Penulis: Rini Tri Puspohardini
Penerjemah:
Sosiawan Leak
ISBN-10: 9791853398
ISBN-13: 9789791853392
ISBN-13: 9789791853392
Halaman:
128
Penerbit:
Elmatera Publishing
Harga:
Rp.20.000
Kidung:
1 nyanyian, lagu (syair
yg dinyanyikan);
2 puisi; me·ngi·dung v bersenandung dng kidung; bernyanyi; me·ngi·dung·kan v mengidung;
ki·dung·an n nyanyian yg bersifat lirik (yg melukiskan suatu perasaan): dialog-dialognya dilakukan dng ~ (http://artikata.com/arti-335141-kidung.html)
2 puisi; me·ngi·dung v bersenandung dng kidung; bernyanyi; me·ngi·dung·kan v mengidung;
ki·dung·an n nyanyian yg bersifat lirik (yg melukiskan suatu perasaan): dialog-dialognya dilakukan dng ~ (http://artikata.com/arti-335141-kidung.html)
Kidung adalah
hasil karya sastra jaman Jawa Pertengahan (Majapahit akhir), menggunakan bahasa
Jawa Tengahan, bentuknya tembang, baik nama maupun metrum yang dianut seperti
halnya Tembang Macapat.
Metrum adalah sebuah istilah
dalam ilmu kesusastraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris
puisi.
Sementara Bandungan adalah nama sebuah Desa di Kecamatan
Bandunan, Kabupaten Semarang. Bandungan memiliki luas wilayah 434,335 Km2.
Suasana di sana sangat sejuk. Sebuah obyek wisata yang cukup terkenal
yaitu Candi Gedongsongo.
Asal
nama Bandungan memiliki cerita sendiri. Dikisahkan dari Pasutri K. Sanggem yang
memperoleh wangsit untuk mencari sumur di lereng Gunung Ungaran, yaitu
sumur yang airnya mengalir seperti sungai agar dia dapat memiliki anak. Setelah
sumur ditemukan dan dia memiliki banyak anak, lalu dia mendapatkan wangsit lagi
untuk menutup (membendung) sumur tersebut agar tidak menyebabkan malapetaka
bagi kampong dibawahnya, dengan konsekuensi di desanya tidak akan ada sumber
mata air dan akhirnya sumur tersebut di tutup dengan gong. Desa tersebut
akhirnya di kenal dengan Bandungan (bendungan). Makam Kyai Sanggem berada di
belakang Kantor Kecamatan Bandungan. Bagi Penggemar karya Nh. Dini pasti mengenai sebuah buku yang juga menyebutkan Bandungan.
Lalu
apa hubungan antara Kidung dan Bandungan? Rini Tri Puspohardin dengan
manisnya membuat sebuah buku dengan judul Kidung Saka Bandungan. Buku setebal
128 halaman ini memuat 48 coretan beliau sejak tahu 2002 hingga 2011.
Bukan rentang waktu yang singkat, tapi secara pribadi yakin diantara waktu yang berlalu banyak karya yang dihasilkan. Sementara yang berada dalam buku ini hanya merupakan sebagian kecil saja dari karya-karya yang lain.
Beberapa
sumber menyebutkan bahwa karya Rini Tri Puspohardin merupakan guritan.
Geguritan, berasal dari bahasa
Jawa Tengahan merupakan bentuk puisi yang berkembang di kalangan
penutur Jawa dan Bali. Geguritan berasal dari kata
dasar: gurit, berarti "tatahan", "coretan" .
Sedangkan dalam kamus Bali-Indonesia berasal
dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur. Sementara dalam Kamus Umum
Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya
sajak atau syair. Secara sederhana
Geguritan itu puisi berbahasa jawa. Cara membaca dan menuliskannya
tidak jauh berbeda dengan membaca puisi.
Dalam Kidung Saka Bandungan kita bisa menemukan aneka tema. Dari
rasa seputar cinta , binatang dalam Kucing Rembes, hingga sosial. Rasa amarah,
semangat dan juga mendambakan sesuatu terungkap dengan lugas dalam rangkaian
kata dalam buku ini. Beberapa perbandingan akan suatu keadaan atau hal memberi
nuansa tersendiri dalam karyanya.
Karya
yang paling saya suka adalah Mantra Layung dibuat pada tahun 2003.
Berikut isinya:
daksambat
lekasing ngaurip
kakang kawah adhi ariari
sedulur papat lima pancer
rilanana kadangmu munggah akasa
ngupado jatining suksma
asu mbaung tengah wengi
kaya
aweh tengara sinandi
wektune
nyebar kembang mlati
kareben
nganthi jiwaku
ngawiyat
sumusul langit biru
akh
aku
gumeter
nyipati
peteng kang limeng
kekitrang
ing suwung
ijen
tanpa rowang
ngenteni
Yama mapag tekaku
ora!!
iki
dudu dalanku
iki
dudu papanku
najan
donyaku ketaman lindhu
omahku
kebak lebu
isih ana wektu
ngresiki
jember kang isih mbader
: aku kudu bali
Gusti
apuranen
pepasing atiku
mantra
layung
wurung
daklakoni
Membaca bait-bait di atas awalnya saya tertawa. Bukan! Bukan mentertawakan isi namun selama ini saya lebih mengenal bahasa Jawa lisan bukan tulisan. Sehingga saat melafalkan tulisan di atas menjadi agak aneh. Apalagi ada huruf "e" ( dulu kata guru saya namanya pepet dan taling) dibaca berbeda walau penulisan sama. Baru setelah dibaca untuk kedua kalinya saya bisa menikmati pesan yang ingin disampaikan oleh sang penulis.
Tidak mengerti artinya? Jangan kuatir berikut terjemahannya
MANTRA KEMATIAN
kakang kawah adhi ari-ari
saudara
empat arah, yang kelima inti
relakan
saudaramu terbang ke angkasa
memburu
sukma sejati
anjing melolong malam hari
serupa
memberi tanda terbungkus sandi
sudah
waktu menebar kembang melati
agar
gandeng jiwaku
menyusul
menuju langit biru
ah,..aku gemetar
menemu
gelap nan pekat
galau
dalam kekosongan
sendiri
tanpa teman
menunggu
Yama* menjemput kedatanganku
tidak!
bukan
ini jalanku
bukan
ini tempatku
meski
diterjang gempa, bumiku
penuh
debu, rumahku
nasih ada waktu
membersihkan
kotoran yang memabukkan
:aku
musti kembali
Gusti
ampuni
lunglai hati
mantra
kematian
urung
kulakoni (ini memang tidak diterjemahkan apa terlupa?)
Menyentuh bukan?
Saya
tidak secanggih itu hingga mampu penerjemahkan sebuah teks ke bahasa Indonesia namun tetap
membuat pesan dan kata yang disampaikan mengena.
Membaca Mantra Kematian membuat bulu kuduk saya berdiri. Penulis seakan sedang mempertimbangkan apakah akan pasrah menunggu Dewa Yama menjalankan tugasnya atau bangkit dan kembali bersemangat menjalani kehidupan.
Ternyata
tidak hanya saya yang menyukai Mantra Layung. Sebuah tulisa di dunia maya
menyebutkan tentang analisis Mantra Mayang berdasarkan teori simbolisme. “Geguritan
“Mantra Layung” karya Rini Tri Puspohardini apabila diananlisis berdasarkan
teori simbolisme yang menekankan pada kombinasi bunyi baik bunyi vokal maupun
konsonan yang disusun sedemikian rupa. Dari bunyi-bunyi tersebut kemudian dapat
mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa
pendengar atau pembacanya.” Lebih lengkap bisa dibaca di http://ainia79.blogspot.com/2013/05/analisis-geguritan-mantra-layung-karya.html
Keunikan dari buku ini adalah
dibuat dalam dua bahasa. Pertama dalam bahasa Jawa dan ditutup dengan
menyertakan biodata sang penulis. Lalu jika dibalik, maka kita akan menemukan
versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan apik oleh Sosiawan Leak.
Batas buku yang memuat versi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia adalah biodata
keduanya yang dicetak diatas kertas dengan latar hitam dan tinta warna
putih.
Hal ini tentu sangat berguna untuk membantu mereka yang tidak mengerti bahasa Jawa tapi ingin menikmati karya Rini Tri Puspohardin. Pada versi bahasa Indonesia kita juga akan mendapatkan catatan kaki mengenai point yang dirasa perlu diperjelas.
Pada Mantra Kematian contohnya, ada catatan mengenai makna kakang kawah adhi ari ari. Serta tentang Yama, sang dewa kematian dalam pewayangan. Pada Kesanggupan atau Kesaguhan atau dalam versi bahasa Jawa disebutkan tentang rungkut asri, nama salah satu kompleks perumahan di Surabaya. Harata, sebuah ungkapan tanpa arti dalam bahasa Jawa, untuk menggambarkan praduga yang akhirnya terbukti atau terjadi bisa ditemui dalam Edan.
Perbedaan juga bisa dilihat pada kover. Untuk versi yang menggunakan bahasa Jawa, tulisan judul mempergunakan tinta warna merah dan mencantumkan nama sang penulis. Sementara untuk versi bahasa Indonesia mempergunakan warna putih dan mencantumkan nama penerjemah di bawah judul dan tetap penulis nama sang penulis di pojok kanan atas. Menawan.
Terlepas dari bagaimana isi dan penyajiannya. upaya yang dilakukan sang penulis dan penerjemah patut diacungi jempol. Buku ini memperkaya geliat buku di tanah air.
--------------------------------
Perkenalan saya dengan Rini Tri Puspohardini adalah melalui teman-teman Sastra Pawon. Kebetulan saya pernah bercerita mencari buku yang menggunakan bahasa Jawa guna keperluan melengkapi koleksi di kantor.
Saat membeli beberapa buku, pertimbangan pemilihan berdasarkan rekomen dari beberapa pihak. Salah satunya mbah Google. Begitu buku tiba dan sedang dilakukan pengecekan baru sadar kalau nama pengarang Kidung Saka Bandungan sama dengan nama salah satu teman di FB, orang yang paling sering ak repoti jika berurusan buku berbahasa Jawa.
Si mbak ini terlalu rendah hati untuk berkata bahwa ada buku hasil karyanya diantara buku-buku yang dipesan. Jika tahu khan bisa minta tanda tangan. Hadehhhhhh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar