Judul asli: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Pemeriksa aksara: Intan & Fitriana
Penata aksara: Martin Buczer & Tri Raharjo
ISBN: 9786022911029
Halaman: 412
Cetakan: Pertama-2015
Penerbit: Bentang
Harga: Rp 74.000
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Pemeriksa aksara: Intan & Fitriana
Penata aksara: Martin Buczer & Tri Raharjo
ISBN: 9786022911029
Halaman: 412
Cetakan: Pertama-2015
Penerbit: Bentang
Harga: Rp 74.000
Semula agak ragu juga saya membeli buku ini, ada rasa bosan
jika kisahnya kurang lebih berkaitan dengan kisah Laskar Pelangi. Dunia seakan menjadi sempit jika kisah yang dibaca bekutat seputar itu-itu saja, bagi saya tentunya. Karena itu saya tidak ikutan heboh melakukan preorder untuk mendapatkan buku yang dibubuhi tanda tangan sang penulis.
Saya harus berterima kasih kepada Mbak Sanie dan Mas Yudhi yang menyeret saya ke sebuah tobuk yang sedang menyelenggarakan diskon 30% dalam rangka Hari Jadi Toko di Solo. Seandainya tidak ada diskon 30% belum tentu saya bisa mendapatkan buku karya Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun. Buku yang membuat saya tertawa dan menangis saat membacanya.
Saat membuka halaman pertama,
mulailah saya dicekam rasa was-was, khawatir dugaan saya benar. Belum apa-apa sudah memuat delapan halaman berisi endorsement tentang buku yang fenomenal itu, Laskar
Pelang atau The Rainbow Troops dalam
bahasa asing. Tapi tak ada satu pun yang menyinggung tentang kisah yang dimuat
dalam buku ini, Ayah. Bagi saya hanya
sebuah endorsement yang paling pas untuk menggambarkan Laskar
Pelagi. “A wonderful strory about
student and teacher.” – The Sunday Times.
Bahkan pada kover bagian belakang juga tidak ada sinopsis
tentang kisah ini. Justru yang tertera lagi-lagi tentang kehebatan Lascar
Pelangi. Lalu dari mana pembaca bisa mendapat gambaran tentang kisah ini?
Sepertinya hanya mengandalkan pada dua endorsement yang ada di kover depan.
Baiklah, mari kita berpikir positif dengan mulai membaca kisah ini.
Kasih ibu,kepada betatak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi,tak harap kembali,Bagai sang surya, menyinari dunia
Tahu lagu itu khan? Lagu yang sering disenandungkan untuk menggambarkan betapa besar kasih seorang ibu kepada anaknya. Atau pepatah yang mengatakan "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan". Bermakna kasih sayang seorang ibu tidak memiliki batas, sedangkan kasih sayang anak selalu terbatas
Tapi,Dalam kisah ini justru sang ayahlah yang memiliki kasih tak terhingga sepanjang masa. Tokoh ayah dalam buku ini selalu memiliki kasih tak terbatas pada anaknya. Bahkan ketika sang anak direngut dari sisinya, runtuhlah semua dunia sang ayah. Ia nyaris kehilangan akal sehat. Hanya karena surat dua sahabatnya akan kembali ke kampung dengan membawa kembali sang anak ia seakan hidup kembali..Kisah dengan mengambil latar belakang Belitung (lagi) memuat tentang persahabatan empat orang anak laki-laki. Ukun si tukang cari gara-gara yang bercita-cita menjadi dokter, Tamat si bijaksana yang ingin menjadi pilot, Toharun si pintar pengakuan sendiri yang berharap saat dewasa menjadi Menteri Olah Raga. Serta tokoh utama kita, Sabari si konyol dan lugu minta ampun yang ingin menjadi seperti ayahnya, seorang guru Bahasa Indonesia.
Hanya memberi,tak harap kembali,Bagai sang surya, menyinari dunia
Tahu lagu itu khan? Lagu yang sering disenandungkan untuk menggambarkan betapa besar kasih seorang ibu kepada anaknya. Atau pepatah yang mengatakan "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan". Bermakna kasih sayang seorang ibu tidak memiliki batas, sedangkan kasih sayang anak selalu terbatas
Tapi,Dalam kisah ini justru sang ayahlah yang memiliki kasih tak terhingga sepanjang masa. Tokoh ayah dalam buku ini selalu memiliki kasih tak terbatas pada anaknya. Bahkan ketika sang anak direngut dari sisinya, runtuhlah semua dunia sang ayah. Ia nyaris kehilangan akal sehat. Hanya karena surat dua sahabatnya akan kembali ke kampung dengan membawa kembali sang anak ia seakan hidup kembali..Kisah dengan mengambil latar belakang Belitung (lagi) memuat tentang persahabatan empat orang anak laki-laki. Ukun si tukang cari gara-gara yang bercita-cita menjadi dokter, Tamat si bijaksana yang ingin menjadi pilot, Toharun si pintar pengakuan sendiri yang berharap saat dewasa menjadi Menteri Olah Raga. Serta tokoh utama kita, Sabari si konyol dan lugu minta ampun yang ingin menjadi seperti ayahnya, seorang guru Bahasa Indonesia.
