Penyunting: Salahuddien GZ
Pemindai Aksara: Muhammad bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho
ISBN: 97897971611084
Halaman: 264
Penerbit : Dolphin
Harga Rp 49.800
Hong. Akshobhya tattwa kitang Isywara dewa dibya, Hyang Ratnasambawa sireki Bharata Datta, Sang Hyang Mahamara sirastam ikAmithaba, sryAmoghasiddhi sira Wishnu mahadhikara
(Wali Sanga hal 233)
Wali Sanga merupakan para tokoh penyebar Agama Islam di tanah Jawa pada awal abad 15 hingga pertengahan abad
16. Wilayah tersebut terutama adalah Surabaya, Gresik serta Lamongan di Jawa
Timur, Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Setiap murid di sekolah, termasuk saya dan (mungkin) anda, mendapat pengetahuan Wali Sanga adalah; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung
Jati. Sedikit siswa yang tahu Wali Sanga terdiri dari beberapa periode, mereka tidak hidup pada kurun waktu yang sama. Sembilan orang yang disebutkan adalah yang dianggap memiliki pengaruh paling kuat dalam penyebaran Islam, tentunya dengan tidak mengecilkan arti yang lainnya.
Buku yang terdiri dari tiga belas pupuh ini mengisahkan bagaimana penyebaran Islam di Jawa seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat serangan Demak pada Tahun
1478. Penulis mampu menggambarkan suasana bagaimana runtuhnya sebuah kerajaan besar dalam kalimat-kalimat menawan. Contohnya, "Orang-orang Atas Angin telah merajai lautan. Kebesaran
Majapahit merosot. Lautan, kunci utama utama kebesaran Majapahit, kini
telah dikuasai mereka. Carbon, Dermayu, Pergota, Demak, Jepara, Lasem,
Pamotan, Tandhes, Ujung Galuh semuanya telah dikuasai."
Saat itu para pemuka agama mulai mencampuri urusan administrasi negara atau urusan ketatanegaraan yang harusnya menjadi wewenang kesatria. Setiap kali para wali betemu, mereka seakan sekumpulan mantri kerajaan, sibuk membahas kekuasaan.
Syekh Siti Jenar yang tidak setuju dengan sikap tersebut memutuskan keluar dari perkumpulan pemuka agama tersebut. Konon dari sanalah istilah Wali Sanga bersumber. Keluarnya Syekh Siti Jenar membuat perpecahan dalam tubuh Wali Sanga serta membuat suasana kian memanas di Bumi Jawa.
Bagaimana suasana tidak bergejolak. Sunan Giri selaku pemimpin para wali memerintahkan pembakaran lontar leluhur Siwa Budha yang masih disimpan oleh para penduduk penganutnya. Umumnya lontar tersebut berisi tata cara upacara yang rumit, tak mungkin dihafalkan. Para prajurit yang mengambil paksa lontar dari rumah penduduk jelas menimbulkan keresahan.
Dibandingkan dengan film dengan judul sama, buku ini jelas menawarkan cerita yang berbeda. Sosok Sunan Kali Jaga , yang dalam buku ini disebut Susuhunan Kali misalnya. Dalam film , sang sunan, yang merupakan putra adipati Tuban, Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur hanya diceritakan suka mencuri dan merampok untuk diberikan kepada rakyatnya yang membutuhkan. Sementara dalam buku ini dikisahkan betapa liarnya Susuhunan Kali alias Raden Said alias Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman hingga akhirnya menjadi murid Sunan Bonang. Ada perbedaan versi, tapi semuanya berpulang pada keyakinan pembaca masing-masing.
Susuhunan Kali sangat toleran pada budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Dahwah dilakukan melalui kesenian misalnya wayang. Konon lagu Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul merupakan gubahan beliau. Begitu juga dengan pencetus perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").
Peran Susuhunan Kali dalam buku ini tergambar begitu besar. Simak kalimat berikut, "Di layar ikatan Susuhunan Kali, seketika terbayang perjanjian yang dibuatnya dengan Sabda Palon di tlatah Blambangan, tak lama setelah Majapahit hancur. Perjanjian yang menegaskan bahwa penguasaan atas Nusantara diserahkan kepada mereka yang seagama dengan Susuhunan Kali, dan Nusantara harus dimakmurkan. Jika sampai lima ratus tahun kemudian kemakmuran belum menghampiri Nusantara, maka Sabda Palon akan menagih janjinya. Susuhunan Kalijaga harus bekerja keras untuk itu." (halaman 320-321)
Secara garis besar, buku ini memberikan pemcerahan dan pemahaman yang berbeda mengenai penyebaran Islam di Pulau Jawa, sosok para wali serta Syekh Siti Jenar. Penulis menguraikan sejarah dengan bahasa yang mudah dipahami. Terpenting tidak berkesan menggurui dan membosankan. Lokasi yang berpindah-pindah bukan menjadi kendala menikmati kisah ini.
