Editor: Reita Ariyanti dan karina Anjani
ISBN:9786020678320
Tapi, menurutku, tugas manusia adalah bertahan hidup.
-hal 313-
Dalam buku ini, pembaca akan kembali berkelana bersama Samiam Noguera. Tujuan Samian berkelana semula adalah mencari istri dan mertuanya yang hilang dan pergi ke tanah leluhurnya, Sunda di Pulau Jawa. Namun, nasib membuatnya menjadi terjebak dalam urusan internasional.
Semuanya bermula ketika ia sedang berada di sebuah kedai, Samiam diculik dan harus menjalani persidangan dengan Bianca dan ayahnya, João. Keputusan sidang membuatnya harus menjalani kehidupan sebagai seorang budak milik Syekh ibn Wahab, serta terpisah dari Bianca dan ayahnya yang juga menjadi budak milik Hakim Mehmed Ebussuud Effendi, seorang pembesar di lingkup pusat kerajaan Ottoman.
Penulis mampu membuat pembaca merasakan penderitaan yang dialami oleh Samiam. Ia tak ubahnya seperti benda mati yang bisa dioper begitu pemiliknya bosan, yang bisa diperlakukan seenaknya.
Kehidupannya sebagai budak penuh dengan warna. Hingga suatu saat Samiam mengalami dilema luar biasa ketika Syekh menawarkan memerdekakan dirinya asal bersedia beralih keyakinan.
Halaman: 352
Cetakan: Pertama-Juni 2024
Penerbit; Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama-Juni 2024
Penerbit; Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp
Rating:4/5
Tapi, menurutku, tugas manusia adalah bertahan hidup.
-hal 313-
Dalam buku ini, pembaca akan kembali berkelana bersama Samiam Noguera. Tujuan Samian berkelana semula adalah mencari istri dan mertuanya yang hilang dan pergi ke tanah leluhurnya, Sunda di Pulau Jawa. Namun, nasib membuatnya menjadi terjebak dalam urusan internasional.
Ia berada dalam pusaran intrik politik internasional guna menggulingkan dan meraih kekuasaan pada abad 16 yang melibatkan Takhta Suci Vatikan, Imperium Turki Utsmani, dan Dinasti Savid dari Persia. Ribetnya....
Semuanya bermula ketika ia sedang berada di sebuah kedai, Samiam diculik dan harus menjalani persidangan dengan Bianca dan ayahnya, João. Keputusan sidang membuatnya harus menjalani kehidupan sebagai seorang budak milik Syekh ibn Wahab, serta terpisah dari Bianca dan ayahnya yang juga menjadi budak milik Hakim Mehmed Ebussuud Effendi, seorang pembesar di lingkup pusat kerajaan Ottoman.
Samiam yang selama ini menjalani kehidupan sebagai manusia bebas harus mengalami penderitaan luar biasa. Bisa dikatakan ini merupakan titik terendah dalam kehidupannya. Segala haknya dikuliti habis, ia hanya diberikan kesempatan untuk menjalankan kewajibannya, melayani pemiliknya dengan sebaik mungkin.
Penulis mampu membuat pembaca merasakan penderitaan yang dialami oleh Samiam. Ia tak ubahnya seperti benda mati yang bisa dioper begitu pemiliknya bosan, yang bisa diperlakukan seenaknya.
Memang, saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya budak, namun pada tahun 1545, sesuai dengan setting waktu kisah ini, kegiatan tersebut dianggap merupakan hal yang biasa.
Kehidupannya sebagai budak penuh dengan warna. Hingga suatu saat Samiam mengalami dilema luar biasa ketika Syekh menawarkan memerdekakan dirinya asal bersedia beralih keyakinan.
Selain Samiam, memang ada budak-budak lain yang juga diberikan penawaran yang sama. Hanya Samiam yang mempertimbangkan kemungkinan itu, karena jika ia bebas, maka ia bisa mencari Bianca dan ayahnya. Masalahnya, menukar keyakinan bukanlah hal yang mudah.
Dia benar, harusnya tawaran itu aku sambut karena memudahkan hidupku. Namun, aku bukan orang yang begitu saja berganti keyakinan hanya karena tawaran yang memudahkan hidupku.-hal 143-
Mengikuti perjalanan Samiam di buku ini, rasanya lebih berat dibanding di buku pertama. Selain posisinya sebagai seorang budak dengan banyak keterbatasan, dia harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya di kawasan Timur Tengah.
Bagian yang mengisahkan bagaimana Samiam membahas tentang agama kepada ketiga sahabatnya sesama budak lumayan panjang. Masing-masing menyatakan pendapatnya tentang agama serta tawaran pembebasan yang ditawarkan Syekh dengan menukarkan keyakinan.
Meski demikian, penulis memberikan aneka kisah sebagai sisipan, lumayan mengurangi 'berat' membaca. Misalnya ketika Samiam menuliskan catatannya tentang apa yang terjadi beberapa waktu lalu ketika ia sudah merdeka, perjalanan yang ditempuh bersama seseorang bernama Farhad.
Ada juga uraian mengenai aneka kota yang sempat didatangi Samiam, entah sebagai manusia merdeka atau ketika masih menjadi budak. Membayangkan bagaimana situasi beberapa kota yang ada dalam buku ini, menjadi menarik perhatian saya untuk mendapat tambahan informasi dilain waktu.
Hem..., saya dengan sok tahunya mengambil kesimpulan. Jangan-jangan buku selanjutnya mengisahkan tentang perjalanan menuju Kepulauan Nusantara, tepatnya ke Sunda, negara asal leluhur Samiam.
Kesimpulan ini muncul karena pada akhir kisah buku ini disebutkan Samiam bertemu dengan seorang budak yang bertugas sebagai penjaga kedai minum yang berasal dari Sunda, dan sedang berada dalam kapal laut yang menuju ke Goa, India.
Rasanya pantas jika buku ini diberikan judul dengan kata "Perjalanan Mustahil". Bagaimana Samiam bisa mampu menempuh perjalanan ke begitu banyak tempat dengan begitu banyak peristiwa, adalah hal yang luar biasa.
Sepertinya diperlukan orang dengan keinginan dan tekat untuk hidup super kuat sehingga bisa bertahan menghadapi segala hal seperti yang dialami oleh Samiam.
Ada satu kalimat yang perlu dibagikan dari buku ini.
Kejujuran harus dibangun dan kepercayaan harus diraih. Tapi, bagaimana membuktikan kejujuran dan kepercayaan, itu adalah hal lain. Tidak semua bisa dibuktikan indra manusia. Namun, nalar bisa memberi ruang untuk pembuktian dengan cara lain.
-hal 220-
Ada yang penasaran dengan "Sepasang Elang dari Diyarbakir" yang ada pada judul? Saya jelas penasaran, ketika membaca buku ini baru paham apa yang dimaksud elang.
Penulis penutup kisah dalam buku kedua ini denga epik. Tak terduga akhirnya akan seperti itu. Musuh adalah musuh, walau penawarkan pertemanan.
Semoga buku ketiga tak lama terbitnya. Tak sabar membaca bagaimana kisah Samiam di Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar