Penulis:
Anita Chairul Tanjung
ISBN:
6020300013
ISBN-13:
9786020300016
Halaman: 189
Cetakan:
Pertama-2013
Penerbit:
Gramedia Pustaka
Rating:
3.5/5
Menemukan buku incaran dengan harga murah sungguh kebanggaan
tersendiri. Isi buku tidak akan basi, sehingga bagi saya tidak masalah membeli
sebuah buku sekarang atau kelak. Buku Pesona Solo sudah lama menjadi salah satu
buku idaman saya. Tapi harganya yang lumayan membuat saya terpaksa bersabar.
Dasar jodoh, buku ini bisa saya bawa pulang dengan harga sekitar 1/4 dari harga
resmi melalui diskon. Hidup diskon he he he. Eh saya tidak akan menuliskan
berapa nominalnya, harap maklum beberapa pedagang ol menjualnya dengan harga
yang masih lumayan tinggi.
Membuka lembar pertama buku ini, mata saya langsung
dimanjakan dengan peta kota Solo yang menandakan tempat-tempat yang layak
dikunjungi, semacam tempat untuk turis berkunjung. Terdapat juga lokasi rumah
keluarga penulis.
Terdiri dari lima bab, buku ini jelas menguraikan tentang kecintaan dan kekaguman seorang wanita berdarah Solo walau tidak lahir di sana, Anita Chairul Tanjung, pada kota Solo. Baik dari sisi kehidupan sosial masyarakat, keindahan alam, makanan, gedung, hingga filsafah kehidupan.
Terdiri dari lima bab, buku ini jelas menguraikan tentang kecintaan dan kekaguman seorang wanita berdarah Solo walau tidak lahir di sana, Anita Chairul Tanjung, pada kota Solo. Baik dari sisi kehidupan sosial masyarakat, keindahan alam, makanan, gedung, hingga filsafah kehidupan.
Isi buku ini dimulai dengan Sebuah Kota, Membentang Sejarah di Balik Dinding Keraton.
Lalu Menjelajah Keindahan, Mencecap Rasa
serta Jejak Kenangan di Keheningan Bagunan Tua. Terakhir ditutup dengan Wajah
Peradaban dalam Kekayaan Kesenian. Sebenarnya hanya dengan membaca judulnya
saja, pembaca sudah bisa menebak isi
tiap bab.
Bagi yang belum mengetahui daerah tersebut dinamakan Sala
karena banyak tumbuh pohon Sala, sejenis pinus. Dalam pelafalan Jawa menjadi
Solo. Adapun pemberian nama Surakarta Hadiningrat dengan makna harapan yang
terciptanya negara yang teratur, tenteram, aman dan damai (tata temtrem karta
raharja). Lebih lanjut bisa dilihat pada link berikut.
Di Solo, pengelompokan pemukiman tidak saja berdasarkan
etnis namun ada kawasan-kawasan khusus yang dikelompokkan berdasarkan profesi
penghuninya. Para pedagang batik menempati kawasan Laweyan yang meliputi
Kampung Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan dan Jongle. Untuk
para ulama keraton serta kerabatnya tinggal di belakang barat Mesjid Agung.
Terdapat Pengulon yang berarti penghulu, Gontoran dan sebagainya.
Ketika keraton pindah dari Kartasura ke Solo
pada masa Pakubuwono II, tata cara busana diubah termasuk tatanan rambut untuk
perempuan. Sebagai contoh hiasan sanggul untuk putri raja serta cucu yang belum
menikah memakai hiasan daun pandan. Jika sudah menikah hiasan berupa melati.
Selain
itu, subang dikenakan untuk para gadis. Bros susun tiga hanya boleh
dipergunakan oleh Kanjeng Ratu, begitu juga kebaya hingga di atas lutut.
Warnanya juga tidak boleh ada yang menyamai. Sementara untuk para abdi dalam,
pakaian yang dipergunakan harus berwarna hitam. Asesoris dibedakan untuk
menunjukan siapa sosok tersebut di kalangan keraton.
Diuraikan juga tentang Museum Radya Pustaka, Museum
Sangiran, serta dua candi yang berada di wilayah Solo, yaitu Candi Cetho dan
Candi Sukuh. Tempat-tempat tersebut layak dikunjungi ketika berada di
Solo.
Menarik perhatian penyuka buku adalah keberadaan Reksa Pustaka di keraton Mangkunegaran. Keberadaannya sudah
ada sejak Mangkunegaran IV (1853-1881). Di sana terdapat dua puluh ribu buku.
Dengan mudah kita akan menemukan buku
yang mempergunakan huruf Jawa serta foto-foto lawas.
Untuk urusan icip-icip, kembali ini urusan selera. Beberapa
tempat yang direkomendasikan lumayan bisa diterima oleh lidah saya. Sekali lagi
selera. Meski saya memiliki lidah Jawa, namun untuk urusan makanan saya kurang
bisa menerima yang terlalu manis. Tapi tak ada salahnya mencoba, jika tidak
bagaimana kita bisa tahu apakah kita menyukai masakan tersebut atau tidak.
Salah satu tempat yang selalu saya kunjungi ketika berada di
Solo adalah Pasar Klewer. Untuk urusan batik, bukan di mana membelinya namun
bagaimana mutu batik yang kita beli. Itu prinsip saya sih ^_^. Saya lebih
menghargai karya para pengerajin batik dalam bentuk tulis dan cap. Sedangkan
versi printing, itu jika sudah sangat terpaksa. Kembali, itu masalah selera.
Buku ini lebih banyak menyajikan foto dari pada tulisan.
Meski begitu tidak mengurangi kenikmatan membaca. Justru dari foto yang ada,
banyak hal yang bisa kita ketahui tanpa perlu membaca uraian panjang lebar.
Beberapa kalimat yang dirasa perlu mendapat perhatian pembaca dicetak satu
halaman penuh dengan ilustrasi yang menarik.
Bagi mereka yang ingin mengetahui mengenai kota Solo dari
segala aspek, buku ini layak untuk dimiliki. Untuk kaum muda, terutama yang
memiliki darah Solo atau tinggal di Solo buku ini akan menambah kecintaan akan
kota Solo. Sedangkan untuk para pini sepuh, buku ini menjad nostalgia masa
lalu.
Membaca buku ini, membuat memori saya terusik terutama pada
sosok eyang putri saya. Eyang masih setia mempergunakan kain jarik ke mana pun
pergi. Sekedar ke pasar Mayestik atau pergi ke Italia. Selalu mempergunakan
kebaya dengan selendang lengkap dengan konde. Kadang ada scarf yang menggantikan posisi selendang. Bagian
yang ini menurun pada saya he he he.
Ah, jadi pingin ke Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar