Judul asli: Perjamuan Khong Guan: Kumpulan Puisi
Penulis: Joko Pinurbo
Penyelia naskah: Mirna Yulistianti
ISBN: 9786020657587
Halaman: 130
Cetakan: Pertama-Januari 2020
Penerbit: Pt Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 68.000
Rating: 3.75/5
Di kaleng Khong Guan
hidup yang keras dan getir
terasa renyah seperti rengginang
Berkerudungkan langit biru,
ibu yang hatinya kokoh membelah
dan memotong-motong bulan
dan memberikannya
kepada anak-anaknya yang goyah
Anak-anak gelisah
sebab ayah mereka
tak kunjung pulang.
"Ayahmu dipinjam negara.
Entah kapan akan dikembalikan."
si ibu menjelaskan
Lalu mereka selfi di depan
meja makan: "Mari kita berbahagia."
Si ayah ternyata sedang ngumpet
menghabiskan remukan rengginang.
(2019)
~ Perjamuan Khong Guan, halaman 102"
Sepertinya, nama kue kering Khong Guan sudah melegenda di tanah air tercinta ini. Sempat ada waktu ketika kue ini menduduki peringkat kue yang paling dicari, terutama saat hari raya.
Bahkan harga yang lumayan mahal ketika itu tidak membuat surut keinginan orang untuk menjamu tamu dengan kue kering paling top saat itu. Caranya? Beberapa warung di perumahan, menyediakan Khong Guan untuk dibeli per satuan kue, kreatif bukan?
Jadi, setiap ada rumah yang menerima tamu, bisa "meminjam" kaleng kue Khong Guan dan menghidangkannya pada tamu. Sebelum dibawa, pemilik warung akan menghitung berapa kue yang ada, kemudian ketika kaleng dikembalikan akan dihitung kembali berapa kue yang tersisa. Selisih kue sebelum dibawa dengan saat dikembalikan yang harus dibayar peminjam.
Tentunya juga dengan mempertimbangkan pengakuan sang peminjam. Karena bisa saja kue remuk ketika proses peminjaman. Kurang lebih begitulah prosesnya yang saya peroleh dari informasi beberapa kerabat.
Khong Guan memang melegenda. Hingga ilustrasi yang ada di kaleng juga mendapat sentuhan kreatif. Dari mame yang mempertanyakan ke mana perginya sosok sang ayah, hingga bermunculan aneka editan yang menggugah. Kover buku ini pun dibuat dengan menyembunyikan ilustrasi gambar ayah ke dalam.
Dalam puisi Keluarga Khong Guan, Joko Pinurbo juga mempertanyakan keberadaan sang ayah.
Banyak orang penasaran
mengapa sosok ayah
dalam keluarga Khong Guan
tak pernah tampak di meja makan?....
Sepertinya Keluarga Khong Guan akan selalu identik dengan sosok ibu dan dua anak tanpa keberadaan sosok ayah. Meski sering disebut sebagai candaan, bahwa sang ayah yang memoret he he he.
Tapi, jangan tertipu jika Anda melihat sebuah kaleng Khong Guan tergelak begitu saja. Isinya bisa saja benar-benar kue kering. Namun, bisa juga rengginang renyah, kerupuk, emping, atau benda-benda lain tergantung keinginan si pemilik. Tak ada ketentuan resmi tentang pemanfaatan kaleng Khong Guan setelah isinya habis, Suka-suka Anda!
Demikian juga dengan sosok Joko Pinurbo, yang memanfaatkan kaleng Khong Guan sebagai wadah untuk bereksrpresi. Aneka kata tersusun menjadi bait puisi yang penuh makna dalam buku puisi berjudul Perjamuan Khong Guan.
Terdapat empat "kaleng" dalam buku ini, dimana tiap "kaleng" menyajikan berbagai puisi yang jumlahnya berbeda-beda. Pada "kaleng dua" terdapat 18 puisi, sementara pada "Kaleng Tiga" lebih dari lima belas puisi .
Berbagai hal disinggung dalam karya Joko Pinurbo. Perihal penyitaan buku, tertuang dalam puisi Buku Hantu di halaman 27 dari Kaleng Satu. Untuk mengenang petugas yang meninggal saat mengawasi pemungutan suara beberapa waktu lalu, ada puisi berjudul Pesta. Sementara urusan banjir juga mendapat jatah dalam buku ini di halaman 29 dengan judul puisi Bonus.
Jika Minnah menjadi benang merah dalam Kaleng Tiga, maka pada Kaleng Empat, justru kata Khong Guan yang menjadi benang merah semua puisi. Sungguh bagian ini cukup menghibur saya yang sebelumnya kurang bisa menikmati buku puisi.
Membaca Anak Khong Guan, membuat saya tertegun. Sudah begitu parahnya kecanduan kaum muda akan gawai sehingga mereka tak peduli sesama, berebut gawai.
Dengan mengambil sosok dua anak yang ada dalam kaleng, makin membuat pembaca akan merasakan kedekatan emosi antara puisi dan kehidupan sehari-hari. Apalagi bagi mereka yang menghabiskan masa kecil dalam keluarga pengagum Khong Guan.
Semoga puisi ini tidak hanya menyentil banyak pihak namun juga menjadi dasar menjadi suatu wujud nyata berupa kegiatan mengurangi kecanduan anak pada gawai.
Buku puisi ini memberikan makna lain dari puisi bagi saya. Puisi juga bisa membuat saya merenung, tertawa, sekaligus menangis. Kata-kata yang dipakai sebenarnya merupakan kata yang sering kita pergunakan juga sehari-hari. Kepandaian seorang mastero yang membuat kata tersebut menjadi berbeda.
Siapa yang tak akan tergoda ketika melihat buku ini terpajang di toko buku? Tanpa perlu menuliskan kata Khong Guan, setiap yang melihat kover akan teringat dengan merek tersebut, apa lagi dengan warnanya yang merah menyala. Sebuah perpaduan antara strategi pemasaran dengan karya seni yang unik.
Saya jadi penasaran, kenapa tidak saja sekalian mengajak produsen Khong Guan bekerja sama. Entah bagaimana bentuknya, bisa membeli 2 kaleng mendapat satu buku. Atau siapa yang berutung bisa menemukan buku ini dalam kalengnya.
Penasaran, saya mencuba mencari informasi lebih mengenai kue yang legendari tersebut. Ternyata sudah ada sejak tahun 1970! Wah lebih tua dari usia saya. Untuk informasi lebih lengkap bisa menuju laman produsen di sini.
Pada bagian belakang buku, disebutkan bahwa buku ini ditujukan bagi pembaca usia 16 tahun keatas. Mengingat isi buku, sepertinya buku ini akan lebih pas jika ditujukan bagi pembaca berusia 17 tahun keatas. Lebih tua setahun dari yang disarankan penerbit.
Penasaran, apa lagi karya selanjutnya yang akan muncul.
Justru karena isinya kumpulan puisi, saya amsih belum tergugah untuk membeli dan membacanya. Mungkin harus berkenalan dulu secara khusus dengan buku kumpulan puisi untuk kemudian bisa suka dengan puisi di buku ini.
BalasHapusTetapi memang cerdas juga membuat buku dengan mengambil merk yang sudah melekat banget di masyarakat. Mau tak mau melihat buku ini bakal bikin penasaran isinya apaan.