Malapetaka adalah ketika kita berhenti membaca...
Kalimat singkat tapi menohok ditulis oleh seorang penggiat buku dari Solo pada halaman pertama buku barunya. Wah, pastinya saya tidak mau berada dalam situasi seperti itu. Apalagi jika melirik timbunan buku yang belum dibaca, duh saya tidak mau jadi penghancur buku!
Baiklah, mari kita ambil sebuah buku, lebih pas lagi jika
karya penggiat yang menuliskan kalimat itu, dan mulai membaca dengan rakus.
Penulis: Indah Darmastuti
Ilustrasi sampul: Mas Wid
Tata letak dan sampul: N. Fauzi Sukri
ISBN: 9786020947297
Halaman:127
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: BukuKatta
Rating: 4/5
Rating: 4/5
Seperti yang sudah-sudah, membaca buku sarat makna kehidupan ini tidak butuh lama. Kembali, membuat review lebih lama. Khusus untuk buku yang satu ini, lebih lama lagi karena secara pribadi saya ingin memberikan yang terbaik untuk sang penulis.
Plus..., perasaan rendah hati ketika membaca tulisan pada halaman 112. Apalah saya ini dibandingkan dengan seorang penggiat sastra di Solo. Mendekati jelas jauh, hanya bisa usaha agar minimal tidak memalukan.
Terdapat sembilan kisah dalam buku ini, dimulai dengan Laki-laki dari Langit, Raisha dan Sekotak Tanah, diakhiri dengan Ashima, Titip Rindu dari Calcuta. Dan pastinya beberapa kisah diantara kisah-kisah tersebut.
Semula saya tidak mengetahu bahwa sembilan kisah tersebut
pernah dimuat dalam beberapa media. Hal ini karena pada akhir kisah tidak ada
embel-embel kalimat yang penyatakan bahwa kisah itu pernah dimuat pada sebuah
media. Justru informasi tersebut berada di halaman 126.
Baik kisah, tempat kejadian dan waktu dalam buku ini beragam. Tapi ada benang merah yaitu ada tokoh perempuan dalam tiap kisah. Pada Laki-laki dan Langit, sosok perempuan ada dalam wujud Aku seorang pekerja terkait dunia teh. Kisah Makan Malam Bersama Dewi Gandari, mengusung dua sosok perempuan hebat dalam wujud Dewi Kunti serta Dewi Gandari sendiri. Ashima, Titip Rindu untuk Calcuta, merupakan penggambaran sosok perempuan yang begitu bersemangat membela hak-hak perempuan hingga (mungkin) bisa mengorbankan dirinya sendiri tanpa ia sadari. Duh nama Ashima mengingatkan pada sebuah kisah cinta lain.
Pembaca akan menemukan banyak penggunaan perumpaan atau
kiasan dalam kisah. Pembaca diajak untuk tidak sekedar membaca dengan mempergunakan
mata, tapi juga mempergunakan mata hati.
Simak penggalan kisah Laki-laki dari Langit di
halaman 8, "Kuharap begitu. Kasihan putriku tak sempat bertemu mamanya
karena istriku kehabisan darah dan tenaga saat melahirkannya." Bagi saya
kalimat tersebut menandakan bahwa sang pria memberikan kode ia adalah seorang
lajang yang mencintai anaknya dan berharap Aku sang tokoh wanita mau membuka
hati untuknya serta menerima keberadaan sang anak.
Lalu pada kisah Getir Pesisir di halaman 24,"Kau
hanya pemain cadangan. Dan hanya mujizat yang sanggup mengubahmu menjadi pemain
inti. Lupakanlah!"
"Tetapi aku terlanjur mencintai kamu, dan
amat mencintaimu," tegasnya pada lelaki yang telah beribu kali menggumuli
tubuhnya.
Jika dicermati, sungguh dalam maknanya. Lelaki yang telah beribu kali
menggumuli tubuh wanita itu tidak akan pernah membebaskan ia dalam belenggu
kenistaan. Bahkan atas nama cinta sekali pun. Mungkin saja, lelaki itu tidak
hanya menikmati tubuh sang wanita, tapi juga menikmati pemikirannya bahkan
bukan tak mungkin juga mencintai. Tapi ia merasa menikahinya bukanlah hal yang
tepat. Mungkin ia merasa jijik membayangkan memiliki istri yang pernah ditiduri
banyak pria, bahkan ia sendiri pernah berbagi tubuh sang wanita. Mungkin ia
lebih memilih menjaga keharmonisan keluarga dari pada mengangkat derajat sang
wanita. Mungkin juga ia hanya ingin mendapat kenikmatan biologis semata.
Mungkin saja hanya perwujudan egois seorang manusia. Seribu mungkin pun bisa saja dijadikan alasan, namun tetaplah tokoh
wanita yang merasakan getir hidup.
Baiklah, saya mengaku. Saya memang menyukai Getar Pesisir
dan Perahu Rongsok. Perahu Rongsok menawarkan sebuah kisah
yang sarat makna kehidupan dalam kiasan makna serta permainan kata yang
menawan. Kedua kisah ini mengusung tema yang sendu, perempuan yang ingin
menjadi tulang punggung keluarga namun justru menjadi obyek penistaan. Sedih,
menyentuh dan memicu amarah jiwa.
Saya juga menyukai kisah di Jantung Batavia, karena penulis
memilih perpustakaan sebagai tempat kisah ini berlangsung. Apa yang dilakukan
oleh Karel mungkin romntis bagi beberapa orang tapi bodoh dan konyol bagi orang
lain. Mencintai seorang wanita zaman sekarang tidak bisa hanya dengan diam, harus ada aksi yang menjanjikan kepastian.
Sama halnya dengan yang dilakukan oleh lelaki berusia
setengah abad bermata gelap dalam kisah Di Pusat Lampu Merah. Entah
cinta atau kekonyolan namanya jika ia menunggu seorang wanita di sudut St.
Pauli dalam dingin dan pekatnya malam.
Selain hiburan yang saya peroleh sehabis membaca kisah ini,
tak sedikit asupan pengetahuan yang bisa saya peroleh. Sebagai contoh,
bagaiman cara menikmati secangkir teh menunjukkan tingkat sosial pada halaman
94. Saat minum teh, apakah teh atau susu dahulu yang dituangkan. Jika teh
terlebih dahulu hal tersebut menunjukkan bahwa peminum berasal dari kalangan
Borjuis. Sementara jika susu terlebih dahulu menunjukkan berasal dari kalangan
biasa.
Ada juga perihal penulis dari India bernama Arundhati Roy. Buku karyanya yang terbit pada tahun 1977 dengan judul The God of Small Things memenangkan The ManBooker Prize for Fiction. Padahal itu buku pertamanya.
Judul buku ini,Makan Malan Bersama Dewi Gandari, membuat saya membuka semua koleksi buku
tentang wayang yang saya punya. Awalnya saya sedang mencari ilustrasi sosok
Dewi Gandari untuk dipasang dalam review, ketika tanpa sadar membaca sebuah
kalimat yang menyatakan bahwa sang dewi menutup matanya dengan kain hitam sejak terpilih
menjadi istri Drestarata. Kain Hitam! Sementara dilayar kaca sosok sang dewi
digambarkan menggunakan baju berwarna merah dengan kain penutup mata juga
merah. Betul, jika disebut bahwa versi layar kaca sudah mempertimbangkan estetika. Dan bahwa versi layar kaca adalah versi import yang memiliki perbedaan dengan yang beredar di tanah air. Hanya saja saya merasa penasaran saja.
Menurut Ensiklopedia Istri-isri Raja Jawa karangan
Krisna Bayu Adji, Dewi Gendari adalah putri Prabu Subala dari Kerajaan
Gandhara. Awalnya, sang dewi menyesal untuk menikah dengan Drestarata yang tua
dan buta, tapi akhirnya menerima. Untuk menghormati sang suami ia menutup matanya dengan kain.
Dari Buku Mahabharata terbitan Elexmedia |
Dalam komik wayang besutan R.A Kosasih yang diterbitkan oleh Penerbit Elexmedia, saya menemukan bahwa sang dewi menutup mata dengan kain hitam pada pagi hari dan membukanya disaat senja.
Sementara itu, dalam buku Rupa dan
Karakter Wayang Purwo karya Heru S. Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono,
Penerbit Kaki Langit, disebutkan bahwa Dewi Gandari mempunyai sifat kejam
dan bengis dan pendendam. Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi
penyebab utama permusuhan Kurawa dan Pandawa. Ia mati terjun ke dalam Pancaka/api
pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya
Perang Bharatayudha. Sepertinya tak ada sosok yang sempurna.
Sementara itu, dalam buku Rupa dan
Karakter Wayang Purwo karya Heru S. Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono,
Penerbit Kaki Langit, disebutkan bahwa Dewi Gandari mempunyai sifat kejam
dan bengis dan pendendam. Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi
penyebab utama permusuhan Kurawa dan Pandawa. Ia mati terjun ke dalam Pancaka/api
pembakaran jenazah bersama Dewi Kunti dan Prabu Drestarasta setelah berakhirnya
Perang Bharatayudha. Sepertinya tak ada sosok yang sempurna.
Mengesankan bagaimana sebuah cerpen justru memberikan
pengetahuan tambahan bagi pembacanya. Demikian juga review saya, semoga yang
membaca mendapat tambahan pengetahuan.
Mengesankan bagaimana sebuah cerpen justru memberikan
pengetahuan tambahan bagi pembacanya. Demikian juga review saya, semoga yang
membaca mendapat tambahan pengetahuan.
Sebenarnya saya penasaran dengan beberapa hal. Kalimat yang
tercetak di halaman 46, , "Membantu ibu membiayai kami hingga
sarjana. Membiayai operasi ibu, bahkan membantu menikahkan Mas Pujo, saudara
tiri kita...." sementara pada halaman 43 disebutkan bahwa Pujo adalah
balita yang dipungut ibunya dari derita sebatang kara sekitar empat puluh tahun
lalu. Jadi sosok Pujo itu saudara tiri atau saudara pungut?
Mungkin pemahaman saya yang salah. Menurut saya,
saudara seangkat adalah hubungan kekerabatan yang didasarkan atas pengakuan
dari pihak-pihak yang terlibat. Baik orang tua, anak, dan saudara angkat tidak
memiliki pertalian darah. Sementara menurut KBBI saudara tiri adalah saudara
seibu atau saudara seayah saja. Jadi dalam hal ini mana yang benar Pujo adalah
saudara angkat atau saudara pungut.
Entah memang maksudnya begitu ataukah ada kesalahan? Pada
kisah Raisha dan Sekotak Tanah, di halaman 37 tercetak, " Halo,
Raisha, ayang. Bagaimana." Saya merasa sepertinya terjadi kesalahan cetak
semata.
Oh ya, karena ini merupakan kumpulan kisah, kita bisa
membacanya tak berurutan. Jika pemberi tanda halaman yang saya pasang hilang,
saya hanya perlu melihat di bagian pojok atas. Ada judul tiap kisah pada pojok
atas halaman memudahkan kita untuk menemukan halaman dari bagian sebuah kisah.
Membaca data buku, saya terkejut tidak membaca nama seorang
penggiat buku dari Solo. Dugaan saya beliau bertindak sebagai editor, ternyata
tidak. Tapi mungkin saja beliau memang menjadi editor tapi tidak ingin namanya
ditulis di sana. Atau.... mungkin saja karya ini sudah dianggap baik sehingga
tidak butuh seorang editor. Semuanya mungkin khan.
Aku hanya perempuan biasa
Tak mampu membedakan bau daun teh yang bisa menghasilkan
rasa spektakuler
Meski aku menggemari minum teh
Aku tak akan bisa bersikap ramah
Ketika bertemu dengan orang yang mengacuhkan aku selama 2
tahun
Tak juga begitu didambakan seperti Deborah
Yang mampu membuat seorang pria mati kedinginan
Meski begitu mungkin saja...,
Aku sedang belajar legowo
Seperti Drupadi yang meminta pelangkah sederhana dari
adik-adknya
Mencoba menjadi wadah penampungan air mata
Para gadis yang merasakan getirnya pesisir
Belajar tegar seperti para perempuan penumpang perahu
rongsok
Yang terombang-ambing ombak nasib yang tak jelas
Mungkin belajar berani membela hak-hak kaum seperti
Ashima
Bahkan menjadi kuat seperti Dewi
Gandari
Hingga mampu makan malam dengan ibu dari orang yang
membunuh anak-anaknya
Tapi yang ku tahu dan pahami saat ini
Aku sedang berusaha menjadi bayanganmu
Aku sedang berusaha menjadi bayanganmu
Selalu setiap menemani saat duka dan suka
Menjadi tempatmu mendapat ketenangan
Juga kekuatan tak terkalahkan
Dalam mengarungi lautan hidup
kunjungi web kami www.rajaplastikindonesia.com
BalasHapusCP 021 2287 7764 / 0838 9838 6891 (wa) / 0852 8774 4779 pin bbm 5CFD83E7