna hijau, kecuali bola matanya yang berwarna zamrud. Ganggang menutupi kepalanya. Ia sangat menyukai beruang. Serta Abuela yang mengajarinya bahasa Spanyol.
Kedua orang tua Mala menganggapnya sebagai khayalan anak-anak semata. Sang ayah yang sedang menanjak karienya sebagai penulis, menganggap Mala sedang mengalami masa memiliki teman khayalan.
Sementara sang ibu, terlalu sibuk memikirkan tubuhnya yang sering merasa lemas dan mudah tertidur di mana saja. Apalagi Mala tidak bersekolah, hanya belajar di rumah, maka sang ibu menganggap semuanya hanyalah cara Mala mengisi waktu.
Ternyata kebiasaan sang ibu dan khayalan Mala berkembang menjadi sesuatu yang menyeramkan. Berbagai kejadian aneh bermunculan. Andai sang ayah lebih mau peduli pada keluhan istrinya, tentunya tak akan ada peristiwa tragis yang terjadi.
Peristiwa tersebut ternyata juga melibatkan seorang artis cantik dan pengusaha muda yang sangat sukses, Rayhan. Keduanya tinggal di dekat rumah mereka. Uang dan kemasyuran melindungi memang bisa melindungi Rayhan dari bahaya. Namun tidak bagi yang lain.
Pembaca akan diajak mengikuti sebuah kisah keluarga yang sangat jauh dari bahagia. Tak seperti kisah Keluarga Cemara yang menawarkan akhir membahagiakan, buku ini justru menawarkan akhir kisah kelam yang memilukan. Apa lagi yang akan pembaca temukan dari karya Ruwi Meita, seram dan sedih ^_^.
Banyak petunjuk yang tersembunyi. Jika pembaca jeli, tentunya sudah bisa menebak arah kisah yang luar biasa. Bocoran sedikit, misalnya tentang kebiasaan ibu yang mendadak tertidur, ayah yang buta warna, dan kebiasaan Mala bermain di hutan dekat rumah.
Saya juga sempat terkecoh he he he. Ternyata alur kisah sungguh tak terduga. Sesuatu yang sudah jelas saya baca dan harusnya menjadi pertanda, luput dari pengamatan saya.
Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat saya penasaran juga. Misalnya saja, pada halaman 44 disebutkan bahwa Mala mendapat ensiklopedia berbahasa Spanyol dari Ayah. Kenapa harus membeli dalam bahasa Spanyol?
Menurut saya agak kurang pas jika ada orang yang membelikan anaknya ensikloepdia dalam bahasa asing non Inggris, sementara bahasa ibu yang dipergunakan juga bukan bahasa Inggris. Bukankah lebih pas jika membeli ensiklopedia dalam bahasa Inggris?
Mungkin ada campur tangan Abuela dalam membelinya, namun kenapa sang ayah tidak merasa perlu mengecek pembelian ensiklopedia tersebut? Begitu pasrahkan dia pada sang istri dalam hal pengurusan anak? Sehingga menyetujui saja pembelian sang istri atas saran Abuela.
Saya penasaran, apakah obat merah dimaksudkan dalam buku ini adalah obat untuk mengobati luka? Jika setting kisah tahun 2006, maka pastinya obat itu yang dicari jika ada yang terluka. Hanya bukannya obat merah adalah merek? Sepengetahuan saya, seharusnya adalah antiseptik. Iseng saya mencari informasi tentang obat merah, wah sudah dianggap obat jadul ternyata sekarang he he he.
Begitulah masyarakat kita, jika sebuah produk sudah begitu melekat maka merek akan menjadi kategori. Sebuah kegiatan pemasaran yang sangat sukses. Begitu orang membutuhkan sesuatu untuk menyembuhkan luka, maka mereka akan mencari obat merah bukan antiseptik. Sekarang mungkin akan menyebut merek B.
Selain hiburan, pembaca juga bisa mendapatkan pengetahuan. Misalnya tentang tanaman Kecubung yang bisa menciptakan halusinasi. Atau tentang ancaman musnahnya beruang kutub pada tahun 2020 akibat pemanasan global.
Oh ya, pastinya ada bagian yang memuat tentang buku dan kesukaan membaca. Dalam buku ini selain Mala yang digambarkan gemar membaca, salah satu tokoh, Kartika juga menyukai membaca. Ia menggemari novel konspirasi dan intrik, maka tak heran jika ia mengoleksi semua karya Don Brown.
Karakter tokoh yang kuat, menjadikan kisah begitu menawan. Meski banyak karakter yang terlibat, namun penulis mampu membuat kepribadian tiap sosok konsisten dari awal kisah hingga akhir.
"Hidup adalah tentang bagaimana pintarnya mengolah nafsu."Secara keseluruhan buku ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang menyukai kisah psycho thriller. Bagi mereka yang menyukai kisah 24 wajah Billy, buku ini bisa menjadi pilihan. Menghibur.
Eh, saya juga suka mendadak tertidur! Jangan-jangan...
Sempet mau baca tapi malah kesleding bacaan lain. Karya Kak Ruwi Meita selalu saja punya sisi misteri dan tentu saja nagih buat diikuti kisahnya.
BalasHapusJadi, orang-orang yang dilihat Mala itu manusia beneran atau hantu?
Dan kenapa ya judulnya rumah lebah?
Membaca review buku ini jadi penasaran mau baca juga nih Mbak. Kangen juga review bukukan jadinya hahahha
BalasHapusAs claimed by Stanford Medical, It is indeed the one and ONLY reason women in this country get to live 10 years more and weigh an average of 42 lbs less than we do.
BalasHapus(And actually, it is not about genetics or some secret exercise and absolutely EVERYTHING around "how" they are eating.)
BTW, What I said is "HOW", not "WHAT"...
Click on this link to determine if this little quiz can help you release your real weight loss possibilities