Penulis : WN Setiyawan
Editor :Nur Laili M
Disain Sampul : Rendra TH
& Isi
ISBN : 978-979-091-009-6
Halaman : 322
Penerbit : Tiga Kelana
Namaku Bagus Kenang. Bopoku bernama Ki Truna Caraka, Biyungku bernama Nyai caraka atau Srimpi Pancagati. Aku adalah anak semata wayang mereka. Kami tinggal di sebuah gubuk kayu sederhana di desa terpencil bernama Lembah Seroja, di kaki Gunung Pedhut. Sesuai dengan namanya, Gunung Pedhut merupakan sebuah gunung yang sangat besar dan tinggi dan selalu diselimuti oleh pedhut alias kabut. Setiap hari Aku menggembalakan domba-domba di padang rumput yang terbentang di pinggiran desa.
Kehidupan merekai bertiga aman tentram hingga sepucuk surat datang saat usia Bagus Kenang sembilan tahun.. Isinya hanya singkat saja, ”Saatnya telah tiba.” Pada malam hari, Boponya menceritakan sebuah kisah yang menakjudkan mengenai pemilihan sejumlah pemuda berbakat oleh Maharaja Mahagraha. Mereka yang dipilih akan diberi pelajaran khusus agar kelak bisa menduduki posisi penting. Salah satunya Bagus Kenang! Semenjak itu, Bagus Kenang dan kedua orang tuanya hanya tinggal menghitung hari kapan utusan dari maharaja tiba untuk membawa Bagus Kenang menuju tempat pelatihannya.
Berbagai keanehan mulai dialami Bagus Kenang. Dari cara yang ditempuh untuk bisa sampai ke tempat pelatihan hingga salah seorang peserta yang tak kunjung datang jua. Tidak hanya itu, tempat pelatihan mereka ternyata adalah di Moksa Praja, kerajaan yang hilang. Moksa Praja sering dianggap dongeng penghantar tidur.
Di Moksa Praja, mereka yang terpilih, disebut lare winih, tidak saja diajar keterampilan bela diri namun juga diajarkan bagaimana cara bersosialisasi serta tata negara. Hebatnya mereka diajarkan dengan langsung mempraktekknya. Moksa Praja ibaratnya sebuah kerajaan kecil, disana ada yang berperan menjadi raja, panglima, petani dan sebagainya. Semua kegiatan dilakukan oleh lare winih, para guru hanya memantau saja.
Namun ada sesuatu yang misterius disana! Ada sesuatu membuat kawan-kawan Bagus Kenang memiliki kepandaian dan keunikan yang tak terbayangkan. Misalnya Manggar dan Mlathi sepasang anak kembar bisa saling membaca pikiran, Darulintang bisa menggerakan benda dari jarak jauh serta ada yang bisa merubah menjadi makhluk menakutkan seperti memiliki lima kepala.
Secara seluruhan, cerita dalam buku ini mengingatkan saya pada film drama kolosal yang pernah ditayangkan di sebuah televisi swasta. Ceritanya mengenai dua orang pemuda dari golongan rakyat biasa yang ingin belajar di sebuah sekolah yang ditujukan untuk anak para pejabat. Dibutuhkan perjuangan yang berat agar mereka diterima menjadi murid, yang kebanyakan adalah anak pejabat dan anak raja. Di sekolah itu tidak ada yang membantu mereka, semua anak harus bekerja tanpa perduli siapa bapaknya. Sang resi memelihara monyet (atau kera, saya kurang tahu bedanya) berbulu hitam yang sering dibawa saat mengajar.
Saya mengagumi ilustrasi yang disajikan di setiap awal bab. Saya tak sabar segera menuntaskan sebuah bab agar bisa menikmati ilustrasi yang memukau di bab selanjutnya, alih-alih menikmati isi ceritanya. Ilustrasi yang disajikan justru lebih mengena dibandingkan uraikan kata yang dipilih penulis saat menjelaskan sesuatu. Hanya untuk cover depan, saya merasa kesan yang ingin disampaikan kurang mengenai. Saya mulanya mengira ini buku mengenai petualangan anak-anak sebelum membaca cover belakangnya.
Dalam buku ini saya juga menemukan beberapa kejanggalan yang membuat saya membaca ulang beberapa halaman. Entah mata saya yang kurang teliti, maklum terbuai dinginnya penyejuk ruangan di transjakarta atau memang tidak ada. Disebutkan bahwa kehebatan para lare winih berasal dari batu karang lidah api yang ternyata tumbuh. Bagaimana bisa yah karang itu tumbuh? Sekedar penasaran saya sempat bertanya pada beberapa teman. Jawabannya nyaris sama, salah satunya menjawab sebagai berikut, ” Setahu gue gak. Karena kalo batu karang yang ada diluar air adalah sebuah benda mati alias cuma batu.” Lalu bagaimana yah batu karang lidah api itu bisa hidup. Atau jangan-jangan saya yang salah baca posisi batu itu berada serta bagaimana batu karang itu bisa hidup.
Darulintang yang semula menjadi pemimpin karena sikap kepeloporannya seakan sinar pamornya seiring berjalannya cerita. Ia tidak disebut-sebut lagi membuat sesuatu yang berarti. Bagaimana juga nasib Ayu Kemuning? Siapakah dia sebenarnya? Atau buku ini memang hanya merupakan buku pertama dari serangkaian buku selanjutnya, sehingga penulis sengaja menyisipkan ketidakjelasan di beberapa bagian.
Buku ini merupakan satu dari sedikit buku yang saya beli karena tertarik membaca endorsement yang tercetak. Ada dari Mas Koen serta Mas Pur, dua orang yang karyanya cukup bisa diperhitungkan dalam kancah perbukuan. Mas Koen Setyawan menyatakan bahwa “Moksa Praja menggali dalam-dalam memori kala silam., meramunya dengan alur-alur moderen yang akrab dan mengentalkannya dengan kefasihan budaya.”, Terus terang, buku ini mengingatkan saya. akan suasana yang saya jumpai saat kecil di Desa Tirip, Jawa Tengah. Sapaan terhadap sesama, cara menyebutkan beberapa kata yang nyaris terlupakan jika tidak membaca buku ini. Tentunya selain kenangan akan film drama kolosal yang serupa tadi.
Pesan moral yang ada dalam buku ini antara lain:
- Jangan pernah menyalahgunakan kemampuan
- Percaya pada Sang Pencipta
- Andai dalam kesulitan, ingatlah selalu pada Yang Mahakuasa. Mintalah selalu petunjuk dari-NYA.
- Manusia dilahirkan ke dunia untuk melakukan sesuatu dan bukan untuk mengerjakan semuanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar