Judul asli: Arai
Penulis: Ian Sancin
Penyunting: M. Sidik Nugraha
Pewajah isi: Siti Qomariah
ISBN: 978-602-290-048-1
Halaman: 492
Cetakan: Pertama-Juli 2015
Penerbit: Serambi
Harga: Rp 69.000
"Sang kekasih sejati selalu datang sendiri ketika batin tersuci memintanya, sejauh apa pun dia telah pergi ..."
Akhirnya!
Penantianku akan buku kedua ini seperti penantian cinta salah seorang tokoh dalam kisah ini. Sejak jatuh hati pada rangkaian kata pada buku pertama, tak sabar menanti buku kedua. Butuh enam tahun lamanya. Biarlah lambat dari pada tidak. Rasa cintaku terpuaskan sudah, untuk sementara. *langsung disambit yayang*
Dalam buku ini, giliran keturunan dari penguasa terdahulu yang mengambil peran. Tokoh utama dalam kisah ini "aku" merupakan anak dari Depati Cakraningrat III, Pangeran Siasip. Sehari-hari ia biasa disebut Arai, si anak arai. Hal itu dikarenakan ia tidak segan dan malu-malu bertanya hingga ke inti perkara sebenarnya. Kadang pertanyaan tersebut bisa membuat jengkel seseorang, karena ditanyakan berulang kali hingga terasa cukup jawaban yang diterima. Ia juga sering dianggap berbahaya dan tak mampu menyimpan rahasia. Maka bisa dibayangkan betapa kagetnya ia saat sang kakek memberitahukan sebuah rahasia besar tentang Putri Yin Galema, putri yang tak pernah mati.
Tunggu!
Sebelum melanjutkan membaca kisah ini, ada baiknya terlebih dahulu membaca silsilah yang ada di bagian depan. Maksudnya agar lebih bisa memahami bagaimana jalan cerita dan keterkaitan para tokoh yang ada.
Percayalah. Hal itu sangat membantu menimati kisah. Sayangnya posisi cetak silsilah yang tidak searah seperti Peta Kerajaan dan kover muka membuat pembaca harus membalik posisi buku terlebih dahulu.
Peta kerajaan yang disebutkan di atas adalah peta kerajaan Balok Belitong. Berhubung lokasi kisah dalam buku ini beragam, maka dengan membaca peta yang ada kita bisa mendapat gambaran mengenai lokasi sebuah peristiwa serta bagaimana pengaruhnya terhadap peristiwa yang lainnya. Misanya saat membahas Arai yang pergi berlayar, pembaca bisa memahami seberapa jauh serta berbahayanya perjalanan itu, kenapa ayahnya melarang ia pergi berlayar selama sang ayah tidak ada di kerajaan. Tentunya bukan karena pertimbangan politik semata.
Seperti kebanyakan pemuda, Arai juga mengalami yang namanya proses jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada Alina Guan, seorang saudagar Cina. Cinta yang membawa masalah. Masalahnya bukan hanya mereka berbeda asal, namun banyak hal lain. Usia perempuan cintaku, begitu Arai memanggil pujaan hatinya, lebih tua beberapa tahun. Di Negeri Balok tidak ada istri yang lebih tua dari suaminya, karena sang suami harus melebihi si istri dalam segala hal. Termasuk usia.
Belum lagi, ternyata saudara sepupunya juga menaruh hati. Kisah cinta ini nyaris membuat pertikaian keluarga. Serta mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan. Begitulah paket cinta, berisi kesenangan, kebahagiaan, kegembiraan plus duka, nestapa serta amarah.
Berhubung ini merupakan novel dengan latar belakang sejarah kerajaan Balok Belitung pada abad ke-15, maka kita juga akan disuguhi kisah tentang bagaimana kehidupan bermasyarat di sana, selain kehidupan keluarga Arai, roda pemerintahan serta bagaimana penyebaran agama Islam di sana.
Arai, sang tokoh digambarkan dengan karakter yang kuat. Perkembangan karakternya sejak masih menjadi anak sang putra mahkota, lalu menjadi putra mahkota serta seterusnya terlihat konsisten. Semakin lama, karakternya terlihat semakin kuat dan dewasa. Pemikiran dan gaya bahasanya juga kian berkembang matang.
Saat menguraikan tentang mantra umur panjang Ki Ronggo Udo misalnya. Dahulu Arai menganggap mantra sendirilah yang bekerja untuknya. Maka mantra dianggap sakti. Namun seiring waktu ia menyadari bahwa mantra bisa menjadi tidak sakti jika Allah tidak mengabulkan. Mantra hanyalah rangkaian ayat atau kalimat pembuka jalan menuju ke keinginan. Makbul atau tidaknya hanya atas kebesaran Allah yang melulskannya, bukan karena mantra itu.
