Editor: Kundharu Saddhono
ISBN: 979-3192-1-06-2
Halaman: 223
Penerbit: Citra Etnika
Mendaknya kurang mbak...
Ngitingnya lebih luwes lagi....
Mendak
merupakan salah satu posisi dalam menari. Kurang lebih maknanya adalah
merendah atau menunduk dengan melipat lutut kedua-duanya. Jika penarinya
adalah laki-laki maka lutut itu terbuka lebar.
Ngiting
merupakan posisi membengkokkan jari-jari. Ujung ibu jari ditemukan
dengan jari tengan sementara jari-jari lainnya dibengkokkan. Untuk
tarian putri, jari tengah dan ibu jari dilipat setelah ditemukan
sementara jari lainnya lurus.
Kedua kata itu yang paling saya ingat sampai saat ini, karena guru saya paling sering menyebutkannya saat kami sedang Joged. Joged
sering dipergunakan untuk menyebutkan tarian yang dilakukan oleh
manusia. Setiap hari Rabu, sudah dipastikan aku dan para sepupu terkena
"Wajib Joged" Buatku itu hal yang menyenangkan. Saat joged, aku merasa
menyatu dengan lingkungan, autis dengan dunia sendiri.
Salah
satu yang saya sukai adalah Tari Gambyong, terutama sekali karena
tarian ini harus ditarikan secara dinamis namun tetap anggun. Dahulu,
hanya itu alasan kenapa aku lebih suka menarikan tarian ini dibandingkan
yang lain. Apa maknanya sama sekali tidak kuketahui. Baru hari ini info
seputar tari gambyong kudapat.
Buku
ini awalnya merupakan tesis sang penulis lalu dikembangkan menjadi buku
seperti ini. Secara garis besar isinya terdiri dari enam bagian yaitu:
1. Tari Gambyong: Sebuah Pengantar
2. Sejarah Tari Gambyong
3. Bentuk Sajian Tari Gambyong
4. Perkembangan Tari Gambyong
5. Nilai Estetis Tari Gambyong
6. Catatan Akhir.
Di
akhir tiap bagian diberikan daftar pustaka sehingga pembaca selain bisa
mengetahui sumber penulisan juga bisa mendapat informasi kemana harus
merujuk jika ingin mendapat info lebih baik.
Tari Gambyong bisa dikatakan merupakan perkembangan dari tari dari tari tledhek atau tayub. Istilah
gambyong mulai dipergunakan dalam Serat Centhini yang ditulis pada
abab XVVIII. Simak saja Tembang Wirangrong, pupuh 193, bait 1:
Ni Radha nauri aris,
nggih leres sedhenge gambyong
minder Ni Sembada alon matur mring tamunireki
sumangga ing sakersa luware nadar kawula
Ada
juga anggapan yang menyebutkan bahwa istilah gambyong berawal dari
seorang penari tledhek bernama Gambyong yang hidup pada zaman
Susuhunan Paku Buwana IV (1788-1820). Penari tersebut memiliki kemahiran
dalam menari dan kemerduan dalam suara. Hal ini juga disebutkan dalam
Buku Cariyos Lelampahanipun Suwargi R.Ng Ronggowarsito.
Anggapan lain menyebutkan bahwa gambyong merupakan kependekan dari Gambirsawit dan Boyong, nama gendhing/lagu yang mengiringi tarian tayub. Tari
gambyong memiliki teknik yang lebih rumit dan ketat dibandingkan
tledhek. Terutama sekali karena tarian ini disajikan di lingkungan
keraton pada awalnya. Tari ini secara lahiriah menampilkan tentang
seorang wanita yang memiliki kepribadian lincah, gebit, lemah gemulai,
luwes serta gembira.
Kareografi tari ini sebagian
besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan dan kepala.
Gerakan tangan berwujud dinamis sementara gerakan kepala halus dan
terkendali. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak
tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan
gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat
sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis. Sebut
saja gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil), kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak kaki tetap merapat ke lantai
Gerak kaki yang merupakan ciri khas pada tari Gambyong adalah gerak embat atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas. Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung,seperti , kengser, dan nacah miring.
Belakangan,
tari Gambyong telah mengalami banyak perubahan baik dari sisi susunan
tarian, iringan bahkan busananya. Hal ini terbukti dengan banyak
kegiatan yang menampilkan tarian tersebut, bahkan dalam bentuk tarian
massal.Misalnya disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu
resepsi perkawinan.
Secara keseluruhan banyak info yang
yang saya dapat seputar tari gambyong dalam buku ini. Hanya sayangnya
buku ini sering menggunakan istilah Jawa yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Akan sedikit susah untuk dipahami jika pembacanya adalah
orang yang tidak memiliki latar belakang Jawa, minimal mengerti
bahasaJawa
Membaca buku ini membuat saya jadi kangen Pak Har, guru joged keluarga kami. Sering waktu, saya "naik kelas" bukan joged tapi
karawitan.Tetap saja mengasyikan buat saya. Memainkan saron, demung,
peking, bahkan gong seakan membawa suara merdu dari alam lain. Musik
yang langka bisa saya dengar di ibukota
Jaman memang sudah berubah.....
Gambar: Seni Tari Jawa oleh Clara Brakel-Papenhuyzen bekerja sama dengan Ngaliman S
postingnya bagus sob makasih
BalasHapusjangan lupa berkunjung ke web kami di
http://stisitelkom.ac.id
terima kasih sob posting nya bagus
BalasHapusjangan lupa juga kunjungi situs kami di
HTTP://stisitelkom.ac.id
terima kasih sob posting nya bagus
BalasHapusjangan lupa juga kunjungi situs kami di
http://stisitelkom.ac.id
Thanks infonya. :)
BalasHapusAwal mula istilah Gambyong berawal dari nama seorang penari taledhek yang bernama Gambyong yang hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.
BalasHapusasyu ,bagus banget postingannya
BalasHapus