Penulis: Suzuki Miekichi
Penerjemah: Dwi Wahyuningsih
Penyunting: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Wulang Sunu
Penerjemah: Dwi Wahyuningsih
Penyunting: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Wulang Sunu
QRCBN: 62-1494-5648-858
Halaman: 136
Cetakan: Pertama-Juni 2024
Penerbit: Penerbit Mai
Harga: Rp 77.000
Rating:3,5/5
"Begitu mendengarkan bunyi lonceng pertama yang kamu bunyikan, ibumu sudah bukan lagi seorang peri. Ia telah menjadi manusia biasa...."
-hal 48-
Kover buku dengan nuansa hijau ini segera menarik perhatian saya. Ilustrasi yang ada menjadi poin utama. Wulang Sunu memang memiliki ciri khas dalam setiap karyanya. Beruntungnya saya masih bisa mendapatkan beberapa pin bonus pembelian buku ini, tentunya dengan harga yang sangat bersahabat karena membeli saat sebuah acara literasi berlangsung.
Terdapat 6 kisah dalam buku ini, mulai dari Rumah di Puncak Bukit; Lonceng di Danau yang menjadi judul buku ini; Bukubuku, Naganaga, dan Bocah Bermata Api, hingga Putri Bintang. Membaca buku ini tidak membutuhkan waktu lama, selesai dibaca dalam sekali perjalanan Tangerang-Yogyakarta melalui udara. Justru waktu membuat catatannya yang lama he he he, terjeda aneka ini-itu urusan.
Kisah Tentara Berkaki Satu (Den Standhaftige Tinsoldat), sudah sering saya baca. Namun penuturan dalam buku ini terasa agak berbeda. Demikian juga dengan kisah Lonceng Di Danau. Beberapa kisah lain, mungkin pernah saya baca, namun tidak sesering kedua kisah tersebut, ingatan saya akan kisah yang lain tidak muncul.
Kisah-kisah yang ada tidak saja memberikan hiburan namun juga mengandung pesan moral. Melalui cerita dalam buku ini, orang tua bisa memberikan nasehat dengan cara yang berbeda. Jika dijadikan sebagai buku yang dibacakan pada anak, dapat semakin mempererat hubungan antara orang tua dan anak.
Rumah di Puncak Bukit, memberikan pesan bahwa sesuatu tidak selalu seindah yang terlihat, tergantung dari sisi mana kita melihat. Sering kali, kita tidak menghargai apa yang kita miliki dan menganggap milik orang lain lebih berharga.
Kisah Putri Bintang mengingatkan saya pada kisah Jaka Tarub. Meski tak persis serupa, namun pesan moral yang disampaikan kurang lebih sama. Bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik dan bisa berdampak buruk pada diri, bagaimana juga pandainya menyembunyikan perbuatan mencuri tersebut. Mungkin saja kita bisa memperoleh kebahagian, namun tidak akan berlangsung lama.
Pada bagian belakang terdapat tulisan dari Fitriana Puspita Dewi, seorang pengajar Sastra Jepang di FIB Brawijaya. Agak heran juga, apa hubungannya dengan buku ini. Ternyata menguraikan tentang bagaimana sastra anak terjemahan Era Meiji di Jepang. Disebutkan juga bahwa Suzuki Miekichi menceritakan kembali kisah yang ada dengan menyesuaikan interpretasi anak-anak Jepang pada saat itu.
Benar juga, seorang pedagang buku menyebutkan bahwa tidak sedikit buku anak dibeli oleh mereka yang sudah dewasa, sebagai nostalgia masa kecil. Entah dulu pernah punya lalu raib, pernah membaca namun hanya meminjam karena harganya mahal, atau dulu tertarik membaca namun tidak bisa meminjam apalagi membeli.
Buku yang layak diberikan untuk anak, bahkan untuk diri sendiri, karena dalam diri orang dewasa (konon) terdapat jiwa anak-anak yang terpendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar