Sudut Bumi, 20CD
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Lelah tapi bahagia.
Kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Perjalanan singkat dalam rangka tugas ke Yogyakarta lumayan mengurus energiku. Memilih buku yang layak masuk dalam koleksi perpustakaan kantor tak semudah memilih oleh-oleh. Isi yang kurang pas akan berdampak panjang.
Selama perjalanan, tentunya aku selalu ditemani sebuah buku untuk menghabiskan waktu. Terlalu cepat sampai bandara saat berangkat, demikian juga saat akan pulang, membuat dua buku tamat dan satu lagi setengah bagian selesai ku baca.
Salah satu buku, merupakan hadiah dari salah seorang penulis. Buku ini mampu menyeretku dalam pesona kisah-kisah yang ada. Puas rasanya jiwa ini begitu selesai membaca.
Judul buku: Arus Deras (Tukang Bunga dan Burung Gagak II)
Editor: Kurnia Effendi
ISBN:9786026447116
Halaman:172
Cetakan: Pertama-Maret 2017
Penerbit: Kosa Kata Kita
Bagai mendapat durian runtuh ketika Mas Keff menawarkan untuk membaca dan mereview buku ini. Sebuah tantangan tersendiri. Membaca sebuah kumpulan cerpen tidaklah sama dengan membaca sebuah buku. Karakter tiap penulis akan muncul dalam tiap kisah yang mereka buat, sehingga membuat buku tersebut menjadi sebuah karya yang unik.
Keunikan pertama buku ini muncul dalam bentuk kartu pos yang menyertai buku. Bagi pembaca yang beruntung akan menerima kartu pos dengan seuntai kata-kata indah. Mungkin tidak ada kalimat yang sama. Entah. Tapi penulis membuat pembaca merasa diistimewakan dengan cara ini. Dan aku berada dalam golongan pembaca yang beruntung. Kusertakan gambar kartu pos yang kuterima. Sekedar berbagai rasa bangga.
Selanjutnya adalah dari penyajian informasi seputar para penulis. Jika umumnya uraian singkat mengenai sosok penulis ada pada bagian akhir buku, maka untuk buku ini justru tempatnya ada di depan. Setiap selesai menguraikan mengenai sosok penulis, pembaca akan langsung menemukan kisah yang ia tulis. Mengetahui siapa dan bagaimana penulis membuatku lebih bisa menikmati kisah yang dibuat.
Terdapat empat pendekar kisah dalam buku ini dengan segala gaya bercerita dan keunikannya masing-masing. Dimulai dari Agnes A. Majestika, Ana Mustamin, Kurnia Effendi serta Kurniawan Junaedhie. Pengurutan nama didasarkan urutan alfabet semata, tidak ada hal lain. Setiap penulis menyumbang empat karya dalam buku ini. Suatu pemerataan yang cerdik.
Nuansa Jepang terlihat kental pada karya Agnes A. Majestika. Sebagai perantau, tentunya banyak hal baru yang ia dapatkan selama berada di Jepang. Pengetahuan dan pengalamannya itu ia bagi melalui tiga kisah dalam buku ini. Meski demikian, terlihat ia tak meninggalkan akar budaya dimana ia berasal. Melalui kisah Tanah, Agnes menunjukan bahwa ia juga pandai mengolah kisah dengan muatan lokal.
Kisah yang ditulis Ana Mustamin bagiku mengusung dua tema. Dua kisah bertema seputar urusan ekonomi dalam kisah Warung Kopi Uya dan Akuisisi. Sementara yang dua lagi tentang cinta, Lukisan Braga dan Dermaga Di Bandara. Permainan kata-katanya membuat kisah menjadi romantis tapi bukan ala menye-menye ^_^
Tak adil rasanya jika diriku mengomentari karya Mas Keff. Kedekatan emosial membuatku kurang bisa menilai dengan baik he he he. Tapi, satu yang bisa ku katakan dengan pasti. Mas Keff sering membuat sebuah hal biasa menjadi kisah luar biasa. Kata-kata yang dipilih juga selalu efisien alias tepat sasaran. Aku mungkin perlu sederet kalimat panjang untuk menggambarkan suatu hal, Mas Keff hanya butuh tak sampai sepuluh kata.
Membaca karya Kurniawan Junaedhie, membuatku seakan membaca sebuah buku teks pelajaran yang ditulis dengan gaya berbeda. Andai semua buku pelajaran sekolah ditulis dengan cara ini, pastilah nilai raporku akan mampu membuat mata mama berbinar bangga. Uraian mengenai lima jenis pengarang di tanah air pada halaman 142-144 cukup membuatku meringis. Kira-kira para reviewer masuk jenis pengarang yang mana ya?
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Kisah-kisah dalam buku ini terasa sekali memiliki kedekatan emosi dengan pembaca. Kalimat, "Bapak sudah tua, tidak produktif, tidak punya keterampilan apa-apa," sebagai contoh. Kalimat di halaman 77 dalam kisah Akuisisi, merupakan cermin betapa perubahan menuntut banyak pengorbanan dari berbagai pihak.
Lihat sekeliling kita, jangan-jangan mereka yang dahulu menjadi mentor saat baru pertama kali bergabung sekarang berada dalam daftar PHK. Coba ingat, kapan terakhir kita berbaik hati pada mereka yang memberikan informasi lowongan sehingga kita diterima kerja?
Para pekerja yang tergolong sepuh dengan segala keterbatasan bisa tersingkar tanpa peduli apakah mereka dulu termasuk orang yang pertama membangun perusahaan, orang yang berjasa memberikan kesempatan bekerja bagi penguasa yang baru. Dan apa yang bisa kita perbuat untuk mereka? Tokoh utama dalam kisah ini merasakan dendam tak kesudahan karena anak kemarin sore yang diberinya kesempatan untuk bekerja malah tak berbuat apa-apa untuk membantu.
Kejam?
Itulah kehidupan. Tapi dengan sedikit sikap santun, tentunya mereka yang tersingkir bisa sedikit berlapang dada menerimanya. Membaca kisah itu mendadak membuatku agak terbawa perasaan.
Demikian juga mengenai kisah Ibu Bagi Rara. Diriku seakan diajak mengulang akan kenangan masa lalu ketika kita membicarakan kemungkinan mengurus seorang anak terlantar bersama. Niat baik ternyata tak cukup, banyak birokrasi dan pertimbangan yang membuat kita urung melakukannya.
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Paham sekali dirimu akan kelakuanku. Begitulah aku, kadang suka usil he he he. Kisah Sang Pengelana membuatku beberapa waktu yang lalu melakukan sebuah eksperimen singkat. Pada halaman 158-159 disebutkan bahwa tokoh Aku masuk ke Mac Donald dan duduk di pojok. Lalu seorang pelayan menghampiri, dan Aku memesan Capucino.
Jadi, aku masuk ke sebuah restoran Mac Donald di daerah C, berusaha mencari tempat di pojokan. Cukup lama sebelum akhirnya mendapatkan sebuah meja kosong di pojokan. Nyaris selama sepuluh menit aku duduk tak ada satu juga pelayan yang menyapa, apa lagi menghampiri dan menawarkan apakah ingin memesan sesuatu. Yang ada hanyalah tatapan sebal beberapa pelayan yang hilir mudik membereskan sisa makanan di meja. Mereka mungkin kesal melihat diriku hanya duduk tanpa ada sajian ala Mac Donald di meja. Menit kesebelas, ku tinggalkan belanjaan di kursi dan menuju ke kasir untuk memesan sesuatu.
Kesimpulannya? Diriku tak seberuntung tokoh dalam kisah tersebut. Atau restoran tersebut tidak memiliki standar pelayanan yang sama. Sudah...., hentikan tawa jahilmu!
Ada rasa penasaran yang timbul, kenapa buku ini diberi judul Arus Deras. Apakah karena karya tersebut menenangkan sebuah penghargaan? Atau ada makna khusus dalam kisah itu? Dari Ungkapan Seteguk Kopi, ini setara dengan pengantar, disebutkan bahwa Arus Deras merupakan judul karya Kurnia Effendi. Dipilih semata karena kesepakatan. Sungguh demokratis sekali para penulis!
Sebagai orang yang sering kali bermasalah dengan typo, rasanya kaget saja bisa menemukan ada typo dalam buku ini, tepatnya pada kata "denga" dihalaman 6 serta "lebi" di halaman 16. Tumben mata ini teliti. Tapi tak apalah, buku ini ditulis oleh seorang manusia, tentunya ada saja kekurangan. Selama tidak berpengaruh secara signifikan, aku masih bisa menerima.
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Pertanyaan terpenting selanjutnya adalah berapa bintang yang layak untuk buku ini. Secara keseluruhan aku ingin memberikan nilai 4 bintang. Namun ada yang membuat kedua alisku bertemu, kover buku ini.
Kover buku ini mengingatkan pada sebuah buku yang saat proses launchingnya penuh dengan drama. Tak adil memang, tapi maafkan daku yang masih tak bisa menghilangkan ingatan tentang peristiwa menyebalkan itu dari ingatan. Bintang 3.75 sepertinya pas untuk buku ini.
Aku merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang membutuhkan asupan gizi bagi jiwa. Lepaskan angan, biarkan pesona kisah membawamu ke alam yang tak pernah terbayangkan. Bertemu dengan sosok yang tak biasa dan mengalami petualangan tak terbayangkan.
Wah sepertinya sudah terlalu banyak aku menghabiskan waktumu. Cerita tentang buku yang kubaca selalu membuatku lupa diri. Andai kau ada di sini, tentunya aku tak perlu menuliskan banyak hal. Cukup bercerita dengan penuh semangat.
Hayuh segera angkat dirimu dari kursi malas di teras depan. Cari dan baca buku ini, agar hidupmu lebih berwarna.
Big Hug
TR
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Lelah tapi bahagia.
Kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini. Perjalanan singkat dalam rangka tugas ke Yogyakarta lumayan mengurus energiku. Memilih buku yang layak masuk dalam koleksi perpustakaan kantor tak semudah memilih oleh-oleh. Isi yang kurang pas akan berdampak panjang.
Selama perjalanan, tentunya aku selalu ditemani sebuah buku untuk menghabiskan waktu. Terlalu cepat sampai bandara saat berangkat, demikian juga saat akan pulang, membuat dua buku tamat dan satu lagi setengah bagian selesai ku baca.
Salah satu buku, merupakan hadiah dari salah seorang penulis. Buku ini mampu menyeretku dalam pesona kisah-kisah yang ada. Puas rasanya jiwa ini begitu selesai membaca.
Judul buku: Arus Deras (Tukang Bunga dan Burung Gagak II)
Editor: Kurnia Effendi
ISBN:9786026447116
Halaman:172
Cetakan: Pertama-Maret 2017
Penerbit: Kosa Kata Kita
Bagai mendapat durian runtuh ketika Mas Keff menawarkan untuk membaca dan mereview buku ini. Sebuah tantangan tersendiri. Membaca sebuah kumpulan cerpen tidaklah sama dengan membaca sebuah buku. Karakter tiap penulis akan muncul dalam tiap kisah yang mereka buat, sehingga membuat buku tersebut menjadi sebuah karya yang unik.
Keunikan pertama buku ini muncul dalam bentuk kartu pos yang menyertai buku. Bagi pembaca yang beruntung akan menerima kartu pos dengan seuntai kata-kata indah. Mungkin tidak ada kalimat yang sama. Entah. Tapi penulis membuat pembaca merasa diistimewakan dengan cara ini. Dan aku berada dalam golongan pembaca yang beruntung. Kusertakan gambar kartu pos yang kuterima. Sekedar berbagai rasa bangga.
Selanjutnya adalah dari penyajian informasi seputar para penulis. Jika umumnya uraian singkat mengenai sosok penulis ada pada bagian akhir buku, maka untuk buku ini justru tempatnya ada di depan. Setiap selesai menguraikan mengenai sosok penulis, pembaca akan langsung menemukan kisah yang ia tulis. Mengetahui siapa dan bagaimana penulis membuatku lebih bisa menikmati kisah yang dibuat.
Terdapat empat pendekar kisah dalam buku ini dengan segala gaya bercerita dan keunikannya masing-masing. Dimulai dari Agnes A. Majestika, Ana Mustamin, Kurnia Effendi serta Kurniawan Junaedhie. Pengurutan nama didasarkan urutan alfabet semata, tidak ada hal lain. Setiap penulis menyumbang empat karya dalam buku ini. Suatu pemerataan yang cerdik.
Nuansa Jepang terlihat kental pada karya Agnes A. Majestika. Sebagai perantau, tentunya banyak hal baru yang ia dapatkan selama berada di Jepang. Pengetahuan dan pengalamannya itu ia bagi melalui tiga kisah dalam buku ini. Meski demikian, terlihat ia tak meninggalkan akar budaya dimana ia berasal. Melalui kisah Tanah, Agnes menunjukan bahwa ia juga pandai mengolah kisah dengan muatan lokal.
Kisah yang ditulis Ana Mustamin bagiku mengusung dua tema. Dua kisah bertema seputar urusan ekonomi dalam kisah Warung Kopi Uya dan Akuisisi. Sementara yang dua lagi tentang cinta, Lukisan Braga dan Dermaga Di Bandara. Permainan kata-katanya membuat kisah menjadi romantis tapi bukan ala menye-menye ^_^
Tak adil rasanya jika diriku mengomentari karya Mas Keff. Kedekatan emosial membuatku kurang bisa menilai dengan baik he he he. Tapi, satu yang bisa ku katakan dengan pasti. Mas Keff sering membuat sebuah hal biasa menjadi kisah luar biasa. Kata-kata yang dipilih juga selalu efisien alias tepat sasaran. Aku mungkin perlu sederet kalimat panjang untuk menggambarkan suatu hal, Mas Keff hanya butuh tak sampai sepuluh kata.
Membaca karya Kurniawan Junaedhie, membuatku seakan membaca sebuah buku teks pelajaran yang ditulis dengan gaya berbeda. Andai semua buku pelajaran sekolah ditulis dengan cara ini, pastilah nilai raporku akan mampu membuat mata mama berbinar bangga. Uraian mengenai lima jenis pengarang di tanah air pada halaman 142-144 cukup membuatku meringis. Kira-kira para reviewer masuk jenis pengarang yang mana ya?
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Kisah-kisah dalam buku ini terasa sekali memiliki kedekatan emosi dengan pembaca. Kalimat, "Bapak sudah tua, tidak produktif, tidak punya keterampilan apa-apa," sebagai contoh. Kalimat di halaman 77 dalam kisah Akuisisi, merupakan cermin betapa perubahan menuntut banyak pengorbanan dari berbagai pihak.
Lihat sekeliling kita, jangan-jangan mereka yang dahulu menjadi mentor saat baru pertama kali bergabung sekarang berada dalam daftar PHK. Coba ingat, kapan terakhir kita berbaik hati pada mereka yang memberikan informasi lowongan sehingga kita diterima kerja?
Para pekerja yang tergolong sepuh dengan segala keterbatasan bisa tersingkar tanpa peduli apakah mereka dulu termasuk orang yang pertama membangun perusahaan, orang yang berjasa memberikan kesempatan bekerja bagi penguasa yang baru. Dan apa yang bisa kita perbuat untuk mereka? Tokoh utama dalam kisah ini merasakan dendam tak kesudahan karena anak kemarin sore yang diberinya kesempatan untuk bekerja malah tak berbuat apa-apa untuk membantu.
Kejam?
Itulah kehidupan. Tapi dengan sedikit sikap santun, tentunya mereka yang tersingkir bisa sedikit berlapang dada menerimanya. Membaca kisah itu mendadak membuatku agak terbawa perasaan.
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Paham sekali dirimu akan kelakuanku. Begitulah aku, kadang suka usil he he he. Kisah Sang Pengelana membuatku beberapa waktu yang lalu melakukan sebuah eksperimen singkat. Pada halaman 158-159 disebutkan bahwa tokoh Aku masuk ke Mac Donald dan duduk di pojok. Lalu seorang pelayan menghampiri, dan Aku memesan Capucino.
Jadi, aku masuk ke sebuah restoran Mac Donald di daerah C, berusaha mencari tempat di pojokan. Cukup lama sebelum akhirnya mendapatkan sebuah meja kosong di pojokan. Nyaris selama sepuluh menit aku duduk tak ada satu juga pelayan yang menyapa, apa lagi menghampiri dan menawarkan apakah ingin memesan sesuatu. Yang ada hanyalah tatapan sebal beberapa pelayan yang hilir mudik membereskan sisa makanan di meja. Mereka mungkin kesal melihat diriku hanya duduk tanpa ada sajian ala Mac Donald di meja. Menit kesebelas, ku tinggalkan belanjaan di kursi dan menuju ke kasir untuk memesan sesuatu.
Kesimpulannya? Diriku tak seberuntung tokoh dalam kisah tersebut. Atau restoran tersebut tidak memiliki standar pelayanan yang sama. Sudah...., hentikan tawa jahilmu!
Ada rasa penasaran yang timbul, kenapa buku ini diberi judul Arus Deras. Apakah karena karya tersebut menenangkan sebuah penghargaan? Atau ada makna khusus dalam kisah itu? Dari Ungkapan Seteguk Kopi, ini setara dengan pengantar, disebutkan bahwa Arus Deras merupakan judul karya Kurnia Effendi. Dipilih semata karena kesepakatan. Sungguh demokratis sekali para penulis!
Sebagai orang yang sering kali bermasalah dengan typo, rasanya kaget saja bisa menemukan ada typo dalam buku ini, tepatnya pada kata "denga" dihalaman 6 serta "lebi" di halaman 16. Tumben mata ini teliti. Tapi tak apalah, buku ini ditulis oleh seorang manusia, tentunya ada saja kekurangan. Selama tidak berpengaruh secara signifikan, aku masih bisa menerima.
Cintaku,
Belahan jiwaku,
Pertanyaan terpenting selanjutnya adalah berapa bintang yang layak untuk buku ini. Secara keseluruhan aku ingin memberikan nilai 4 bintang. Namun ada yang membuat kedua alisku bertemu, kover buku ini.
Kover buku ini mengingatkan pada sebuah buku yang saat proses launchingnya penuh dengan drama. Tak adil memang, tapi maafkan daku yang masih tak bisa menghilangkan ingatan tentang peristiwa menyebalkan itu dari ingatan. Bintang 3.75 sepertinya pas untuk buku ini.
Aku merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang membutuhkan asupan gizi bagi jiwa. Lepaskan angan, biarkan pesona kisah membawamu ke alam yang tak pernah terbayangkan. Bertemu dengan sosok yang tak biasa dan mengalami petualangan tak terbayangkan.
Wah sepertinya sudah terlalu banyak aku menghabiskan waktumu. Cerita tentang buku yang kubaca selalu membuatku lupa diri. Andai kau ada di sini, tentunya aku tak perlu menuliskan banyak hal. Cukup bercerita dengan penuh semangat.
Hayuh segera angkat dirimu dari kursi malas di teras depan. Cari dan baca buku ini, agar hidupmu lebih berwarna.
Big Hug
TR
jadi, sebenarnya mas Keff, mas Kaf, atau mas Kef, mbak Truly? hehehe....
BalasHapusBig Hug dan salam kenal dengan belahan jiwanya ^_^
BalasHapus