Judul asli: Kisah Hidup Queeny Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan
Penulis: Queeny Chang
Alih bahasa: Maria Elvire Sundah
Desain isi: Nur Wulan Dari
Desain sampul: Yan Moersid
ISBN: 9786020334424
Halaman:259
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: Pt Gramedia Pustaka Utama
Kita perempuan harus mengalah kepada suami kita. Kalau tidak, perkawinan bisa berakhir dan gagal. Kalau istri selalu bertengkar dengan suami, tidak ada damai di rumah, dan rumah yang tidak damai membawa petaka.
~ Bibi Liu, Kisah Hidup Queen Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan, hal 47~
Buku bernuasa merah muda setebal dua ratusan halaman ini berkisah tentang sosok Queeny Chang, anak pertama dari Tjong A Fie,
seorang pengusaha terkemuka dan pemimpin masyarakat Tionghoa di Medan pada akhir abad ke-19.
Meski merupakan anak perempuan, terlahir dengan nama Foek-yin, namun ia
selalu menjadi kesayangan sang ayah. Dalam
buku ini terlihat jelas bagaimana sosok ayah yang sangat memanjakan putrinya. Terlihat sekali kedekatan mereka
berdua melalui kata-kata di bagian awal buku, "Menghadiahiku tahun-tahun terindah dalam
hidupku."
Meski merupakan autobiografi penulis, untuk seorang wanita berusia 80 tahun, ingatan
tentang masa lalunya sunggguh luar biasa. Begitu banyak rincian yang disampaikan. Sehingga membaca buku ini seakan mendengarkan
ia bercerita secara langsung di hadapan kita.
Sekedar mengingatkan bagi yang lupa, pengertian autobiografi, ada juga yang menyebutnya otobiografi adalah sebuah tulisan mengenai kehidupan penulis. Mulai saat kecil hingga saat tulisan dibuat. Lebih lengkap bisa dilihat di sini.
Secara garis besar, buku ini terdiri dari lima
bagian. Bagian pertama berkisah
tentang kelahiran penulis hingga dewasa. Dari pertemuan dan pernikahan kedua orang
tuanya, hingga masa-masa kecil ketika ia begitu dimanjakan oleh sang ayah.
Bagian kedua tentang pernikahan penulis hingga
memiliki seorang anak laki-laki, termasuk bagaimana ia harus beradaptasi dengan
keluarga suami. Bukan hal mudah, terutama karena kendala bahasa.
Bayangkan 2 orang yang menikah namun untuk berkomunikasi satu dengan lainnya sangat sulit. Kalau zaman sekarang, bisa terjadi perang dunia dalam rumah tangga, kendala komunikasi sering dijadikan alasan.
Bayangkan 2 orang yang menikah namun untuk berkomunikasi satu dengan lainnya sangat sulit. Kalau zaman sekarang, bisa terjadi perang dunia dalam rumah tangga, kendala komunikasi sering dijadikan alasan.
Sepertinya kita
perlu belajar pada kebesaran hati mereka berdua, menerima pasangan yang
dijodohkan sampai akhir hayat dengan segala kelebihan dan kkurangan.
Bagian
ketiga berisikan uraian tentang hubungan penulis dan suami, terutama karena
sang suami nyaris mengalami kematian. Meski mereka saudah bisa
berkomunikasi dengan baik, namun banyak hal yang harus dihadapi. Hubungan
keduanya lebih menjadi hubungan persaudaraan dari pada pernikahan.
Bagian keempat berisikan tentang pernikahan
adik ipar penulis dengan adik kandungnya, bagaimana sang anak laki-laki penulis
pada akhirnya justru dibesarkan oleh sang nenek dari pihak ayahnya. Juga
perihal kondisi ekonomi pada saat Perang Dunia Pertama.
Bagian
terakhir, bagian kelima sedikit berbeda dengan keempat bagian lainnya. Selain
kisahnya lebih suram, karena memuat tentang sang ayah yang meninggal pad atahun
1920, juga beberapa peristiwa meneydihkan lainnya.
Suasana muram muncul pada bagian ini. Sedih rasanya keseluruhan kisah hidup yang menggembirakan, suasana ceria, ditutup dengan akhir yang seperti ini.
Suasana muram muncul pada bagian ini. Sedih rasanya keseluruhan kisah hidup yang menggembirakan, suasana ceria, ditutup dengan akhir yang seperti ini.
Dalam
kehidupannya, sosok sang ibu merupakan orang yang paling berperan
dalam keluarga penulis. Meski banyak
keputusan tetap diambil oleh sang ayah. Sang ibu sadar betul bagaimana posisi
suaminya di masyarakat sehingga terus berusaha mengembangkan diri agar layak
untuk mendampingi sang suami. Mulai dari cara berpakaian, pergaulan, bahasa,
hingga cara mendidik anak.
Ibu
penulis juga yang beranggapan bahwa tanpa pendidikan yang baik, orang Tionghoa
tidak akan pernah setara dengan orang-orang asing. Maka ia selalu menemani penulis untuk belajar meski ia tak paham apa yang
sedang dipelajari oleh anaknya.
Penulis yang dimaksukkan ke sekolah Belanda atas kehendak sang ayah, juga belajar bagaimana berbahasa Mandarin pada kerabat atas perintah sang ibu.
Penulis yang dimaksukkan ke sekolah Belanda atas kehendak sang ayah, juga belajar bagaimana berbahasa Mandarin pada kerabat atas perintah sang ibu.
Selain urusan aneka perhiasan yang dipakai baik oleh kaum pria dan wanita, perabotan mahal, salah satu bukti kekayaan keluarga penulis adalah tentang rumah peristirahatan mereka di desa Poeloe Brayan yang memiliki kebun binatang.
Mereka memiliki berbagai hewan yang luar
biasa, "Di belakang kebun, di lahan terbuka yang luas dan berpagar , ada
burung kasuari, jerapah, zebra, dan keledai abu-abu. Di antara hewan-hewan itu
berlompatan beberapa kanguru; salah satunya punya bayi yang mengintip dari
balik kantong di perutnya."
Dengan
membaca buku ini, kita mendapatkan banyak gambaran mengenai bagaimana kehidupan
kaum peranakan, terutama di Medan. Meski banyak hal yang diuraikan oleh penulis terkait dengan kehidupannya secara pribadi, namun lumayan mmberikan informasi.
Seperti misalnya yang tertulis di halaman 5,"Ibuku mengenakan baju pesta yang sangat
cantik; kebaya dan kain songket dari sutra warna merah anggur hasil tenunan
tangan yang ditingkah benang emas, bahan yang dibuat khusus untuk keluarga
ningrat." Pembaca jadi tahu bagaimana gaya busana saat itu.
Beberapa
pertanyaan muncul dalam benak saya, terutama soal keuangan. Walau pun bisa dikatakan
keluarga mereka adalah Crazy Rich Peranakan
di Medan, namun membiaya perjalanannya dengan sang suami selama 5 tahun
tentunya tidak murah.
Lalu dari mana mereka mendapatkan biayanya? Apakah
ditanggung oleh keluarga besar? Meski ada
suatu bagian yang mengisahkan tentang Queeny mendapat pekerjaan pertama karena kemampuan
bahasanya. Sepertinya uang bukanlah masalah untuk mereka hingga akhir hayat.
Buku ini sangat perlu dibaca oleh mereka yang tertarik mengenai kehidupan masyarakat peranakan pada akhir abad ke-19. Terutama sekali mereka yang hidup di Medan. Kita ambil yang baik dari bacaan ini.
Inspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar