Menghitung hari bekerja di perpustakaan.
Memanfaatkan waktu untuk menjelajah tiap lantai yang ada, kecuali beberapa lokasi yang sedang dalam perbaikan. Tak terasa sudah melewati 10 tahun menjadi staf. Banyak memori, rasanya waktu cepat sekali berlalu.
Saya masih selalu terpesona ketika berada di lantai 3 bagian UIANA. Pemandangan ke arah danau dan rektorat pada pagi hari menjadi sesuatu yang sangat berkesan. Andai tidak ada pandemi, saya sudah berkantor di sana sebagai Layanan Referensi. Sayang! Belum kesampaian sudah pindah unit.
Bagaimana lagi, berat memang! Apalagi ada anak-anak kw saya di sana. Tapi sudah saatnya saya memikirkan bagaimana cara membangun Puri Little Women dengan lebih serius. Salah satu cara adalah dengan pindah ke unit baru. Semoga lancar jaya di sana. Aamiin.
Tadi, ketika meliper ke rak favorit, rak kelas 800, menemukan beberapa buku lawas yang menggoda. Sekalian saja dipinjam untuk membuat anotasi koleksi. Niatnya tahun ini harus bisa dapat 100 buku. Menjelang Desember, harus disiasati dengan membaca buku yang agak tipis. Selama ini yang dibaca sebagian besar terdiri dari 300 halaman lebih.
Penulis: Fridolin Ukur
Halaman: 32
Terbit: Tahun 1960
Penerbit:BPK
Rating: 3/5
Buku berwarna biru (lagi) dengan mempergunakan ejaan lawas ini mengusik mata saya. Tergeletak begitu saja di atas rak, mungkin ada yang membaca lalu enggan mengembalikan ke tempat semula.
Atau ada yang mengambil buku yang ada di sebelahnya lalu buku ini tertarik. Kembali, ada yang enggan mengembalikan pada tempatnya. Biarlah, dengan begitu saya jadi menemukan buku ini.
Ternyata ini buku sajak. Dengan no panggil 808.81 FRI m, Malam Sunji merupakan sebuah buku kumpulan sajak setebal 32 halaman buah karya Fridolin Ukur, yang terbit pertama kali pada tahun 1960
Terdapat lebih dari 20 sajak dalam buku ini. Antara lain Mentjari; Maria (1); Advent (1); Lagu dan Tjerita; Turun Bukit; Gadis Pentjita Puisi; Selaput Gugur; serta Laut. Terdapat ilustrasi sederhana pada beberapa puisi.
Berikut salah satu sajak yang ada dalam buku ini,
Dara Meratap
bulan laju putjat
merangka malam dan kesunjian
djauh disudut subuh
dara meratap
aku hanya mendengar
ratap dara dikesendirian
kedinginan hati
bintang ketjil mengusap pipi
dara masih djua meratap
ingin merobeksobek
ketentuan tjintasamar
- Malam Sunji, hal 21-
Membuat sajak sering dilakukan banyak orang untuk meluangkan segala isi hati. Begitu katanya, entah benar atau tidak. Namun yang saya ketahui, banyak orang disekitar saya yang menulis untuk melepaskan segala rasa yang ada. Apalagi jika mereka bukan termasuk orang yang bisa mengeluarkan rasa dengan berbicara.
Dalam KBBI disebutkan bahwa sajak merupakan gubahan sastra yang berbentuk puisi, bentuk karya sastra yang penyajiannya dilakukan dalam baris-baris yang teratur dan terikat.
Selanjutnya disebutkan bahwa sajak merupakan gubahan karya sastra yang sangat mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Dikutip dari sini.
Dalam laman berikut dijelaskan mengenai perbedaan sajak dengan puisi, Sajak adalah sebuah puisi yang berdiri sendiri atau sifatnya individual. Makna dari sajak pun lebih luas ketimbang puisi. Yang membuatnya demikian adalah karena sajak lebih berkaitan dengan bunyi pada kalimat di dalamnya. Di dalam sajak, kata demi kata memberikan konotasi yang sama atau mirip, sehingga ada kesatuan makna yang dapat ditarik dalam satu larik sajak.
Selanjutnya disebutkan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra namun lebih terikat dengan aturan. Ia juga mengandung keindahan seperti dalam sajak, namun puisi lebih bersifat umum karena dapat ditemui dalam kalimat-kalimat pada cerpen, karangan, atau novel. Bahkan pada narasi film, lirik dalam lagu, dan lain-lain.
Sedangkan laman berikut memberikan tiga perbedaan utama antara puisi, sajak, bahkan lirik. Menurut definisi, sajak bisa disebut sebagai puisi baru yang tidak terikat aturan, yang biasanya berbentuk baris-baris teratur. Dalam sajak, antar kata saling berasosiasi karena persamaan bunyi. Penyampaian pesan atau isi dari sajak juga tidak perlu berinterpretasi atau bertafsir-tafsir.
Penulis sajak ini, Fridolin Ukur lahir di Tamianglayang, Kalimantan Tengah pada 5 April 1930 di Tamianglayang, meninggal 26 Juni 2003. Beliau pernah memakai nama samaran "Eff. Serau" dalam karyanya yang dimuat di majalah.
Termasuk dalam Angkatan 66, dalam karyanya terasa dijiwai oleh kerohaniannya. Memiliki profesi sebagai seorang pendeta, membuatnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap umatnya.
Ch. Kiting (1963) memberi gelar Fridolin sebagai "Penyair Kristen Indonesia" karena karya-karyanya memperlihatkan kekristenannya. Meski demikian, tidak semua puisinya mengambil objek Kristen, ada juga puisi yang berbicara tentang kemanusiaan, seperti dalam buku ini. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di sini.
Saya kurang bisa memahami dan menikmati sajak. Tapi membaca karya yang ada dalam buku ini, seperti menemukan sesuatu makna yang tersembunyi di balik untaian kata yang beliau susun dengan apik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar