Penulis: Kai Elian
Penyunting: Vania Adinda
Ilustrasi sampul: Kesampulan
Ilustrasi isi: Kai Elian
ISBN: 9786020669724
Halaman: 296
Cetakan: Pertama-2024
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 89.000
Rating: 4/5
Dia membuka mulutnya. Kupikir anak itu akan berbicara, tapi lagi-lagi cairan merah seperti darah mengalir dari mulutnya
-hal 73-
Apa yang Anda rasakan jika mengalami hujan tiada henti? Mungkin merasa kondisi kesehatan yang menurun, mobilitas yang terganggu, hingga emosi yang menjadi lebih sensitif. Singkatnya, walau hujan dibutuhkan dan dirindukan, namun mengalaminya dalam waktu lama tanpa henti bisa menimbulkan rasa khawatir.
Apa yang Anda rasakan jika mengalami hujan tiada henti? Mungkin merasa kondisi kesehatan yang menurun, mobilitas yang terganggu, hingga emosi yang menjadi lebih sensitif. Singkatnya, walau hujan dibutuhkan dan dirindukan, namun mengalaminya dalam waktu lama tanpa henti bisa menimbulkan rasa khawatir.
Bayangkan yang terjadi di Desa Bokudi di lereng Gunung Morui! Sembilan puluh hari hujan turun tanpa henti. Jika tidak segera diatasi, lereng gunung akan longsor dan mengubur seluruh desa.
Sebuah ekspedisi dibentuk, terdiri dari Elang Langit, seorang pakar klimatologi; Asayana Brahma-Asa, ahli meteorologi yang banting stir menjadi disaster hunter yang juga sahabat Elang; Wicky dari Basarnas; Dito, ahli geologi; dan Jose, seorang dokter. Mereka harus menyelidiki fenomena tersebut dan melakukan evakuasi warga untuk menghindari tertimpa longsor.
Banyak informasi awal yang mengejutkan mereka. Ternyata hujan sudah berlangsung berkepanjangan selama 7 tahun. Setiap Februari, hujan akan terus turun selama 5 bulan. Selain itu, kondisi fisik penduduk desa yang memprihatinkan. Ada yang kakinya berkelojotan, tangan tertekuk, jari-jari bengkok, dan berbagai kondisi lainnya.
Situasi semakin runyam dengan adanya sosok yang dianggap sebagai kepala adat setempat. Meski ada kepala desa, penduduk sangat menghormati dan mengikuti arahannya, bahkan cenderung lebih menaatinya. Khusus untuk Asa, ada tambahan sosok lain yang selalu muncul di dekatnya.
Kisah ini memicu adrenalin pembacanya. Belum lagi berbagai misteri yang menarik untuk dipecahkan. Kenapa ada pohon beracun yang justru ditanam di halaman puskesmas? Siapa sosok yang sering mengikuti Asa? Siapa dalang penyebab kematian anggota rombongan tersebut? Dan bagaimana hujan bisa turun sekian lama di sana? Menarik!
Ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Dalam suatu bagian, dikisahkan bagaimana Asa menghubungi anak dan istrinya melalui telepon genggam. Ada dua hal yang aneh bagi saya. Pertama disebutkan tidak ada listrik di desa tersebut, lalu bagaimana cara Asa bisa menjaga baterai telepon genggamnya?
Soal tidak tersedianya jasa layanan
saya mengasumsikan ia mengunakan telepon satelit, walau agak ragu juga jika membaca uraian yang ada. Tapi bukannya hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Kedua, Asa digambaran bisa berbicara denga istrinya, namun ada saja alasan yang dibuat sang istri sehingga Asa tidak bisa berbicara dengan anaknya. Sesibuknya sang anak, tentunya akan diluangkan waktu untuk berbicara dengan ayahnya yang sedang bertugas jauh.
Kemudian, bagaiman telepon yang ditambatkan di ikat pinggang diduga terjatuh, kemudian di halaman lain sudah dipergunakan lagi. Padahal dugaan lokasi jatuhnya bukan daerah yang bisa dilalui dengan mudah, jadi bagaimana bisa dengan mudah menemukan barang hilang. Ternyata jawabannya ada di halaman 12X
Saya memang tipe yang kurang memperhatikan aneka tulisan di kover ketika memutuskan untuk membeli sebuah buku. Judul yang unik serta premis yang menarik, menjadi alasan saya membeli buku ini. Perihal penulisnya memenangkan juara ketiga dalam Lomba Novel Thriller GPU x GWP, baru saya sadari ketika sedang mengagumi kover.
Pada bagian awal kisah disebutkan ada 5 anggota tim serta seorang kepala desa yang membantu. Tapi dalam kover hanya ada digambarkan 4 orang. Seseorang yang mendayung, saya asumsikan adalah kepala desa. Lalu kemana 1 orang lagi? Hem.... misterius sekali!
Wajah seorang gadis yang yang tersenyum ramah dari balik pohon, lumayan kontras dengan tatapan mata yang diberi warna merah, menyeramkan. Seakan melihat makhluk jahat yang sedang tersenyum ramah, kontras.
Ilustrasi dalam buku terkait lokasi kisah dalam buku ini juga tak kalah menarik. Melihatnya seakan menambah rasa ketegangan dalam menikmati kisah. Duo ilustrator yang layak mendapat acungan jempol.
Selain memberikan hiburan, buku ini juga memberikan tambahan seputar cuaca, limbah industri yang beracun, serta Vermilion yang disebutkan dalam judul. Riset yang dilakukan penulis tidak kaleng-kaleng.
Menurut situs berikut arti Vermilion adalah merah terang atau ver·juta·lion [ver-mil-y uh n]. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut kata benda berarti (1)warna merah tua yang cemerlang; (2)pigmen berwarna merah cerah dan tidak larut dalam air yang terdiri dari merkuri sulfida, yang dulu diperoleh dari cinnabar, sekarang biasanya dihasilkan melalui reaksi merkuri dan belerang.
Adapun manfaat serta perkembangan Vermilion bisa dibaca secara rinci di sini. Disebutkan bahwa Saat ini, vermilion sering digunakan dalam seni dan desain untuk menciptakan gambar yang berani dan bersemangat. Demikian juga dalam membuat pakaian dan aksesoris, serta sering digunakan dalam riasan untuk menciptakan tampilan yang berani dan dramatis.
Pada bagian akhir, penulis menyebutkan bahwa kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Informasi terkait kasus yang diolah penulis bisa dilihat pada situs Kementrian Lingkungan Jepang. karya ilmiah dari Noriyuki Hachiya. Serta dari wikipedia.
Dokumentasi kasus keracunan merkuri di Pulau Kyushu didokumentasikan oleh Eugene dan Mioko Smith pada tahun 1970 dan diangkat menjadi film dengan judul Minamata pada tahun 2021 dengan bintang Johnny Depp.
Penulis menyebutkan bahwa dari hasil riset, ada kasus pencemaran lingkungan akibat limbah beracun di Teluk Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dicurigai, limbah berasal dari area pertambangan emas di Kecamatan Ratatotok, Minahasa Selatan.
Seru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar