Judul: Yuki no Hana, Salju tak mampu membekukan hatiku
Penulis: Primadonna Angela
Penyunting: Ida Wajdi, Jason Abdul
Penyelaras Aksara: Putri Rosdiana, Lian Kagura
Penata AKsara: Nurul M. Janna
Perancang Sampul: Fahmi Ilmansyah
Penggambar Ilustrasi Isi: Yulianto Qin
ISBN: 978-602-1606-72-8
Halaman 256
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 44.000
Aku ingin menemanimu mengunjungi Yuki Matsuri setiap hari,
Hana-chan. Bukan Yuki Matsuri saja. Kalau kamu menginginkannya,
aku ingin menemanimu seumur hidup
Cinta acap kali bekerja dengan cara yang aneh. Demikian juga urusan
cinta Hana, seorang gadis remaja anak pengusaha mapan di tanah air. Saat ulang
tahun ke-8, orang tua Hana memberikan hadiah dengan mengajaknya berlibur ke
Sapporo-Jepang untuk menikmati Yuki Matsuri, Festival Salju
Sapporo.
Sapporo Yuki Matsuri diadakan selama satu minggu setiap bulan
Februari di ibukota Hokkaido Sapporo. Ini adalah salah satu acara paling
populer musim dingin di Jepang. Acara ini berawal ketika siswa SMA membangun patung salju di Taman Odori pada tahun 1950. Sejak itu
berkembang menjadi acara komersial. Dalam festival tersebut menampilkan
salju spektakuler dan patung es. Ada tiga tempat digelarnya festival
tersebut: Odori Site, Susukino Situs dan Tsu Dome Site.
Awalnya ia menikmati makan malam bersama keluarga hingga mendadak
menemukan dirinya berada dalam perkelahian kedua orang tuanya. Kata-kata yang
tak pernah dipahami terucap dari bibir kedua orang tuanya, seperti selingkuh,
bercerai, berpisah dan lainnya. Seakan bukan berada di restoran, tempat umum kedua orang
tua Hana saling berbicara teriak tanpa perduli pandangan orang sekitar. Bahkan
tanpa sengaja saat tangan sang ibu bersentuhan dengan ayahnya, terlihat
wajah jijik sang ayah seolah bersentuhan dengan semacam kuman mematikan.
Sebenarnya ada satu kata yang dipahami Hana, kata yang diajarkan oleh
sahabatnya di sekolah. Bercerai. Artinya ia harus memilih untuk tinggal bersama
ayah atau ibunya.
Hana kecil yang
terluka dan sedih justru saat seharusnya ia berbahagia pada hari ulang tahunnya,
berlari meninggalkan hotel hingga tersesat. Untunglah seorang anak lelaki kecil
dengan jaket hitam menjadi sahabatnya malam itu. Bersama anak itu, ia menikmati
Yuki Matsuri dengan gembira serta menikmati takoyaki yang lezat.
Siapa yang mengira, kenangan akan malam itu bgitu berbekas
sehingga menjadi semacam obsesi untuk kembali ke Sapporo guna menemui sahabat
kecilnya dan menikmati Yuki Matsuri bersama lagi. Anak lelaki kecil itu
bernama Takahashi, sejak itu ia menjadi orang yang berarti bagi Hana.
Selanjutnya pembaca akan disuguhi bagaimana perjuangan keras Hana
untuk mengumpulkan setiap rupiah uang dari usahanya sendiri guna mewujudkan
impiannya. Bukan hal yang mudah ternyata.
Kenapa tidak meminta ke orang tuanya yang digambarkan cukup mapan?
Tentunya ada hal-hal yang bersifat pribadi dan terus terang saya sangat
sependapat dengannya. Pembaca bisa menemukan sendiri dalam buku ini. Yang pasti
Hana adalah sosok tegar yang tidak ingin mengadahkan tangan untuk meminta walau
pada orang tuanya sendiri. Disinilah kekuatan kisah ini sebenarnya. Perjuangan
Hana menggapai impian dan memenuhi janjinya sepuluh tahun silam.
Beberapa bagian dalam buku ini mengisahkan tentang keindahan dan
kebudayaan Jepang, sayangya penulis kurang memanfaatkan setting guna
menciptakan kisah yang lebih kental suasana Jepangnya. Padahal banyak disebut
tentang makanan, kebudayaan bahkan cara hidup.