Pada bagian awal kita kita disuguhi kisah tentang latar belakang dan kehidupan sehari-hari mereka berempat serta tokoh lainnya. Pastinya mereka bersekolah di sekolah yang sama. Bagian ini nyaris membuat saya mengira ini persis sekali dengan kisah Laskar Pelangi. Untungnya ada tiga dara manis yang membuat kisah menjadi berbeda. Mereka adalah Zuraida, Izmi, serta Marlena. Dan urusan cinta yang menjadi bumbu utama dalam kisah ini.
Tokoh kita, Sabari diceritakan jatuh cinta sejak SMP pada seorang gadis manis. Butuh waktu sebelas tahun lebih untuk bisa bersanding dengan sang gadis impian. Jangan ditanya bagaimana penolakan sang gadis. Dari yang halus hingga mampu membuat orang takjub karena sadisnya. Perjuangan Sabari patut diajungi seluruh jempol yang kita punya, termasuk trik-trik ajaib yang dilakukannya. Betapa bahagianya ia ketika mimpinya terwujud. Seorang anak membuat hidup Sabari kian bahagia.
Selanjutnya kisah akan bergulir pada kehidupan Sabari dan sang anak. Sungguh mengharukan. Penulis menguraikan dengan indah bagaimana hubungan yang terjalin antara ayah dan anak, Sabari dan Zorro, panggilan sayang bagi buah hatinya.
Sabari sangat mencintai Zorro, ialah pusat kehidupannya. Kadang kasih sayang pada sang anak membuatnya berkelauan konyol, seperti mengumpulkan aneka menu restoran sebagai bahan untuk mengarang cerita pengantar tidur bagi sang anak. Adakah bapak yang seperti itu di dunia ini selain Sabari?
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar Zorro juga banyak mewarisi keahlian Sabari. Ia pandai membuat puisi. Bahkan saat mengikuti lomba bercerita anak-anak, Zorro mampu membuat kisah yang luar biasa tentang keluarga langit, padahal saat itu ia baru kelas 2 SD. Bagaimana bisa begitu? Sang ibu bingung bukan kepalang. Zorro hanya bisa menggeleng, tidak tahu dari mana kemampuan itu berasal. Agaknya tanpa ia sadari ia sudah belajar menjadi ahli dalam hal bahasa Indonesia seperti ayahnya.
Begitu lengket keduanya, hingga saat Zorro diambil paksa dari Sabari, ia masih tetap mengingat rasa nyaman yang ada. Padahal usianya baru sekitar tiga tahun. Sebuah kemeja menghubungkan rasa diantara keduanya. "Setiap malam Zorro hanya bisa tidur jika mencium kemeja itu. Dia terkucil di rumah besar, yang semuanya berkilap, dingin, dan asing. Sahabatnya hanya sebuah pedang plastik dan selembar kemeja. Jika diperlakukan dengan kasar oleh saudara-saudara tirinya, dia bersembunyi di pojok ruangan dan dengan menutupkan kemeja itu ditubuhnya, dia merasa terlindungi." (halaman 241)
Selain kisah tentang Sabari dan Zorro, kita juga disuguhi kisah tentang persahabatan yang indah antara Sabari, Ukun, dan Tamat. Guna menyenangkan sahabatnya, Ukun dan Tamat melakukan tapak tilas mencari Zorro. Agar perjalanan lancar, mereka membawa Kamus Umum Bahasa Indonesia. Harap maklum selama ini mereka hanya fasih mempergunakan bahasa ibu dan sedikit bahasa nasional. Aduh terbayangkan betapa repotnya membawa kamus setebal itu mengelilingi pelosok pulau Sumatra. Tapi justru kamus itu yang menyelamatkan keduanya.
Kisah persahabatan ketiga gadis manis juga unik. Kepribadian ketiganya yang berbeda justru menjadi tali persahabatan yang menjalin mereka. Lena si perempuan besi dengan pendirian yang lebih tegak dari pada tiang bendera di Lapangan Merdeka, mampu menularkan rasa percaya diri yang kuat pada sahabatnya.
Saat membaca kisah ini, perasaan saya seakan citra rasa permen Nano-nano. Sedih, terharu, bahagia, menangis, tertawa, semuanya mendapat takaran yang sama.
Keluguan Sabari membuat saya terharu. Simak saja percakapan yang berada di halaman 202, "Kalau boleh saya bertanya, mengapa Saudara senang menerima surat panggilan dari pengadilan?"
Sabari menatap petugas.
"Karena baru kali ini seumur hidup saya menerima surat, Pak. Memang dulu sering juga saya menerima surat untuk disampaikan kepada ayah saya, tapi itu surat pemberitahuan agar melunasi tunggakan iuran sekolah. Jadi, baru kali ini saya benar-benar menerima surat. Apalagi, surat ini dikirim oleh instansi pemerintah! Untuk saya, Sobari, bangga sekali saya, Pak." Bukan tidak mungkin memang ada orang yang belum pernah menerima surat resmi dari instansi pemerintah sepanjang hidupnya.
Saya sibuk menyembunyikan tangis haru bercampur bahagia saat membaca untaian kisah di halaman 381 hingga 390. Benar-benar kasih ayah sepanjang galah. Sabari kembali waras demi sang anak. Penampilan Ukun dan Tamat yang bak dua orang sawan setelah berkeliling Sumatera, seakan hilang berubah menjadi keren jika dilihat dari sisi upaya mereka menemukan Zorro demi mengembalikan kewarasan Sabari.
Sayangnya, peran Toharun hanya mendapat porsi kecil dalam kisah ini, tidak sebesar kedua sahabatnya yang lain. Meski demikian, jika tidak ada Toharun tak mungkin Sabari bisa kembali bersemangat. Seandainya ia mendapat porsi bagian yang lebih besar tentunya akan membuat kisah menjadi lebih seru lagi.
Kelakuan Sabari yang kasmaran tingkat dewa membuatku tertawa. Hayuh siapa yang saat sekolah tidak berdebar-debar saat melewati kelas sang pujaan hati? Gaya berjalan langsung berubah, mata sibuk mencari-cari sang pujaan hati. Sungguh bahagia jika kebetulan bisa melihat sang pujaan. Jika tidak melihat orangnya, melihat bangku kosong tempat ia duduk saja sudah membuat bahagia. Teman sekolah tingkat pertama saya mendadak jadi teratur buang air kecil setiap istirahat karena kelas sang gadis pujaan ada di dekat area toilet. Cinta memang bisa membuat orang lupa diri.
Oh ya, satu bagian yang membuat saya tertawa tapi tidak ada urusannya dengan cerita justru ada di halaman 36. Di sana disebutkan tentang Sabari yang berpura-pura sedang melihat sarang burung prenjak. Paham khan kenapa saya tertawa, karena saya adalah penyuka teh merek Prenjak. Hingga jika tidak minum teh itu bisa sakaw, kata teman-teman. Sebuah kesamaan konyol antara saya dan Sabari, penyuka prenjak!
Penasaran juga tentang nilai yang diperoleh Sabari pada halaman 84. Ceritanya disebutkan tentang nilai ujian yang jelek, beberapa orang disebutkan. Mereka mendapat nilai jelek padahal sudah mempersiapkan contekan rumus. Aneh bukan. Ternyata saat menemukan contekan, Sabari merasa rumus itu salah. Dengan niat baik membantu teman-temannya agar mendapat nilai tinggi dibetulkannya contekan itu. Celakanya saat ujian baru ia sadar contekan itu yang benar, niat baiknay malah salah. Lalu berapa nilai yang diperoleh Sabari? Justru tidak disebutkan.
Meskipun disebutkan bahwa ini merupakan pertama yang bukan novel otobiografi Andrea, namun unsur Laskar Pelangi masih lumayan terasa. Bukan perihal lokasi berlangsungnya kisah, namun pada kesamaan ciri tokoh atau peristiwa. Kisah tentang radio mengingatkan kita pada salah satu tokoh di LP yang sering mendengarkan lagu-lagu melalui radio tua. Sosok Sabari yang terkenal jago berpuisi mengigatkan pada sosok seniman jenius kita, Mahar.
Sepertinya kalimat di halaman 65 bisa menjadi renungan saat ini. Kalimat yang diutarakan oleh ayah Sabari,
"Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi."Ah sekedar usul buat yang mau ikutan sawan seperti saya dan teman-teman. Di bagian belakang buku ini tercetak kover aneka versi LP dalam banyak bahasa. Siapa tahu ada yang mau mengoleksi khusus aneka versi LP.
Ahhh, kita punya kekhawatiran yang sama ya, Mbak....dunia yang sempit hanya berputar-putar di imaji Laskar Pelangi, ternyata bukan kisah Ikla lagi ya, ini? Hmm, kepingin nyoba ah, entaran...
BalasHapusAda tanya hanya dikit sekali. Cuman berkisah bahwa Ikal berkenalan dengan Zorro di kantor pos. Zorro sering berkirim surat *spoler yg tidak berbahaya*
BalasHapus