Penulis: E. Nesbit
Alih Bahasa: Widya Kirana
Ilustrasi: Martin
Dima
ISBN: 9786020638843
Halaman: 312
Cetakan: Ketiga-2020
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 63.000
Rating: 3/5
"Nah, dengar, Sayang. Kita memang miskin, tapi kita masih
punya cukup uang untuk hidup. Kalian tidak boleh menceritakan kesulitan kita
pada siapa pun – itu keliru. Dan kalian tidak boleh, sama sekali tidak boleh,
meminta sesuatu pada orang asing yang tidak kalian kenal. Ingat kata Ibu!
Janji?”
~Anak-anak Kereta Api, hal 79~
~Anak-anak Kereta Api, hal 79~
Kadang, kehidupan bisa berbalik begitu saja. Tak ada yang
tahu bagaimana kehidupan kita akan berjalan. Demikian juga dengan kehidupan
Roberta, Peter dan Phyllis. Semula mereka hidup dengan nyaman bersama kedua
orang tuanya di Vila Edgecomble. Segala keinginan dan kebutuhan terpenuhi, ada
pelayanan yang selalu siap. Mereka tak perlu khawatir kekurangan apapun
sehingga bisa makan roti dengan mentega dan selai sekaligus. Ketiga bersaudara
tersebut juga mendapat pendidikan yang bagus terutama mengenai sopan santun
yang sangat baik dari Ibu mereka. Suatu
hal akan sangat bermanfaat bagi mereka kelak.
Suatu malam, dua orang pria datang dan berbicara serius
dengan Ayah. Sejak itu semuanya berubah. Rumah mereka sekarang bukan lagi di Vila Edgecomble yang penuh
barang mewah, tapi di Pondok Tiga
Cerobong di atas bukit dekat rel kereta. Jika dulu Ibu sering menuliskan kisah atau
puisi untuk hiburan mereka, maka
sekarang dengan cara itu Ibu menghidupi mereka. Mereka jarang bermain
bersama Ibu, karena Ibu harus mencari naskah.
Mereka harus berhemat pada banyak hal, batu bara, selai, bahkan kue-kue yang biasa disantap sambil minum teh sore. Kemewahan akan diperoleh jika ada yang mau menerima karya Ibu. Singkat kata, mereka kehilangan kehidupan nyaman, dan harus beradaptasi untuk dapat hidup dalam keterbatasan.
Meski demikian, anak anak itu selalu mengisi hari hari
dengan berbagai kegiatan. Untunglah
sifat riang gembira dan saling menyayangi membuat mereka mampu bertahan. Sikap
sopan-santun yang diajarkan kedua orang tua
membuat ketiga anak tersebut bisa diterima dengan baik di lingkungan
sekitar.
Ketiganya sering sekali melihat kereta api yang lewat,
hingga hafal jam melintas kereta api.
Karena memiliki daya khayal tinggi,
mereka memberi nama bagi kereta-kereta tersebut. Misalnya ada Naga Hijau
yang lewat pada pukul 09.15, atau ada Hantu Malam yang lewat tengah malam.
Mereka juga suka melambaikan saputangan Naga Hijau.
Karena seringnya berurusan dengan hal kereta api, termasuk
akrab dengan petugas di sana, maka mereka disebut dengan anak-anak kereta.
Berbeda dengan makna anak kereta yang berlaku di negara kita bukan?
Bagian yang mengisahkan bagaimana ketiga anak tersebut rindu
pada Ayah mereka membuat kisah menjadi bernuansa sedih. Selama ini mereka
sangat dekat dengan Ayah yang selalu ada jika mereka membutuhkan. Mendadak
mereka tak tahu Ayah ada di mana, bagaimana keadaannya. Bahkan mengirim surat
pun menjadi hal yang mustahil. Seolah-olah Ayah hilang ditelan bumi.
Penulis terlihat sekali menyukai sosok Roberta alias Bobbie. Selain dari pengakuannya, porsi perannya dalam kisah ini juga lumayan besar dibandingkan kedua adiknya. Misalnya bagaimana ia sering menahan diri untuk tidak berkata apa-apa ketika melihat Ibu menangis.
Atau ketika ia menjadi sosok pertama yang tahu mengenai apa
sesungguhnya yang terjadi dengan Ayah dibanding kedua adiknya. Ia juga
berdiskusi dengan Ibu, bahkan mengambil inisiatif memohon bantuan pada
seseorang yang dianggapnya mampu
mengatasi seluruh masalah di dunia.
Pada awalnya, kisah berjalan agak lambat, kemudian berbagai
persoalan muncul sehingga membuat kehidupan mereka menjadi semakin menarik.
Sayangnya, bagian penutup berkesan terlalu terburu-buru. Seakan penulis ingin
segera mengakhiri kisah. Sehingga segala keceriaan dan keramaian yang
sebelumnya dibangun mendadak hilang.
Meski demikian, ada pesan moral yang layak dibagikan pada
pembaca. Sepanjang 14 bab, pembaca akan mendapat gambaran bagaimana ketiga anak
dan Ibu mereka bisa berdapatasi dengan berubahan yang terjadi.
Mereka tidak serta merta menyalahkan keadaan, namun berusaha
membuat keadaan menjadi lebih baik bagi
diri mereka. Situasi tersebut membuat mereka tumbuh menjadi anak yang saling
menyanyangi, pemaaf, mandiri, berani,
dan pastinya jujur.
Ibu ketiga anak tersebut juga perlu diberikan acungan
jempol. Kesabarannya dalam mendidik ketiga anak tersebut dalam situasi yang tak
menentukan, tidaklah mudah. Sungguh beruntung, keahlian bisa menjadi modal
dalam menenuhi kebutuhan hidup. Para
wanita sebaiknya juga mengambil sisi baik dari tokoh ini.
Termasuk didikan untuk tidak meminta kepada orang lain walau
mereka susah. Serta bersikap hati-hati dalam berbuat baik, karena bisa saja
hasilnya tidak sebaik yang kita perkirakan. Kadang niat baik saja tidak cukup.
Seperti kasus yang terjadi dengan Mr. Albert Perks.
Beberapa bagian kisah, misalnya ketika terjadi pertengkaran
antar sesama anak, perlu diingat buku ini pertama kali diterbitkan pada
tahun 1906 . Tentunya ada banyak perbedaan
dengan situasi dan kondisi saat ini. Bagi saya, alasan Peter marah hingga bertengkar dengan saudarinya agak lebay. Tapi mungkin saat itu hal tersebut
adalah wajar.
Meski lambat, pada bagian yang mengisahkan tentang seorang
penulis Rusia yang dikurung selama tiga tahun sendirian di penjara bawah tanah,
memicu adrenalin saya. Meski hanya mengambil bagian kecil dari keseluruhan
kisah namun bagian ini memicu kembali semangat saya untuk menamatkan buku ini.
Dalam buku Mengenal Kereta Api Barang Indonesia karangan
Nilla Endah, kereta barang adalah kereta
yang dipergunakan untuk mengangkat aneka
barang. Mulai dari kargo, pupuk. hasil tambang, hingga perlengkapan militer. Di Indonesia, keret6a barang terdiri dari KA
Barang curah, KA Batu Bara, KA Angkut Semen, KA Ballast/Kricak, KA Pulp, KA
Pupuk, KA Peti Kemas, KA Antaboga, KA Logistik (KALOG), KA PArcel, serta KA Pengangkut Tebu.
Edith Nesbih sang pengarang, lahir di Kennington, Surrey 15
Agustus 1858 dan meninggal pada usia 65 tahun 4 Mei 1924. Ia merupakan penulis dan penyair Inggris yang lebih senang
menerbitkan karyanya dengan nama E. Nesbit. Sebagian besar karyanya adalah buku
anak.
Kisah Anak-anak
Kereta Api, semula adalah kisah bersambung
di The London Magazine pada tahun 1905. Baru pada tahun 1906 diterbitkan dalam bentuk buku. Dan telah
diadaptasi ke layar lebar. Ada anggapan yang menyebutkan bahwa kisah ini t
terinspirasi dari perjalanan Edith ke stasiun kereta Chelsfield yang terletak
dekat dengan tempat tinggalnya, di sana ia mengamati konstruksi pemotongan
kereta api dan terowongan antara Chelsfield dan Knockholt.
Sumber gambar:
Goodreads
Sumber gambar:
Goodreads
Tidak ada komentar:
Posting Komentar