Sapporo adalah ibu kota Prefektur Hokkaido, Jepang. Kota
ini berada di Subprefektur Ishikari, Hokkaido, dan merupakan kota berpenduduk
terbanyak nomor empat di Jepang, setelah Yokohama, Osaka, dan Nagoya. Sapporo
mulai dikenal orang sejak diselenggarakannya Olimpiade Musim Dingin
pada tahuh 1972, yang merupakan Olimpiade Musim DIngin pertama di Asia.
Saat berkesempatan mengunjungi Sapporo, Tanam Odori terlihat sungguh
menawan. Tidak hanya karena banyak aneka bunga dan tanaman indah namun suasana
kekeluargaan terpancar di berbagai sudut. Ada sekeluarga yang sedang duduk di
kursi sambil menyuapi sang anak di kereta, ada sepasang suami istri dalam
balutan pakaian kantor duduk di rumput bersama seorang anak yang
menggunakan seragam sekolah. Ada juga beberapa pria yang setengah berlari
menuju sebuah bagian di taman, ternyata mereka hendak bergegas memenuhi
kebutuhannya pada sebatang rokok! Di taman itu juga disediakan sebuah ruangan
khusus untuk merokok dengan dilengkapi berbagai perlengkapan sehingga asap rokok tak mengganggu udara cerah taman. Penulis bisa mengungkap bagaimana keindahan
taman tersebut tidak hanya saat festival tapi juga setelah festival. Sama-sama
menawan.
Atau tentang ramen yang dalam buku ini dianggap makanan terkenal. Para
sahabat saya yang berada di sana mengatakan tidak semua raman halal, itu
sebabnya saya hanya bisa melihat dari kejauhan wajah nikmat sahabat saya saat
menikmati semangkuk besar ramen dengan kuah yang berwarna menggoda dengan asap
yang mengepul mengenai wajah disenja yang dingin. Andai saya menerima buku ini
sebelum berangkat, tentu akan saya tanya dimanakah ramen halal dijual.
Penulis
sepertinya beranggapan setiap pembaca memahami aneka masakan atau makna bahasa
Jepang dalam buku ini sehingga tak perlu memberikan ulasannya walau sedikit. Soal Takoyaki
misalnya, Takoyaki nama makanan asal daerah Kansai di Jepang, berbentuk
bola-bola kecil dengan diameter 3-5 cm yang dibuat dari adonan tepung terigu
diisi potongan gurita di dalamnya.
Memang pada setiap pergantian bab disebutkan sebuah
kata dalam bahasa Jepang berikut penulisan kanji dan artinya. Lalu ditambah dengan
sebait kalimat yang bisa dianggap saripati dari bab tersebut. Hanya saja tidak
semua kata ada artinya, pada halaman 80 misalnya tidak dituliskan apa makna kata tersebut.
Disebutkan pada halaman empat belas tentang kosakata bahasa
Jepang Hana yang terbatas sehingga ia kebingungan menjawab pertanyaan seorang anak
kecil. Hal ini agak aneh, karena di depan sama sekali tidak disebutkan tentang
Hana yang bisa mengerti bahasa Jepang walau hanya sedikit. Malah kian menjadi
aneh saat Hana dan teman barunya diceritakan menikmati suasana Yuki
Matsuri bisa berkomunkasi dalam bahasa Jepang walau hanya sepotong dan
dicampur dengan bahasa ala tarzan
Kemudian bagaimana asal mula para tokoh dalam kisah ini bisa saling
berhubungan? Misalnya bagaimana Hana dan Taka bisa terus berhubungaan selama
sekian tahun? Sebaiknya dikisahkan tentang pertukaran alamat kedua bocah
tersebut lalu dilanjutkan dengan era e-mail.
Satu hal yang sebenarnya mengganggu pikiran saya adalah bagaimana
kedua kakak adik tersebut bisa berkomunikasi dengan Hana tanpa ia menyadari
telah berkomunikasi dengan dua orang yang berbeda? Atau jangan-jangan Hana
hanya berkomunikasi dengan salah satu diantara keduanya, sementara yang lain
hanya diam meredam rindu sambil menanti saat pertemuan yang sudah dijanjikan
Juga bagaimana Hana bisa tak mengenai mana yang pertama kali
ditemuinya malam itu. Apakah Sho sang kakak atau Taka sang adik. Walau masih
anak kecil tapi usia Hana juga sudah cukup untuk mengingat wajah seseorang.
Penulis sebaiknya memberikan semacam hal lain sehingga menyebabkan kesalahan
Hana terlihat wajar. Seperti , "Wajah bocah itu agak tertutup syal yang
dibalutkan tinggi ke leher sehingga separuh wajahnya tak terlihat Hana. Hanya
jaket dan sarung tangan yang membuat Hana yakin itu bocah sama yang ditemuinya
kemarin." Semacam itulah.
Agar kisah dalam buku ini tidak hanya tentang urusan perasaan, penulis
mencoba memberikan unsur kejutan berupa penculikan ala mafia pada tokoh kita.
Hanya saja urusan penculikan tersebut kurang diramu dengan apik sehingga kesan
serba kebetulan. Begitu mudahnya masalah muncul dan terselesaikan.
Padahal idenya sudah cukup baik.
Judul buku ini juga agak membuat saya bingung. "Salju tak mampu
membekukan hatiku." Kenapa hati Hana harus membeku sementara ia justru
mendapatkan cinta sejatinya di Sapporo? Apakah beku dalam artian sakit hati
akan kelakuan kedua orang tuanya? Atau sebagai gambaran bahwa sedingin apapun
Sapporo hatinya tetap hangat karena cintanya pada seseorang.
Paling menarik adalah soal ilustrasi berwarna sebanyak kurang lebih 7
halaman. Dengan memandangnya saja saya sudah bisa menikmati keindahan festival.
Merasakan detak jantung Hana yang berdetak bahagia serta merasakan keceriaan
para penikmat acara festival. Bagian ini merupakan bagian terbaik dari
keseluruhan isi buku menurut saya. Sang ilustrator memainkan kuas/penanya
dengan begitu indah.
Sepenggal kalimat
mengusik hati saya, "Kalau ingin membalas kebaikan saya, balaslah
pada yang lain. Jagalah kebaikan dan kebajikan agar tetap menyebar …” Sederhana
tapi bermakna dalam. Saat hanya sedang mengalami kesusahan seorang wanita muda
membantunya. Ketika Hana bertanya tentang nama dan alamatnya, agar kelak dalam
kondisi yang lebih baik ia bisa menemui dan berterima kasih, wanita itu hanya
tersenyum memberikan jawaban singkat tadi.
Sebuah buku karya Enid Blyton juga memberikan pesan yang kurang lebih
sama. "Teruskan pahala kebaikan kepada sesama agar kebaikan terus
berputar." Dengan kata lain, jika saya menerima kebaikan seseorang, maka
saya juga harus berbuat kebaikan bagi kepada orang lain. Dan orang yang
menerima kebaikan saya harus melakukan kebaikan pada yang lain, maka kebaikan
akan terus menyebar di muka bumi. Indah.
Namun..... ada bagian dalam buku ini yang juga mengajarkan bahwa ramah memang perlu namun haruslah tetap berhati-hati. Jangan sampai sifat ramah dan keinginan untuk meneruskan kebaikan malah membuat kita celaka. Seperti yang dialami oleh Hana. Bijaklah dalam bersikap dan berikan teruskan kebaikan hanya pada mereka yang sangat layak menerimanya.
Mungkin karena buku ini diperuntukan bagi para remaja, maka banyak hal
kecil yang dirasa penulis tak perlu dijabarkan. Beda jika kisah ini ditunjukan
untuk dewasa, hal-hal kecil justru menjadi benang merah sebuah cerita.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, buku ini mengajarkan kita
untuk fokus pada tujuan serta mandiri dalam banyak hal. Semangat berusaha keras
meraih apa yang kita impikan karena tak ada yang tak mungkin selama kita yakin
mungkin.
SEMANGAT!!!!!!!
SEMANGAT!!!!!!!
komplit dan lengkap reviewnya, mba. jadi mau dikritisi mb truly :D
BalasHapus