Agar memudahkan pemahaman pertalian hubungan antara para tokoh, penulis memanjakan pembaca dengan memberikan lima silsilah. Silsilah tersebut adalah; Silsilah Raja-raja Singasari dan Majapahit; Silsilah Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Benang, Sunan Derajat, dan Syekh Siti Jenar; Silsilah Sunan Kalijaga dan Sunan Murya; Silsilah Trah Pengging dan Tarub; Silsilah Sultan-sultan Demak. Urusan riset, penulis ini memang terkenal sangat tekun. Hasil risetnya kadang mengejutkan, tapi bisa dipertanggungjawabkan. Hal tersebut membawa wawasan baru bagi pembaca karyanya.
Pembaca yang menikmati kisah-kisah besutan Damar yang lainnya, tentunya akan menemukan benang merah dengan kisah ini. Banyak hal yang masih samar di kisah-kisah lain terungkap dalam kisah ini. Namun begitu, sosok Jangkung mengusik rasa ingin tahu saya. Apa peranannya dalam buku ini masih belum terungkap, tak mungkin sekedar merupakan sosok pertanda di masa depan.
Kalimat "Novel ini membabar konflik-konflik di tanah Jawa sepanjang tahun 1493-1494, yang sangat jarang dikisahkan" sungguh tepat. Intrik yang terjadi, peperangan serta masih banyak hal menawan yang diracik dengan apik oleh penulis.
Seperti juga wayang yang sering digunakan sebagai sarana dakwah, buku ini dibuka dengan penampilan gunungan. Dalam wayang, gunungan bisa diartikan dimulainya sebuah cerita, sebuah fase baru dalam kehidupan. Menilik runtuhnya Majapahit serta perkembangan Islam, maka bisa dikatakan dimulainya babak baru dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Bicara soal kover, jelas mengundang banyak rasa penasaran. Warnanya dibuat gelap, menandakan suasana yang terjadi saat itu, suram. Sosok berbusana putih serta mesjid bisa diasumsikan sebagai kisah wali. Tokoh punakan dan gunungan jika dikaitkan dengan sosok wali akan mengarah pada Susuhunan Kali. Dengan hanya menilik kovernya saja, sudah terbayang kisah menawan apa yang ada di dalam buku ini.
Kisikan seseorang menyebutkan judul buku kedua yang sensasional, layaknya tokoh tersebut. Sungguh mengusik rasa ingin tahu.
Penasaran.
Sangat Penasaran!
Sebuah novel yang cukup menarik buat saya, namun pemaparan masih terasa keberpihakan dari pengarang yang lebih condong kepada unsur kejawaan (kejawen). Mungkin penggambaran sisi wali sangha lebih banyak diisi dengan gambaran radikal dan pengarang lebih condong pada pemahaman Syekh Siti Jenar yang cenderung filsafat gabungan Jawa-Islam.
BalasHapusDalam Islam yang benar, adalah kaffah ... tinggalkan yang dianut nenek moyang dan jalankan syariat secara benar dan mendalam (harus berilmu dan berpikir)... pada titik ini pengarang tidak menggambarkan secara apik.
Namun pemaparan sisi sejarah sangat bagus, terasa sekali pembaca benar-benar memasuki dunia Jawa pada abad ke 15.
Sebuah novel yang santun membawakan misi sejarah didalamnya.
♡·♥τнänkчöü♥·♡ masukannya.
BalasHapusSy teruskan ke penulis yahh
syeh siti jenar adalah toko kontroversial yang memberi warna antara baik dan buruh, hitam dan putih.
BalasHapusMohon maaf mau tanya kepada bapak/mas
BalasHapusUntuk tulisan arab yg berada di tengah gunungan itu bacanya apa ya ?
Saya cuman paham belakangnya mgkin wali ya? Klo yg depan apa?
Mohon di balas klo ada waktu,mksi