Untaian kisah dalam buku ini banyak mempergunakan bahasa kiasan dengan halus, simak saja kalimat "Matamu menyimpan banyak pohon. Di antaranya mengatakan kau teramat risau walau saat mata terpejam." Serta kalimat, "Bara api tak mungkin padam jika kayunya terus dirampungkan." Menyindir dengan bahasa halus sepertinya lebih mengenai dari pada berteriak atau mempergunakan kekerasan. Butuh pengendalian diri yang kuat untuk bisa tersenyum namun memberikan kecaman dengan tajam. Sepertinya syaraf pada bangsawan saat itu cukup kuat hingga mampu melakukan hal seperti itu.
Bagian dengan judul Negeri tanpa Waktu menguraikan tentang kesulitan yang didapat kedua insan tersebut pada suatu tempat. Sayangnya penyelesaiannya berkesan begitu mudah pada halaman 175. Saya merasa segala hal yang mereka upayakan guna bertahan hingga masalah terpecahkan, selesai dengan kata "Lilin dapat dipadamkan." Akhir seperti itu membuat bagian ini menjadi kurang greget.
Saya tak sabar menunggu bagian di mana Putri Yin Galema muncul. Bagian itu pasti ada, mengingat ini buku kedua. Meski demikian rasa penasaran membuat saya menurunkan kecepatan membaca agar bisa lebih menikmari saat-saat menawan itu.
Di akhir buku, kita akan menemui sebuah bagian yang diberi judul Tentang Sejumlah Istilah dan Tokoh. Sesuai dengan namanya, bagian ini memberikan penjelasan panjang lebar namun mudah dipahami mengenai berbagai istilah dan nama tokoh yang ada dalam kisah ini. Misalnya, apa itu beruman (kolong rumah atau bawah rumah); tengkaran (sikap membandel tak menuruti saran dan nasehat); Jan de Harde (orang Belanda pertama yang diutus VOC, guna penelitian wilayah Pulau Belitong) dan masih banyak lagi.
Dengan kover yang menarik, buku ini akan terlihat beda dengan buku-buku yang lain. Sosok pemuda berbaju coklat dengan ikat kepala ungu, bisa kita asumsikan adalah sosok Arai. Penggambaran yang pas, untunglah yang bertugas membuat desain tidak latah memberikan warna kulit putih bersih. Sebagai pangeran kerajaan Balok Belitong, tak mungkin kulit Arai berwarna putih, pastilah gelap karena pengaruh matahari dan suasana laut.
Satu kata yang membuat saya tercenung, lebai. Kata tersebut membuat saya teringat dengan bahasa ala anak alay yang sering dipergunakan dalam pergaulan. Penulisannya mungkin agak beda karena mempergunakan huruf "i" sementara versi ABG mepergunakan huruf "y" diakhir kata, pengucapannya bisa saja mirip. Maknanya sangat berbeda. Lebai dalam buku ini adalah panggilan bagi seseorang yang taat dan paham tentang agama Islam, sering menjadi penghulu agama pada sebuah permukiman. Biasanya ia dipercaya untuk mengurus mesjid (hal 481). Sementara Lebay dalam bahasa gaul berarti melebih-lebihkan sesuatu.
Kekurangan buku ini, bagi saya, ada pada penggunaan jenis huruf yang kurang nyaman dilihat. Jenis huruf yang digunakan agak kecil dan tipis. Sepertinya bukan yang biasa digunakan untuk buku jika saya bandingkan dengan beberapa buku yang sedang saya baca. Entah untuk mengatasi masalah ketebalan halaman, yang tentunya akan berpengaruh pada harga jual. Atau sekedar untuk kepentingan artistik semata.
Serta sebuah bagian yang menyinggung tentang perjalanan cinta Arai serta Alina Guan. Walau menyukai sosok Arai, ada juga saat saya merasa Arai terlalu bimbing bagaimana harus bersikap dalam persoalan yang menyangkut kekasih hatinya. Tapi cerita, harus ada plus dan minus karakter tokoh utama supaya terlihat lebih hidup.
Bagi yang ingin mengetahui tentang Belitung, bisa mengunjungi situ resmi pemerintah setempat di http://portal.belitungkab.go.id
Si tukang cerita, Ian Sancin lahir di Tanjungpandan, kota negeri peninggalan Kerajaan Balok Belitong. Berita yang beredar, saat ini Ian Sancin sedang dalam proses penyusunan buku ketiga. Semoga saya tidak harus menunggu enam tahun lagi untuk bisa menikmati buku ketiga.
-------------
Cintaku
Belahan jiwaku
Aku tak ingin menjadi Putri Yin Galema dan Tuan Kanda Badau
Tidak juga menjadi Pangeran Siasip dan Alina Guan
Apalagi berada di Negeri Tanpa Waktu bersamamu
Aku hanya ingin menjadi bayanganmu
Karena kisah cinta mereka terlalu indah untuk disamakan dengan kisah kita.
Oh ya buku ini bisa dibaca terpisah tanpa perlu baca buku pertama.
BalasHapus