Editor: Iswan Heriadjie
Ilustrator: Prabowo
ISBN: 9786029251401
Halaman: 346
Cetakan: Pertama-November 2017
Penerbit: Metamind
Harga: Rp 45.000
Rating: 3.25/5
Bicara tentang cinta tak akan pernah ada habisnya. Akan selalu
muncul sebuah kisah cinta yang baru, padahal kisah yang lain belum berakhir.
Begitulah, selama masih ada putaran bumi, maka masih akan ada terus bermunculan
aneka kisah cinta.
Buku ini, dengan caranya sendiri mengajak kita mengikuti kisah
cinta seorang wanita yang tak pernah habis dari seorang pria bernama Hamdan.
Apa? Ah, tak selalu kisah cinta itu antara sepasang kekasih yang dilanda badai
cinta. Ini kisah cinta suci, kasih sayang seorang ibu pada anak laki-lakinya. Kisah tentang bagaimana seorang anak bisa bertahan hidup dengan selalu mengenang kasih sang ibu.
Hamdan mungkin terlalu kecil untuk paham tentang makna kehidupan. Mengapa sang ibu justru menikah lagi dengan pria yang tak pernah bersikap baik. Hamdan ikut merasakan siksaan. Selain harus berbagi semua miliknya secara paksa dengan adik tiri yang manja, ia juga sampai putus sekolah dan nyaris membusuk di penjara.
Dia hanya paham sang ibu begitu
mencintainya. Hamdan selalu berusaha untuk bisa bertahan dalam segala cobaan karena ingat aneka dongeng sang ibu. Perlahan, ia juga mulai menceritakan dongeng-dongeng sang ibu pada orang terdekat yang menurutnya sangat membutuhkan.
Dan saya sebal, sungguh sebal karena penulis mampu membuat saya
menintikkan air mata haru. Sejak awal, walau sudah digambarkan hidup dalam
situasi yang serba sulit, tetap saja ada bagian yang membuat saya merasa sangat
kasihan akan nasib Hamdan. Penulis membawa penderitaan Hamdan pada klimaks yang tak
terduga. Sungguh, saya jadi ingin memeluk dan mengusap punggung Eyang Hamdan
sebagai tanda menguatkan.
Awalnya, penulis membawa pembaca pada situasi seakan sedang
membaca novel tentang ratapan anak tiri. Belakangan penulis justru membuat
betapa anak tiri tersebut lebih beruntung dari pada Ramdan. Perasaan pembaca
seakan diaduk-aduk tak karuan. Sedih, marah, kecewa plus bumbu bahagia. Lho
kenapa? Bukan bocoran kisah, tapi begitulah umumnya akhir kisah tentang anak
tiri^_^. Setelah menderita sekian lama akhirnya akan merasakan kebahagian dan kenikmatan hidup.
Beberapa hal sedikit mengusik rasa penasaran saya. Halaman 28 sebagai contoh. Tertulis, " Hamdan tak mau merusak sifat itu dengan menelantarkan dua saudara
tirinya." Kenapa dua saudara tiri? Bukankah hanya ada adik tirinya saja?
Atau ayah tiri juga dianggap saudara? Tentunya makna saudara dan ayah jelas
berbeda. Akan lebih pas jika ditulis saja ayah dan adik tirinya.
Lalu bagaimana nasib satu-satunya orang yang bisa dikatakan sebagai keluarga Ramdan? Tak ada kelanjutan kisahnya. Menilik kisah ini, harusnya mereka akan langsung mendekati Ramdan bak burung bangkai siap memakan bangsa. Sekarang ia sudah punya uang banyak, perlu dimanipulasi agar mau membagikan hartanya, kurang lebih begitu jika mengikuti kisah ala sinetron lokal. Hal yang sama seperti dilakukan oleh adik dan bapak tirinya dulu.
Ada satu bagian yang seakan menyindir kondisi hukum di tanah air. Pada halaman 44 tertulis, "Kau tahu, Pak... sebenarnya di zaman sekarang ini, Siapa
yang bisa bayar, itu yang menang." Suaranya lirih, namun kalimat itu
serasa lebih tajam dari belati.
Dengan mengambil pola bercerita pendek namun padat tiap bagian,
pembaca akan sedikit sekali menemukan bagian yang sia-sia, bagian yang seakan
dipaksakan ada dalam kisah. Cara penulis bercerita bisa dikatakan mengalir lancar.
Sayangnya, bagian akhir dibuat sedikit lebay ala sinetron lokal (baiklah, saya memang kurang suka dengan sinetron lokal).
Walau sedih, sepertinya apa yang dilakukan oleh sang tokoh pembantu wanita
(maksudnya tokoh yang muncul belakangan dan mulai memberi warna dalam kisah
ini) agak tidak sesuai dengan kepribadiannya. Maaf, saya tidak bisa menyebutkan apa, nanti dikira spoiler, baca makanya ^_^.
Banyak kisah fabel-kisah mengenai binatang yang bisa ditemukan
dalam buku ini. Dalam kisah fable, binatang bertindak seakan-akan manusia
baik dari tingkah laku, sifat, dan lainnya. Tujuannya untuk memberikan
pendidikan moral bagi pembacanya.
Kisah yang ada di halaman 61 sebagai contoh. Penulis
mengisahkan tentang semut yang memiliki sifat pantang menyerah."Kau tahu, Nak, bahwa untuk ukuran sekecil semut pun, Tuhan telah menggariskan hidup yang menakjubkab. Dengan perjuangan, doa, dan sabar, Tuhan memberikan jalan Ong untuj menentukan kelompok semut yang sejenis dengannya. Maka, kalau kita sebagai makhluk yang paling mulia di jagat ini, sudah pasti Tuhan lebih menyayangi kita.
Saya penasaran dengan yang disebut dengan topi pelukis, topi yang merupakan produk dari Eyang Hamdan dan sahabatnya. Kenapa ada yang menyebutkan topi flat copet pelukis. Kok sepertinya tak enak saja ada kata copetnya. Jika masih ada yang penasaran, coba perhatikan secara seksama kover, ada penampakan seorang pria tua menggunakan topi.Bisa kita asumsikan itu adalah Eyang Hamdan dengan topi pelukisnya.
Secara keseluruhan, pembaca akan mendapat banyak pesan moral yang bisa menggugah rasa cinta pada orang tua, kasih sayang dan sifat memaafkan, serta semangat untuk hidup. Meski untuk itu, pembaca juga harus bersabar membaca bagian yang mengisahkan betapa kesengsaraan gemar menghampiri tokoh kita, Hamdan.
Secara keseluruhan, pembaca akan mendapat banyak pesan moral yang bisa menggugah rasa cinta pada orang tua, kasih sayang dan sifat memaafkan, serta semangat untuk hidup. Meski untuk itu, pembaca juga harus bersabar membaca bagian yang mengisahkan betapa kesengsaraan gemar menghampiri tokoh kita, Hamdan.
Membaca judul asli yang lumayan panjang, ada rasa iseng untuk
mengotak-atik judul menjadi lebih singkat tapi pas menggambarkan keseluruhan
isi kisah. Tapi apa ya...? Ada usul?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar